06 April 2022
13:58 WIB
Penulis: Arief Tirtana
Editor: Rendi Widodo
JAKARTA - Biji pala sebagai salah satu rempah-rempah khas Indonesia sudah sejak lama populer di mata dunia. Bahkan di era kolonial, pala menjadi salah satu alasan besar akhirnya Belanda, Inggris, Spanyol, hingga Portugis datang ke Tanah Air untuk mendapatkannya.
Namun, umumnya selama ini hanya pala yang berasal dari Pulau Banda, Maluku yang sudah cukup dikenal luas. Padahal ada varietas lain yang tak kalah bagus kualitasnya, yakni pala yang berasal dari daerah Fakfak, Papua Barat.
Pala papua memiliki sejumlah perbedaan mendasar dengan pala maluku atau Banda. Mulai dari bentuk fisik dan ukurannya. Di mana Pala Papua cenderung berbentuk lonjong dengan ukuran lebih besar, berbanding Pala Maluku yang berbentuk bulat.
Dari segi rasa, daging buah pala papua juga cenderung lebih manis dan tidak menyisakan rasa getir. Maka dari itu daging buah pala papua sering juga digunakan sebagai pengganti jeruk dalam berbagai masakan masyarakat Fakfak.
Sama seperti di Banda, pala banyak tumbuh di Kabupaten Fakfak. Dikatakan oleh Co-founder Papua Muda Inspiratif, Nanny Uswanas, bahwa 70% - 80% wilayah Kabupaten Fakfak masih merupakan kawasan hutan endemik Pala.
Nanny yang juga merupakan penduduk asli Fakfak pun menjelaskan bahwa bagi mereka, pala bukan hanya berperan sebagai bahan makanan, melainkan juga memiliki fungsi ekonomi, sosial dan budaya, serta ekologi.
Ibu yang Memberi Kehidupan
Dengan keberadaannya yang dinilai telah memberikan kehidupan buat masyarakat. Secara budaya, pohon pala di Fakfak sudah dianggap seperti ibu sendiri oleh masyarakat setempat.
Selayaknya Ibu, mereka percaya kalau tidak dijaga dengan baik, maka pohon pala tidak akan berbuah dan memberikan kehidupan kepada mereka.
Nanny menyebutkan, masyarakat Fakfak merasa bahwa pala telah menjadi bagian dari jati diri mereka. Sehingga mereka pun menjaganya dengan memberlakukan sanksi adat, ketika ada orang yang sengaja menebang pohon pala di Fakfak.
Alat Barter Zaman Dulu
Sebelum akhirnya menjadi sesuatu yang dianggap penting oleh masyarakat Fakfak saat ini. Sebelum Indonesia merdeka, pala sudah lebih dulu dipandang sebagai komoditas yang bernilai ekonomi tinggi oleh bangsa-bangsa di luar Indonesia.
Bahkan bisa dikatakan orang-orang dari luar Indonesia itulah yang akhirnya memberitahu masyarakat lokal betapa pentingnya nilai ekonomis pala kepada mereka.
Nanny bercerita, zaman dahulu masyarakat Fakfak pesisir dan beberapa bangsa lain sudah menjalin hubungan perdagangan. Ketika bangsa lain datang ke Papua untuk melakukan misi penginjilan, mereka memberi tahu masyarakat Fakfak tentang nilai ekonomi biji pala.
"Seandainya mereka tidak memberi tahu, pala akan dibiarkan tumbuh begitu saja, tanpa dipetik buahnya. Kemudian dimulailah proses ekspor pertama dalam bentuk barter. Dari cerita lisan orang tua kami, ekspor pala telah dilakukan sejak zaman Belanda,” kata Nanny.
Menariknya. penjualan atau transaksi pada zaman dahulu menggunakan pala bukan dihitung per buah atau berdasarkan beratnya. Melainkan per pohon, tanpa melihat berapa banyak buah yang ada di satu pohon tersebut.
Bagian Budaya
Dipandang sebagai pemberi kehidupan, maka pala juga tak lepas dari budaya masyarakat Papua, khususnya warga Fakfak. Nanny bercerita, setiap kali akan memanen pala, mereka mengikat pohon pala dengan kain putih. Yang diikat kain putih hanya satu pohon saja untuk mewakili satu hutan pala.
Ketika bicara soal pala, hutan, dan alam, bagi masyarakat Fakfak berarti mereka juga bicara tentang kemurahan Tuhan. Karena itu, seorang pemimpin adat yang memimpin upacara mengajak warga memanjatkan doa syukur sesuai agama masing-masing.
Khusus untuk prosesi tersebut, mereka membuat semacam nampan yang terbuat dari anyaman daun pandan. Di dalam nampan itu terdapat empat gelas kopi dan sirih pinang. Pisau yang dipakai untuk memanen pala juga diupacarakan. Di mana ada prosesi khusus untuk menancapkan pisau pada galah.