07 Oktober 2025
20:00 WIB
Luasnya Horison Green Jobs, Dari Industri Hingga Seni
Bicara soal green jobs, tidak lagi sebatas industri. Banyak sektor yang masuk ke dalamnya. Termasuk karya-karya yang diciptakan oleh seniman dan musisi.
Penulis: Arief Tirtana
Editor: Satrio Wicaksono
Ilustrasi Green Jobs. Shutterstock/Andrii Yalanskyi
JAKARTA - Berawal dari konsep green building yang didapatnya saat kuliah di jurusan arsitektur sekitar tahun 2020, TB Syarif Hidayatullah tertarik mendalaminya lebih jauh. Dia berniat aktif dalam berbagai kegiatan kampus yang membahas soal keberlanjutan, sampai akhirnya dipertemukan dengan dosen yang memang expert di bidangnya.
Alasan Syarif tertarik akan praktik perancangan, pembangunan dan pengoperasian bangunan ramah lingkungan sebenarnya sederhana. Menurutnya konsep ini sangat relevan dengan isu perubahan iklim. Dia hanya ingin berkontribusi, meski kecil.
"Awal kuliahitu saya belum tahu arahnya mau jadi arsitek yang desain apa, pas pertengahan perkuliahan, saya baru menemukan ketertarikan dengan sustainability, kajian green building," tuturnya kepada Validnews, Sabtu (4/10).
Meski tertarik, kala itu Syarif mengaku belum sepenuhnya yakin apakah kelak akan cocok berkarier sebagai konsultan green building. Apalagi profesi ini bisa dikatakan sebagai sesuatu yang baru di Indonesia. Jika dibandingkan dengan negara-negara lain, belum banyak yang berkarier di bidang ini.
"Ada pertanyaan (di diri sendiri), apakah benar minatnya di green building ini atau enggak. Jadi saat itu saya mengambil intern di salah satu konsultan green building. Ternyata dari situ saya tertarik untuk terus di bidang green building ini," terang pria berusia 26 tahun itu.
Berbekal ilmu selama kuliah, magang dan sertifikasi Green Sheet Associate (GSA) yang ia raih sebagai syarat untuk bisa jadi konsultan green building profesional, karier Syarif terhitung mulus. Sampai kini dia dipercaya memegang jabatan sebagai seorang Project Manager. Dia juga mengaku bangga, bahwa berkarier di bidang green building saat ini sangat menjanjikan. Apalagi, kian banyak kini proyek pembangunan yang tersertifikasi ramah lingkungan, sesuai standar yang ditetapkan Pemerintah.
Apa Itu Green Jobs?
Termasuk diantaranya adalah konsultan green buildings, peluang profesi green jobs atau pekerjaan hijau di Indonesia memang sangat menjanjikan, terus bertumbuh dalam beberapa tahun terakhir. M. Irham Taufik Nasution, founder akun instagram @greenjobs_id, platform informasi seputar pekerjaan ramah lingkungan di Indonesia, mengutarakan antisiasme ini.
Dia mengurai, dalam beberapa tahun terakhir tren green jobs terus meningkat. Bukan hanya munculnya banyak lowongan pekerjaan yang masuk kategori green jobs, istilah ini juga semakin sering terdengar di berbagai workshop, seminar bahkan konten-konten di media sosial.
"Trennya semakin meningkat dan semakin banyak yang menggunakan istilah ini dalam workshop, seminar, dan banyak konten," terang pria yang kini sedang menempuh pendidikan Master of Engineering Materials Science di KTH Royal Institute of Technology, Swedia itu kepada Validnews.
Green jobs, kata Irham, bisa didefinisikan sebagai pekerjaan yang memiliki kontribusi dalam menjaga atau memulihkan lingkungan. Pekerjaan ini juga membantu meningkatkan efisiensi energi, membatasi emisi gas rumah kaca, meminimalkan limbah dan polusi, memulihkan ekosistem, serta mendukung adaptasi terhadap perubahan iklim. Kurang lebih, penjelasan itu sama seperti definisi green jobs yang dikeluarkan International Labour Organization (ILO). Namun, lebih detail ILO menekankan profesi yang bisa dikategorikan green jobs haruslah pekerjaan yang 'layak'.
Defisini layak yang dimaksud adalah menjamin kebebasan, kesetaraan, keamanan, dan martabat manusia, mencakup penghasilan adil, perlindungan sosial, keselamatan kerja, kesetaraan kesempatan, dan hak untuk bersuara dan berorganisasi bagi pekerja.
"Pekerjaan yang layak itu secara income terjamin. Ada job security (jaminan kelangsungan pekerjaannya) di situ, ada health security. Jadi ada variabel itu," jelas Manajer Kebijakan dan Advokasi Koaksi Indonesia, Azis Kurniawan.
Azis menjelaskan, green jobs sejatinya tidak terbatas pada pekerjaan-pekerjaan baru seiring hadirnya konsep green economy dan perkembangan teknologi ramah lingkungan belakangan ini, tapi pekerjaan yang sudah ada sejak zaman dulu. Misalnya, jika merujuk ke belakang, mereka yang bekerja di sektor pertanian atau pengelolaan sampah, sudah pasti dikategorikan green jobs, jika dalam prosesnya memperhatikan nilai-nilai keberlanjutan.
Bisa juga seorang arsitek yang menerapkan desain ramah lingkungan. Lebih jauh, mereka yang berkecimpung dalam dunia industri kreatif, seperti musisi juga bisa masuk dalam kategori green jobs. Konteksnya, karya yang diciptakan menyuarakan isu lingkungan.
"Makanya tergantung tujuan pekerjaannya. Kalau memang sebagai musisi, dia nggak hanya sebatas buat musik yang menarik saja, tapi juga dengan atau sambil menyuarakan isu lingkungan, itu kan better. Dan itu bisa kita kategorikan sebagai pekerjaan hijau," jelas Azis.

Seni Dan Peluang Green Jobs
Perkembangan lapangan kerja green jobs di Indonesia memang belum sebanyak di negara-negara maju yang sudah dulu menerapkan standar ramah lingkungan di berbagai aspek kehidupan. Namun setidaknya, peluangnya makin besar seiring target ekonomi hijau yang dicanangkan Pemerintah.
"Kalau tidak salah, Bappenas pernah mengungkapkan estimasi di 2045 ada 15 juta lapangan kerja baru dari green jobs," sebut Azis Kurniawan.
Potensi peluang kerja green jobs pada dasarnya datang dari kerangka besar green economy, misalnya sektor energi terbarukan, pariwisata berkelanjutan, kehutanan, dan lain-lain. Sektor energi terbarukan punya potensi paling besar untuk menumbuhkan jumlah lapangan kerja, seiring ambisi penerapan energi terbarukan hingga 23% di tahun 2025 ini. Sayangnya potensi itu belum tergarap optimal, karena hingga kini baru tercapai 13-14% saja.
"Kalau kita lihat dari potensi yang seharusnya ada, saat ini masih sedikit, belum maksimal," tandasnya.
Sementara dari sektor industri kreatif, peluang pekerjaan hijau semakin terbuka lebar. Diakui oleh vokalis Efek Rumah Kaca, Cholil Mahmud, potensi itu muncul seiring perubahan industri kreatif di Indonesia. Bahkan karya-karya yang mengusung kampanye lingkungan, seperti mudah diterima pecinta musik. Dan ujungnya, lebih mudah mudah pula dimonetisasi.
"Itu masuk akal, sangat mungkin (mendapatkan uang dari lagu tentang isu lingkungan). Ada potensi itu, apa lagi kalau ada musisi yang ternyata bisa menyentuh (pendengar secara luas) dan lagunya viral," kata Cholil kepada Validnews.
Peluang untung dari karya seni bertemakan lingkungan itu hadir seiring dengan semakin banyak anak muda yang memiliki perhatian lebih terhadap isu-isu sosial.
Musisi asal Bali yang merupakan inisiator dari The Indonesian Climate Communications, Arts, and Music Lab (IKLIM), Robi Navicula mengamini hal itu.
Robi pun mengulas yang terjadi di industri film dunia. Dia mengamati, film terlaris di dunia sampai hari ini justru datang dari tema lingkungan, Avatar (2009) karya James Cameron. Bahkan seri keduanya, Avatar: The Way of Water yang ditayangkan tahun 2022, juga berada di peringkat terlaris ketiga dunia.
"Topiknya apa? Lingkungan. Yang pertama tentang perjuangan masyarakat ada di hutan dan yang kedua di laut. Itu berdasarkan informasinya, terinspirasi dari masyarakat adat suku Bajo di Sulawesi dan masyarakat ada di hutan Kalimantan," terang Robi..
Sukses Avatar, menurut Robi, bisa menjadi contoh nyata bahwa sebuah karya seni yang mengangkat tema isu lingkungan punya potensi besar untuk menghasilkan keuntungan buat penciptanya. Artinya, saat seorang seniman cukup kreatif, ada kemauan mencari jalan, maka mereka bisa membuat idealisme yang sejalan dengan upaya bisnis.
"Apakah musisi-musisi takut membuat karyanya (soal isu lingkungan) kurang laku? Berarti mereka kurang kreatif saja," kata Robi.
Dengan peluang yang semakin besar, Cholil mengakui bahwa tantangannya ada di tangan musisi. Bukan sekadar karya, tapi juga memasarkan lagunya. Membuat karya-karyanya menjadi relevan dengan masyarakat saat ini.
"Itu yang menjadi poin penting. Gimana supaya dia bisa berdampak secara ekonomi buat si musisinya," kata Cholil.

Pentingnya Green Skill
Terlepas dari segala peluangan yang ada, konsep dan penerapan green jobs sendiri juga masih menghadapi sederet tantangan. Uniknya, tantangan tersebut justru bersumber dari sumber daya manusia (SDM).
Pertanyaan yang muncul, apakah mereka benar-benar memiliki kemampuan untuk bekerja di bidangnya? Menurut Azis, green skill menjadi kunci. Green skills merujuk pada keterampilan yang mencakup pengetahuan tentang energi terbarukan, manajemen sumber daya alam, teknologi bersih, efisiensi energi, dan keberlanjutan.
Misalnya, kemampuan menghitung life cycle assessment (LCA) sebuah produk, atau menilai dampak lingkungan potensial sepanjang siklus hidup suatu produk. Mulai dari perolehan sumber daya alam, melalui tahap produksi dan penggunaan hingga pengelolaan limbah (termasuk pembuangan dan daur ulang).
Contoh lebih nyata di sektor energi, bagaimana pekerja bisa menghitung potensi hingga memasang solar panel. Skill ini bisa dipelajari lewat pelatihan, salah satunya di Pusat Pengembangan Sumber Daya Manusia, Ketenagalistrikan, Energi Baru (PPSDM KEBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.

Terkait green skill, pemerintah sudah mulai menghadirkan tempat-tempat pelatihan, termasuk buku terkait dengan climate change diluncurkan tahun lalu sebagai bagian dari bahan ajar, agar dipelajari di sekolah-sekolah lewat kurikulum. Namun yang menjadi masalah seringkali praktik kurikulum tidak seragam di seluruh Indonesia. Tidak spesifik sesuai dengan kondisi geografis suatu daerah, dengan potensi sumber daya alam yang dimilikinya. Misalnya di Indonesia Timur yang akses energinya relatif sulit dibanding di wilayah lain.
Azis menilai, seharusnya Pemerintah mengarahkan pendidikan di sana pada kurikulum yang mendorong pelajar bisa mendapatkan ilmu untuk mengembangkan sektor energi tersebut.
"Seharusnya diarahkan pada bagaimana lembaga vokasi atau politeknik di sana itu bisa mengembangkan atau memanfaatkan energi terbarukan gitu, di daerahnya gitu," kata Azis.
Dengan potensi green jobs yang semakin besar, green skill menjadi sesuatu yang wajib dimiliki para pekerja. Sebab menurut Irham, kondisi Indonesia saat ini masih terjadi kesenjangan antara kebutuhan dan ketersediaan tenaga kerja terampil. Terutama untuk skil teknis di energi terbarukan dan pengelolaan lingkungan.
"Seperti yang kita tahu, di Indonesia sektor ini cukup baru namun ekspektasi perusahaan ataupun lowongan seringkali mensyaratkan orang-orang yang sudah berpengalaman bertahun-tahun, dan inilah yang menjadi kesenjangannya," kata pria yang sebelumnya berprofesi sebagai Reliability Engineer itu.
Hal yang sama juga diakui Azis. Ia mengambil data dari laporan platform LinkedIn yang menunjukan, dalam kurun waktu 5-10 tahun terakhir, semakin banyak perusahaan tertarik pada pencari kerja yang memiliki green skill. Peningkatannya pun tak main-main, bisa sampai di kisaran angka 50% hingga 100%.
"Jadi kalau kita sebagai pekerja tidak menyiapkan diri atau tidak upskilling atau reskilling dengan kebutuhan-kebutuhan yang diminta dalam pekerjaan hijau, itu nanti agak nggak qualified," pesan Azis.