02 September 2025
14:16 WIB
Memahami Memori Emosional, Saat Kenangan Sulit Dilupakan
Memori emosional adalah ingatan akan suatu peristiwa yang sulit dilupakan, bisa bersifat kenangan traumatis atau yang membahagiakan.
Penulis: Annisa Nur Jannah
Editor: Satrio Wicaksono
Ilustrasi lansia yang membuka kembali album foto lama. Foto: Freepik.
JAKARTA - Coba ingat kembali pengalaman paling berkesan dalam hidup Anda. Biasanya, kenangan yang terasa begitu jelas seolah baru terjadi kemarin adalah peristiwa yang disertai reaksi emosional kuat. Inilah yang disebut memori emosional.
Menurut American Psychological Association (APA), memori emosional adalah ingatan yang terkait dengan peristiwa yang membangkitkan respons emosi. Ingatan ini bisa bersifat implisit, yakni tidak disadari, maupun eksplisit yang sepenuhnya disadari.
Melansir laman Better Help, sebuah studi dengan functional MRI (fMRI) pada tahun 2004 menunjukkan bahwa interaksi antara amigdala dan hipokampus berperan penting dalam memperkuat memori emosional. Ketika emosi kuat muncul, terjadi plastisitas saraf di area tersebut yang membuat ingatan menjadi lebih jelas dan bertahan lebih lama.
Sebaliknya, kerusakan pada amigdala dapat melemahkan peran emosi dalam memperkuat proses penyimpanan dan pengkodean memori. Proses pembentukan ingatan sendiri melibatkan kerja sama berbagai bagian otak.
Sel-sel saraf atau neuron mengirimkan sinyal listrik melalui zat kimiawi otak atau neurotransmiter. Saat seseorang berpikir, lobus frontal aktif bekerja, sedangkan ketika muncul reaksi emosional, amigdala mengambil peran penting. Sementara itu, hipokampus menjadi pusat utama dalam menyimpan memori jangka panjang.
Setiap kali seseorang menciptakan kenangan, terbentuklah jejak memori berupa gambaran mental. Semakin banyak jejak yang terbentuk, semakin akurat kita mengingat detail suatu peristiwa.
Anak-anak biasanya menghasilkan lebih banyak jejak memori dibanding orang dewasa, sehingga mereka kerap mengingat detail peristiwa dengan lebih tajam. Keterlibatan dan kesenangan dalam sebuah peristiwa juga memperkuat memori.
Hal yang sama berlaku untuk pengalaman negatif, sebab peristiwa traumatis cenderung melekat kuat dalam ingatan. Meski bersifat subjektif, emosi pada dasarnya menggambarkan apa yang dirasakan terhadap sebuah pengalaman.
Ingatan yang berkaitan dengan emosi memiliki ciri khas tersendiri. Misalnya, kenangan traumatis biasanya lebih jelas dibanding peristiwa biasa. Detail kenangan pun bisa berubah seiring waktu dan ingatan berbasis fakta sering kali tidak sekuat ingatan yang melibatkan emosi.
Memori emosional bahkan dapat memunculkan kembali kenangan yang sempat terlupakan, sementara suasana hati dapat memengaruhi isi ingatan, begitu pula sebaliknya. Peristiwa yang membangkitkan emosi ekstrem umumnya menghasilkan ingatan yang kuat dan bertahan lama.
Melihat foto lama dari hari yang membahagiakan, misalnya, dapat memunculkan detail kenangan seolah baru terjadi kemarin. Namun, efek ini juga berlaku pada pengalaman menyakitkan.
Seseorang bisa saja mengingat aroma ruangan atau detail kecil lain saat mengalami peristiwa traumatis. Pada sebagian orang, trauma bahkan dapat memicu amnesia disosiatif yaitu kondisi ketika seseorang melupakan atau menekan sebagian ingatan karena stres atau trauma berat.
Fenomena lupa dan ingat juga telah lama diteliti. Pada abad ke-19, filsuf Jerman Hermann Ebbinghaus memperkenalkan teori Kurva Pelupaan.
Ia menemukan bahwa tanpa pengulangan, sekitar 40% informasi hilang dalam 24 jam pertama, meningkat menjadi 60% dalam dua hari dan terus bertambah seiring berjalannya waktu.
Menariknya, bukan hanya kekuatan ingatan yang memengaruhi daya lekat suatu memori, tetapi juga rasa percaya diri terhadap ingatan itu sendiri. Sering kali detail sebuah peristiwa berubah tanpa disadari, bahkan otak dapat menyusun ulang informasi untuk menutupi kekosongan. Hal inilah yang menjelaskan mengapa kesaksian saksi mata kerap dianggap kurang akurat seiring berlalunya waktu.
Gangguan Mental dan Memori Emosional
Kesehatan mental memiliki peran besar dalam memengaruhi cara seseorang membentuk dan menyimpan memori emosional. Pada penderita depresi, kemampuan merasakan emosi kuat seperti kegembiraan bisa berkurang, sehingga kenangan yang terbentuk cenderung kurang jelas dan tidak bertahan lama.
Sementara itu, pada gangguan kecemasan, rasa takut sering mendominasi pengalaman emosional, sehingga detail yang terekam dalam ingatan pun lebih banyak dipengaruhi oleh perasaan cemas atau khawatir. Dalam kondisi seperti ini, terapi dapat menjadi jalan untuk membantu seseorang memahami, mengolah, dan menata kembali kenangan emosionalnya.
Salah satu pendekatan yang digunakan adalah Cognitive Stimulation Therapy (CST). Awalnya, terapi ini banyak diterapkan pada pasien demensia untuk melatih daya ingat, konsentrasi, serta kemampuan komunikasi. Namun, manfaatnya ternyata lebih luas.
CST juga bisa membantu mereka yang ingin belajar mengelola memori emosional dengan lebih sehat, termasuk mereka yang tidak memiliki gangguan kognitif. Bahkan, sejumlah penelitian menunjukkan bahwa CST efektif dalam meningkatkan fungsi memori, bahkan ketika dilakukan secara daring.
Hal ini membuka peluang bagi lebih banyak orang untuk mengakses terapi dengan cara yang lebih fleksibel, terjangkau, dan sesuai kebutuhan.