13 September 2024
14:03 WIB
Masjid Tua Wapauwe, Jejak Islam Berusia 6 Abad Di Ambon
Masjid Tua Wapauwe memiliki cerita menarik tersendiri akibat kepindahannya yang terjadi tiba-tiba secara gaib.
Penulis: Siti Nur Arifa
Editor: Rendi Widodo
Masjid tua Wapauwe di Kaitetu, Ambon. Shutterstock/Nowaczyk
JAKARTA - Selain situs peninggalan purbakala dan gereja tua, Maluku juga punya bangunan yang menjadi saksi penyebaran ajaran Islam jauh sejak abad ke-14, lewat sebuah rumah ibadah bernama Masjid Tua Wapauwe yang saat ini berada di Desa Kaitetu, Kecamatan Leihitu, Kabupaten Maluku Tengah.
Kenyataannya, lokasi Masjid Wapauwe sekarang berada bukanlah lokasi awal masjid dibangun, lantaran bangunan bersejarah berusia lebih dari enam abad ini telah dipindahkan dari lokasi asalnya di Lereng Gunung Wawane, sebuah wilayah yang berjarak sekitar 6 kilometer dari lokasi sekarang.
Sebelum dipindahkan pada tahun 1614 akibat gangguan dari Belanda yang menginjakkan kakinya di Tanah Hitu pada tahun 1580, masjid ini lebih dulu dibangun dengan nama Masjid Wawane.
Pindah Secara Gaib
Mengutip lama Dunia Masjid Islamic Center, Masjid Wapauwe awalnya dibangun sekitar abad 14 atau lebih tepatnya pada tahun 1414 Masehi, yang didirikan oleh Pernada Jamilu, seorang keturunan Kesultanan Islam Jailolo dari Moloku Kie Raha atau kini lebih dikenal sebagai kawasan Maluku Utara.
Pendirian masjid tersebut merupakan sarana dari disebarkannya ajaran islam oleh Perdana Jamilu ke sebanyak lima negeri di sekitar pegunungan Wawane yang terdiri dari Assen, Wawane, Atetu, Tehala, dan Nukuhaly.
Setelah dipindahkan ke Kaitetu, masjid ini berdiri di atas sebuah lahan yang banyak ditumbuhi pohon mangga hutan atau mangga berabu, yang dalam bahasa Kaitetu disebut Wapa. Karena itu, masjid ini diganti namanya dengan sebutan Masjid Wapauwe, dengan arti masjid yang didirikan di bawah pohon mangga berabu.
Banyak orang mungkin mempertanyakan bagaimana sebuah bangunan masjid dapat dipindahkan dengan jarak cukup jauh. Rupanya menurut cerita masyarakat setempat sendiri yang diturunkan dari generasi ke generasi, Masjid Wapauwe diyakini pindah sendiri secara gaib.
Awalnya saat kedatangan Belanda, hanya masyarakat Tehala atau sekitar lereng Gunung Wawane yang berpindah ke Kaitetu. Namun pada suatu pagi tiba-tiba mereka dikejutkan dengan keberadaan masjid yang sudah ikut berpindah ke Kaitetu lengkap dengan segala isinya tanpa kekurangan satu apapun.
Hingga kini, disebutkan bahwa masyarakat Kaitetu sendiri belum tahu kejadian yang sebenarnya terjadi dan masih meyakini jika Mesjid Wapauwe telah berpindah secara gaib.
Detail Masjid Wapauwe
Dilihat dari bangunannya, Mesjid Wapauwe memiliki arsitektur bergaya mirip bangunan Joglo khas Jawa. Masjid ini tidak memiliki kubah dan sekilas memiliki bentuk mirip Masjid Agung kota Demak yang juga dikenal sebagai salah satu peninggalan sejarah Islam.
Memiliki bangunan induk hanya berukuran 10 x 10 meter, sedangkan bangunan tambahan yang merupakan serambi berukuran 6,35 x 4,75 meter, masjid ini memang terbilang kecil.
Namun meskipun kecil dan sederhana, masjid ini mempunyai beberapa keunikan yang jarang dimiliki masjid lainnya, yaitu konstruksi bangunan induk yang dirancang tanpa memakai paku atau pasak kayu pada setiap sambungan kayu, sehingga memungkinkan Mesjid dapat dilepas pasang secara mudah (knock down).
Masjid inu juga memiliki dinding dari pelepah sagu yang disebut Gaba-gaba dengan setengah bagian tembok bercampur kapur. Walaupun sudah berkali-kali mengalami renovasi, bentuk aslinya sama sekali tidak diubah dan masih sama bentuknya seperti pertama kali dibangun.
Hal tersebut terbukti dengan adanya 4 pilar di bagian dalam yang merupakan pilar asli sejak Mesjid dibangun. Selain itu ada pula beduk yang berumur sama dengan Masjid yang masih terawat dengan baik.
Bagian lain yang membuat masjid ini memiliki nilai sejarah adalah keberadaan Mushaf Alquran yang konon termasuk tertua di Indonesia, yakni Mushaf Imam Muhammad Arikulapessy yang selesai ditulis (tangan) pada tahun 1550 dan tanpa iluminasi (hiasan pinggir).
Sedangkan Mushaf lainnya adalah Mushaf Nur Cahya yang selesai ditulis pada tahun 1590, dan juga tanpa iluminasi serta ditulis tangan pada kertas produk Eropa.
Mushaf tersebut kini menjadi benda pusaka yang masih tersimpan dengan baik di rumah pusaka Hatuwe yang berjarak sekitar 50 meter dari Masjid Wapauwe.
Bagi mereka yang ingin mencapai Negeri Kaitetu dimana Masjid Tua Wapauwe berada, dari pusat Kota Ambon bisa menggunakan transportasi darat dengan menempuh waktu satu jam perjalanan.
Sepanjang perjalanan, mereka yang hendak menuju Masjid Wapauwe akan disuguhi pemandangan alam pegunungan, dengan sisi jalan yang kadang-kadang memperlihatkan jurang, tebing, atau hamparan tanaman cengkeh dan pala hijau yang menyejukkan mata.