01 Oktober 2025
19:14 WIB
Manusia Purba Gua Harimau Pernah Terjangkit Malaria Dan Thalaseemia
Dari kerangka manusia purba di Gua Harimau, Sumatra Selatan, mengidentifikasi di masa itu pernah terjangkit malaria dan thalassemia.
Editor: Satrio Wicaksono
Kolaborasi tripartit temukan indikasi manusia purba Gua Harimau pernah terjangkit malaria dan thalassemia. Foto: BRIN.
JAKARTA - Kolaborasi tripartit antara Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), CPAS, dan Peneliti Bioarkeologi dari Universitas Notre Dame Australia, Melandri Vlok menemukan analisis unik. Manusia purba di Gua Harimau, Sumatra Selatan terindentifikasi pernah terjangkit malaria dan thalassemia.
"Temuan ini melengkapi catatan penyakit yang sebelumnya terbatas pada tuberkulosis, karies, dan bruksisme. Kolaborasi ini sangat prospektif ke depan karena membuka ragam patologi prasejarah manusia Indonesia dengan sudut pandang Asia Tenggara," kata Pendiri dan Ketua Pusat Studi Prasejarah dan Austronesia (Center for Prehistory and Austronesian Studies/CPAS), Truman Simanjuntak.
Thalassemia sendiri merupakan penyakit genetik bawaan pada darah yang menyebabkan tubuh tidak mampu memproduksi cukup hemoglobin, juga protein penting dalam sel darah merah yang berfungsi membawa oksigen. Kondisi ini menimbulkan anemia atau kekurangan darah pada penderitanya.
Melalui pendekatan bioarkeologi, para peneliti berupaya mengungkap sejarah penyakit pada populasi masa lalu lewat jejak yang terekam pada tulang, gigi, dan unsur biomolekuler.
Lebih jauh Truman menekankan, signifikansi arkeologis Gua Harimau sebagai riset yang tidak berakhir, karena kekayaan temuannya. "Situs ini merekam kronologi hunian panjang dari Paleolitik Atas, Pra-Neolitik, Neolitik hingga Paleometalik. Situs ini juga memiliki lebih dari 80 penguburan manusia di luar temuan rangka lepas," ungkapnya, seperti dikutip dari laman brin.go.id.
Dikatakan, situs ini mencatat penemuan seni cadas pertama di Pulau Sumatra, serta artefak logam tertua di Indonesia prasejarah, dengan pertanggalan sekitar abad ke-4 SM yang berkembang hingga abad ke-1 M.
Sumber Malaria
Melandri Vlok memaparkan, konteks ilmiah dan temuannya. Ia menjelaskan, thalassemia merupakan kelainan genetik pada rantai hemoglobin alfa/beta.
"Ini dapat menimbulkan anemia berat sehingga tulang beradaptasi dengan ekspansi sumsum atau hiperplasia, yang menghasilkan tulang menebal tetapi berpori, serta perubahan khas pada tulang wajah dan rahang," paparnya.
Dijelaskan, para bioarkeolog pada dasarnya tidak dapat menemukan adanya jejak malaria secara langsung. Namun dengan ditemukannya banyak kerangka dengan ciri thalassemia, bisa menyimpulkan bahwa malaria pasti ada di lingkungan saat itu.
"Di daerah yang endemi malaria, gen thalassemia justru bertahan dalam populasi. Karena pembawa sifat thalassemia punya kelebihan, sel darah merahnya rusak lebih cepat, sehingga parasit malaria sulit berkembang biak," tuturnya.
"Akibatnya, orang yang punya satu gen thalassemia bisa lebih bertahan hidup dari malaria, dibanding orang tanpa gen sama sekali. Tapi kalau seseorang mewarisi dua gen thalassemia, jadinya penyakit thalassemia parah." sebutnya.
Vlok menyatakan, analisis awal terhadap sekitar 25 jasad kerangka manusia dari Gua Harimau mengindikasikan sekitar empat kasus thalassemia. "Sejak hari kedua hingga ketiga, kami mulai melihat bukti jelas thalassemia bahkan sebelum rontgen, dan pada individu Neolitik bertarikh minimal 2.700 tahun lalu,” jelasnya.
Temuan yang ia sebut sangat menggembirakan sekaligus langka berasal dari periode logam. Yaitu seorang perempuan berusia 17–18 tahun yang tulangnya amat rapuh dan memerlukan pembersihan sangat hati-hati di laboratorium.
"Pada jasad kerangka manusia ini, citra rontgen memperlihatkan penebalan dan porositas khas serta lesi tulang pada iga yang sangat besar untuk di diagnostik dengan thalassemia," imbuhnya.
"Saat proses pembersihan, tim menemukan janin sekitar 38 minggu dalam posisi pra-persalinan yang juga menunjukkan tanda kuat thalassemia pada iga dan tulang panjang. Untuk pertama kalinya kita memiliki bukti langsung pewarisan thalassemia dari ibu kepada bayi dalam rekam arkeologis," ungkapnya.
Ia turut menguraikan kerangka pikir ekologis bahwa malaria di Asia Tenggara lebih terkait habitat hutan vektor nyamuk Anopheles daripada irigasi sawah. Menurutnya, aktivitas seperti perburuan dan permukiman di hutan dianggap lebih relevan menjelaskan paparan malaria, termasuk di konteks Gua Harimau.
"Wilayah sekitar Baturaja baru belakangan ini bebas malaria, sehingga kisah arkeologi dapat dimanfaatkan untuk edukasi kesehatan agar eliminasi malaria tetap terjaga dan meluas," pungkasnya.