c

Selamat

Sabtu, 15 November 2025

KULTURA

25 September 2025

13:47 WIB

Melawan Ujaran Kebencian Lewat Pendidikan 

UNESCO mengakui bahwa pendidikan menjadi perisai kolektif untuk melawan maraknya ujaran kebencian yang terjadi dalam ramah daring. 

Editor: Satrio Wicaksono

<p>Melawan Ujaran Kebencian Lewat Pendidikan&nbsp;</p>
<p>Melawan Ujaran Kebencian Lewat Pendidikan&nbsp;</p>

Ilustrasi Ujaran Kebencian. Shutterstock/dok

JAKARTA - Pendidikan menjadi perisai paling ampuh dalam menghadapi penyebaran misinformasi dan ujaran kebencian daring yang semakin marak terjadi. Bukan hanya Indonesia, hal ini juga menjadi perhatian banyak negara di dunia.

"Pendidikan tetap menjadi perisai kita yang paling ampuh, membekali masyarakat dengan perangkat untuk berpikir kritis, memahami kepalsuan latar belakang, dan berinteraksi satu sama lain dengan cara yang saling menghormati,"  Direktur Regional UNESCO, Maki Katsuno-Hayashikawa.

Hal itu disampaikannya saat pertemuan regional tentang pendidikan untuk perdamaian berkelanjutan di Asia Tenggara yang mengangkat tema "Melawan ujaran kebencian dan mencegah konflik menuju masyarakat yang lebih damai melalui pendidikan".

Dia menyampaikan, pengakuan UNESCO akan pendidikan sebagai perisai kolektif, selaras dengan instrumen Recommendation on Education for Peace, Human Rights, and Sustainable Development yang disepakati badan PBB itu pada tahun 2023 lalu.

Rekomendasi tersebut memuat 14 prinsip panduan serta 12 capaian pembelajaran guna mendorong pendidikan yang berorientasi kepada perdamaian, hak asasi manusia, dan keberlanjutan.

"Rekomendasi ini bukan sekadar dokumen. Ini adalah ajakan untuk bertindak, kerangka acuan, dan visi bagi kemanusiaan," ujarnya, seperti dikutip dari Antara.

Dia juga mengatakan bahwa UNESCO telah mengembangkan panduan bagi para pembuat kebijakan tentang penangangan re-edukasi berbasis kasus. Panduan tersebut menyediakan strategi praktis untuk melawan narasi yang merugikan melalui pelatihan bagi para pendidik dan peserta didik dalam kewarganegaraan digital, promosi pembelajaran sosial-emosional, dan pedoman untuk menjadikan kurikulum responsif dan inklusif secara budaya.

Hayashikawa melanjutkan, kaum muda perlu dilibatkan untuk mencegah konflik, melawan ujaran kebencian, dan segala bentuk kekerasan serta diskriminasi, serta memanfaatkan sepenuhnya potensi media dan warga, serta peran transformatif lembaga penelitian pendidikan tinggi untuk memajukan perdamaian.

“Kita harus bekerja sama untuk mempromosikan perdamaian,” tegas Hayashikawa.

Mengamini apa yang disampaikan Hayashikawa, Ketua Eksekutif Ad Interim Komisi Nasional Indonesia untuk UNESCO (KNIU), Ananto Kusuma Seta, menegaskan bahwa pendidikan merupakan kunci dalam membangun masyarakat yang aman, damai, dan harmonis.

“Melalui pendidikan, kita dapat memupuk toleransi, empati, dan rasa hormat sebagai fondasi perdamaian abadi,” ujar Ananto.

Menurut Ananto, siswa dan pemuda yang terdidik dengan baik akan membawa semangat dan tekad untuk membentuk masa depan, merupakan aset yang paling berharga bagi masa depan.

"Karena itulah, pengambil kebijakan perlu memastikan bahwa pendidikan tidak hanya tentang memindahkan pengetahuan, tetapi juga membentuk nilai-nilai perdamaian, penguatan empati, dan menumbuhkan inklusivitas di atas kekerasan, kolaborasi di atas kompetisi, dan rasa hormat di atas kritik," ujarnya.

Saat inklusivitas dipraktikkan dalam ruang kelas, hal itu terwujud dari nilai kemanusiaan yang diutamakan dalam kurikulum. Dengan demikian, pendidikan dapat bertransformasi menjadi fondasi yang kuat guna membangun perdamaian yang abadi.

Dia pun mengajak semua pihak untuk memperkuat pembangunan perdamaian dalam pendidikan untuk generasi mendatang. Menekankan bahwa kolaborasi dengan semua pihak dapat mewujudkan masyarakat yang lebih damai, adil dan inklusif demi pembangunan berkelanjutan melalui pendidikan.



KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar