23 Oktober 2021
09:06 WIB
Penulis: Andesta Herli Wijaya
Editor: Satrio Wicaksono
JAKARTA – Para pengelola museum di Tanah Air didorong untuk terus berinovasi untuk beradaptasi dengan perkembangan zaman. Terlebih sejak masa pandemi yang mengubah gaya hidup semua orang beralih ke budaya digital.
Di masa ini, interaksi berjalan melalui media digital. Orang-orang memenuhi kebutuhannya, mulai yang bersifat sekunder maupun primer melalui media digital. Karena itulah, museum sebagai salah satu bagian penting dari praktik kesejarahan dan kebudayaan masyarakat, seharusnya juga bisa diakses semua orang melalui teknologi digital atau melalui daring.
Hal itu diungkapkan Ketua Asosiasi Museum Indonesia (AMI) DKI Jakarta, Yiyok Trio Herlambang. Menurutnya, inovasi dan adaptasi itu telah dilakukan oleh museum-museum yang ada di wilayah DKI Jakarta di masa pandemi, dan hal itu pula yang membuat museum-museum tetap bisa bertahan di masa pandemi.
Namun, masih ada banyak pekerjaan rumah untuk memastikan museum bisa terus berkembang dan diminati oleh masyarakat hari ini.
“Selama pandemi ada inovasi, adaptasi dan kolaborasi. Teman-teman di Jakarta berinovasi dengan melakukan kegiatan-kegiatan daring, ada virtual tour, masing-masing museum punya website. Sehingga memang daring ini selalu kita kemukakan,” ungkap Yiyok ditemui di MBloc Space, Jakarta Selatan, Jumat (22/10).
Ia melanjutkan, selama pandemi, dirinya banyak berdiskusi dengan para pengelola museum di Jakarta, serta dalam forum-forum pengelola museum nasional. Dari diskusi-diskusi itu, para pengelola museum bersepakat bahwa tantangan utama yaitu membuat koleksi-koleksi museum menarik bagi masyarakat, terutama generasi muda.
Yiyok menilai bahwa inovasi, adaptasi dan kolaborasi merupakan tiga jurus kunci untuk membuat museum relevan dengan dunia milenial hari ini. Inovasi yang dimaksud adalah pembaruan-pembaruan dalam pengelolaan maupun publikasi museum, sedangkan adaptasi adalah penyesuaian untuk memenuhi pola interaksi serta selera generasi masa kini. Dua hal tersebut misalnya bisa dicapai dengan pemanfaatan teknologi virtual.
Kemudian kolaborasi, sesuatu yang juga sangat penting diupayakan oleh pengelola museum. Museum misalnya bisa berkolaborasi dengan pihak penyedia layanan teknologi dalam hal media penyajian koleksi. Atau, berkolaborasi dengan komunitas atau seniman untuk memperkaya konsep pameran koleksi.
Dengan kolaborasi begitu, maka sajian museum pun bisa lebih menarik di mata masyarakat. Selain karena bisa diakses dengan cara yang familiar bagi masyarakat era digital, juga menarik karena menyajikan karya seni ataupun pertunjukan yang menghibur bagi masyarakat.
“Jadi dengan begitu, mengunjungi museum tidak sekadar bicara masa lalu, tapi yang dikemas kekinian. Jadi kami dari asosiasi selalu memaksimalkan sharing kepada para pengelola, misalnya ‘ini lho, ada contoh museum yang bagus, bisa kita coba,” ucapnya.
Yiyok menekankan pentingnya digitalisasi untuk masa depan museum. Menurutnya, di masa depan, konsep penyajian koleksi secara hybrid (daring dan luring) adalah konsep yang tak terhindarkan bagi museum-museum di mana pun.
“Kedepan saya rasa ini suatu keniscayaan. Kalau sekarang masih normal, hybrid itu adalah sesuatu yang harus dilakukan, sehingga tidak ada lagi gap antara museum dengan masyarakat, semua orang bisa menikmati,” pungkasnya.