c

Selamat

Minggu, 16 November 2025

KULTURA

04 Januari 2023

20:21 WIB

Louis Braille, Sang Pembuka Dunia Tunanetra

Braille melihat celah yang bisa diperbaiki dari teknik membaca malam yang diciptakan Barbier. Dia menjadikan kelemahannya sebagai dasar berbuat baik buat banyak orang.

Penulis: Tristania Dyah Astuti

Editor: Satrio Wicaksono

Louis Braille, Sang Pembuka Dunia Tunanetra
Louis Braille, Sang Pembuka Dunia Tunanetra
Penemu kode braile, Louis Braille. Sumber: braillebug.org

JAKARTA - Membaca merupakan keterampilan dasar yang sejatinya perlu dimiliki oleh setiap orang. Keterampilan ini dibutuhkan untuk membantu siapa saja menjalani hidup dengan layak dan berkualitas.

Begitu berdampaknya kemampuan membaca dalam berbagai aspek kehidupan, kemampuan ini pun menjadi sesuatu yang wajib dalam kehidupan sosial. 

Namun bagaimana dengan para tunanetra? Bagi mereka, kemampuan untuk bisa membaca bahkan bisa menjadi sesuatu yang sulit luar biasa karena kurangnya kemampuan melihat.

Seluruh ungkapan terima kasih dari para tunanetra terhadap hal yang bisa membantu mereka membaca, sangat pantas dilayangkan pada Louis Braille.  

Dia adalah seorang penyandang tunanetra yang pada satu masa hidupnya membuat kode abjad khusus untuk membantu para tunanetra bisa membaca. Kita mengenalnya dengan sebutan khas, Huruf Braille.

Braille adalah pria Prancis yang lahir pada 4 Januari 1809 di sebuah kota kecil bernama Coupvray. Braille menyandang status tunanetra di usia 5 tahun. 

Dia tinggal bersama tiga saudara kandungnya dan orang tua mereka, Monique Braille dan Simon-René Braille.

Mengutip National Braille Press, sejatinya Braille lahir dengan kondisi mata yang normal dan sempurna. Kebutaannya sendiri dimulai dari momen saat dia bermain di bengkel milik ayahnya. 

Saat itu, dia yang masih berusia 3 tahun ingin membuat sebuah lubang pada sepotong kulit yang biasanya digunakan untuk pelana kuda. Tangannya yang kecil tidak kuat menggerakkan benda itu. 

Saat dia menekan, alat berujung tajam itu tergelincir dan mengenai salah satu matanya.

Orang tua Braille sempat membawanya ke rumah sakit, namun dalam beberapa bulan setelahnya mata Braille yang terluka mulai mengalami infeksi. 

Secara perlahan, infeksi itu menyebar ke jaringan mata lainnya dan ilmu kedokteran saat itu tidak pernah berhasil menolong matanya.

Butuh waktu lama untuk Braille kecil bisa menerima kondisi fisik barunya. Barulah pada usia 10 tahun, dia mulai kembali bersekolah di sekolah tunanetra pertama di dunia yang didirikan di Paris, Prancis. 

Pada saat itu, dia dan teman-temannya belajar membaca dengan cara menjiplak huruf-huruf yang telah dicetak menonjol. Teknik ini memang sederhana, namun sangat sulit untuk dikuasai. Selain itu dengan teknik ini, membaca menjadi lebih lambat karena harus meraba seluruh bagian huruf. 

Di sisi lain mungkin memang mereka menjadi bisa menulis huruf. Namun bagi Braille itu tidak efektif karena mereka pun tidak bisa melihat apa yang mereka tulis.

Pada 1821, Braille mempelajari teknik ‘night writing’ atau menulis malam hari. Teknik ini dicetus oleh seorang pensiunan perwira artileri di pasukan Napoleon Prancis, Kapten Charles Barbier yang pada saat itu bermaksud memberikan solusi bagaimana para prajurit berkomunikasi pada malam hari tanpa membutuhkan cahaya.

Penulisan malam hari menggunakan kode titik dan garis yang dipasang di atas kertas tebal. Kode ini bisa ditafsirkan dengan sentuhan jari. 

Akan tetapi, para prajurit saat itu tidak terkesan dengan teknik Barbier, jadi Barbier membawa tekniknya ini ke sekolah untuk orang buta.

Saat Barbier menjelaskan pola dan teknik membaca dengan titik ini, rupanya Braille terkesima. Dia mempelajari teknik ini dan merasa bisa lebih cepat mengenali huruf. 

Braille melihat masih ada celah yang bisa diperbaiki dari teknik Barbier. Menurutnya, kode ini masih bisa disederhanakan untuk memudahkan kelompok tunanetra mengenal huruf lebih cepat. 

Dengan kecerdasannya, dia bisa menangkap bahwa teknik ini bisa menjadi solusi membaca untuk orang buta.

Sejak itu dia menghabiskan setiap malamnya untuk melubangi kertas mencari kode yang paling sederhana untuk setiap huruf.

Pada1824, saat dia berusia 15 tahun, Braille telah memangkas 12 titik Barbier menjadi enam dan setiap kode pada huruf tidak lebih besar dari ujung jari. 

Kode dalam huruf itu pun disesuaikan dengan hampir semua bahasa yang dikenal dari Albania hingga Zulu. Dia juga memperluas kodenya untuk musik dan kemudian angka untuk matematika.

Pada 1829, di awal usia 20-an Braille menerbitkan sistemnya menggunakan namanya Braille. Pada tahun-tahun berikutnya, dia juga menghasilkan sejumlah publikasi tentang Braille agar semakin dikenal seluruh dunia.

Braille yang secara intelektual cukup cerdas pun mulai mengajar sejarah, aljabar, dan geometri di Royal Institution for Blind Youth yang juga menjadi mantan sekolahnya. 

Namun ada skeptisisme tentang kode yang diciptakannya. Meskipun teknik ini menjadi populer di kalangan siswa tunanetra, tetapi cukup ditentang oleh guru yang dapat melihat. Bahkan huruf Braille ini pun mendapat penolakan untuk penggunaannya. 

Pasalnya, dengan huruf Braille itu berarti siswa tunanetra harus belajar huruf itu secara spesifik, waktu belajar harus ditambah untuk mempelajari braille. 

Bahkan di Royal Institution tempat Braille belajar dan mengajar, pembacaan secara khusus ini tidak ada dalam kurikulum.

Sampai lah pada tahun 1854, huruf Braille akhirnya diperkenalkan di Royal Institution. Itu pun dilakukan dua tahun setelah Braille meninggal. Murid-murid tunanetra Braille mendorongnya. Pada akhir abad ke-19 huruf ini pun meluas dengan cepat di seluruh dunia.

Akhir Perjalanan Braille 
Masa muda Braille diisi dengan kegiatan yang memukau, dia menjalani kehidupan yang sukses sebagai guru, musisi, peneliti, dan penemu. 

Meski dia memiliki keterbatasan dalam inderanya, itu tidak menghalanginya dalam bermusik.

Telinganya dia dedikasikan untuk musik, dengan pendengarannya yang cukup baik itu membuatnya menjadi pemain cello dan organis yang ulung. 

Tetapi pada masa yang cukup produktif itu, sekitar usia 40 tahun dia harus meninggalkan jabatan mengajarnya di Institut karena penyakit pernapasan jangka panjang yang memburuk. 

Dari banyak literatur dikatakan saat itu Braille mengidap penyakit tuberkulosis (TB) akut. Selama 2 tahun berjuang, Braille pada akhirnya menyerah dengan penyakitnya dan meninggal pada 6 Januari 1852. Dia kemudian dikuburkan di desanya, Coupvray. 

Hampir satu abad setelah itu, pada 1952 pemerintah Prancis akhirnya mengakui prestasi Louis Braille. 

Jenazahnya digali dari pemakaman desa di Coupvray dan dimakamkan kembali di Pantheon di Paris. Pemakaman ini adalah  tempat tokoh Prancis terkenal lainnya termasuk Voltaire dan Jean-Jacques Rousseau juga dimakamkan. 

Sementara tangan Braille yang telah terlepas dari tubuhnya dan dengan berbagai pertimbangan tetap dimakamkan di Coupvray.

Kini, rumah masa kecil Braille di Coupvray telah dijadikan museum dan secara resmi terdaftar dengan nama Museum Louis Braille.  

Warisan Braille terus hidup dalam huruf yang diciptakannya, bahkan kini hampir dua abad sejak ia meresmikan Braille. Kini, teknik ini sudah menjadi bagian dari kehidupan orang tunanetra di dunia. 

Huruf Braille mengantarkan banyak tunanetra bisa meraih kehidupan yang lebih baik. 

Meski tidak mampu melihat warna dunia secara fisik, kehidupan singkat Braille bisa memberikan warna baru bagi seluruh penyandang tunanetra sepanjang masa. Dia membuat banyak tuna netra bisa ‘melihat’ dunia. 


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar