c

Selamat

Sabtu, 15 November 2025

KULTURA

18 Juni 2024

15:22 WIB

Memahami Kaitan Yang Tepat Antara Pikun Dan Alzheimer

Sering dikaitkan, pada dasarnya pikun dan alzheimer memiliki hubungan yang spesifik dan bisa dibedakan.

Penulis: Gemma Fitri Purbaya

Editor: Rendi Widodo

<p>Memahami Kaitan Yang Tepat Antara Pikun Dan Alzheimer</p>
<p>Memahami Kaitan Yang Tepat Antara Pikun Dan Alzheimer</p>

Ilustrasi lansia di atas kursi roda. Unsplash

JAKARTA - Pikun merupakan salah satu kondisi yang banyak ditemui pada lansia. Pikun (senility) kerap kali berkaitan erat dengan penuaan sehingga tidak sedikit orang yang menganggap pikun adalah kondisi yang lumrah. Namun, tidak sedikit juga orang yang mengaitkan pikun ini dengan alzheimer.

Pikun memang salah satu gejala alzheimer, tetapi pikun belum tentu berarti alzheimer. Hal tersebut diungkapkan oleh dokter spesialis saraf RS Pondok Indah Bintaro Jaya dr. Gea Pandhita.

Ia mengatakan, seiring berjalannya waktu otak seseorang akan mengerut akibat penuaan dan menurun fungsinya, termasuk fungsi memori atau ingatan. Hanya saja, tidak semua pikun adalah alzheimer.

Secara definisi sendiri pikun adalah kondisi penurunan fisik dan mental yang selalu berkaitan dengan usia tua. Ciri khasnya berupa penurunan kemampuan kognitif seperti ingatan.

"Semua yang lupa (pikun) belum tentu demensia atau alzheimer. Kalau pikun diikuti oleh penurunan fungsi kognitif, seperti kemampuan berbahasa, spasial, memori, dan lainnya, baru patut curiga (berkaitan dengan alzheimer). Semisal, tidak ingat kosakata sehari-hari atau tidak ingat waktu atau kejadian, gitu," kata dr. Ghea dalam diskusi media RS Pondok Indah di Jakarta, beberapa waktu lalu.

Pikun yang diikuti dengan terganggunya aktivitas sehari-hari seperti bingung menggunakan handphone, kompor, remote televisi atau AC, hingga memakai baju juga patut diwaspadai sebagai pikun akibat alzheimer. Begitupun dengan perubahan perilaku dan gejala psikologis, semisal menjadi pribadi yang mudah tersinggung, gampang curigaan, berhalusinasi, agitasi, dan lainnya.

Apabila mengalami kepikunan yang diikuti oleh gejala-gejala tersebut, dr. Gea mengatakan seseorang perlu dicurigai menderita alzheimer. Jika sudah terjadi demikian, maka ada baiknya keluarga membawa pasien ke tenaga profesional untuk mendapatkan diagnosis dan perawatan yang tepat.

Meskipun alzheimer tidak bisa disembuhkan tetapi pasien bisa mendapatkan perawatan yang bertujuan untuk mengendalikan dan memperlambat gejala alzheimer.

"Sampai sekarang belum ada obat yang dapat menyembuhkan alzheimer, makanya perawatan hanya untuk mengendalikan gejala, bukan mengobati. Karena untuk mengembalikan sel otak yang sudah rusak itu, sampai saat ini belum ada. Memang ada yang mengatakan bisa pakai stem cell, tetapi masih dalam proses penelitian," ungkap dr. Gea.

Alzheimer sendiri adalah penyakit degeneratif yang terjadi akibat otak yang mengalami perburukan sehingga mengakibatkan kehancuran memori, kebingungan, dan menurunnya kinerja berpikir dan berbicara seseorang.

Di Indonesia, prevalensi alzheimer cukup tinggi mengingat semakin meningkatnya jumlah lansia. Bahkan, data Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) pada 2020 menunjukkan jumlah lansia di Indonesia mencapai 26,82 jiwa dan 1,2 juta di antaranya mengalami demensia atau kepikunan dan 80% disebabkan oleh alzheimer.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar