c

Selamat

Senin, 17 November 2025

KULTURA

04 Agustus 2022

18:02 WIB

Legenda Orang Bunian Penghuni Hutan-Hutan Sumatra

Orang bunian digambarkan memiliki fisik yang persis dengan manusia bertubuh tegak dan mempunyai tangan dan kaki, hanya saja mereka hidup di dimensi lain yang tak kasat mata.

Penulis: Andesta Herli Wijaya

Editor: Rendi Widodo

Legenda Orang Bunian Penghuni Hutan-Hutan Sumatra
Legenda Orang Bunian Penghuni Hutan-Hutan Sumatra
Hutan menjadi lokasi yang banyak dipercaya tempat tinggal orang bunian. Shutterstock/muhd fuad abd rahim

JAKARTA - Setiap masyarakat di berbagai daerah di Indonesia mempunyai cerita mistis atau legendanya sendiri-sendiri. Cerita bernuansa gaib yang dituturkan mulut ke mulut dari generasi ke generasi, namun tak pernah bisa terbuktikan kebenarannya.

Termasuk salah satunya yaitu legenda orang bunian di pedalaman hutan Sumatra, khususnya di sepanjang bentang Bukit Barisan yang terkenal. Legenda yang sama pun ada di Kalimantan, hingga Malaysia.

Legenda Orang Bunian

Orang bunian digambarkan memiliki fisik yang sama persis dengan manusia, hanya saja mereka hidup di dimensi lain yang tak kasat mata. Kawasan hidup orang-orang bunian dipercaya berada di pedalaman hutan, di gunung-gunung atau hutan dataran tinggi.

Dalam legenda masyarakat Minangkabau di Sumatra Barat, orang bunian hidup di dunianya layaknya kehidupan manusia. Mereka bekerja, bersosialisasi serta memiliki pemimpin atau raja. 

Baca juga: Ragam Tas Tradisional Dari Suku-suku Di Indonesia

Orang bunian tidak mudah menampakkan diri kepada manusia, kecuali mereka menginginkannya, atau hanya orang-orang dengan kemampuan spritual tinggi saja yang bisa merasakan kehadiran mereka.

Jika seseorang sedang berada di hutan ataupun gunung, dan di waktu sore hari membaui aroma masakan yang sedap, itu biasanya diyakni sebagai aroma masakan orang bunian. Karena itu, ada semacam pantangan bagi masyarakat, terutama anak-anak untuk berada di luar ketika magrib, 

Salah satu versi cerita tentang orang bunian adalah kegemaran mereka menculik manusia, termasuk anak-anak. Ketika sudah diculik, maka seseorang tak bisa kembali lagi ke dimensi manusia. Namun, mereka tidak meninggal, melainkan hidup dan menjadi warga bunian.

Cerita seperti itu telah banyak mengilhami para pengarang tanah air dalam membuat karya-karya mereka. Sejak dulu selalu ada pengarang yang mengambil kisah bunian sebagai latar ceritanya.

Baca juga: Pancasila Menyatukan Keragaman Di Indonesia

Misalnya roman Dewi Rimba yang dikarang M. Dahlan dan Nun St. Iskandar yang menceritakan tentang manusia menjadi dewa di alam orang bunian, dari tahun 1930-an. Buyung dari Motinggo Busye, hingga dalam cerpen Orang Bunian karya penulis asal Sumatra Barat, Gus TF Sakai.

Orang bunian adalah salah satu versi penyebutan bagi masyarakat di Sumatra tentang makhluk yang hidup di hutan dan memiliki dunia yang terisolir dari manusia. Penggambaran orang ini mirip dengan legenda orang pendek atau “uhang pandak”. Istilah ini muncul dalam masyarakat kerinci di dekat kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS).

Orang pendek sendiri tak kurang populernya di Sumatra, yang umumnya dianggap sebagai versi lain dari mitos orang bunian. Fisiknya seperti manusia, namun dalam legenda populer mereka digambarkan berjalan dengan mata kaki terbalik. 

Ada pula kepercayaan yang mengaitkan orang pendek ini dengan rezeki, artinya bila bertemu, maka seseorang akan mendapatkan rezeki.

Baca juga: Telisik Warisan Budaya Kejawen

Namun lagi-lagi, sama seperti orang bunian, tak ada satu pun yang pernah mengabadikan buktik eksistensi orang pendek ini. Banyak yang mengaku pernah bertemu orang pendek, namun umumnya tak ada bukti yang bisa menguatkan pengakuan tersebut.

Perdebatan Ilmiah

Saking melegendanya orang bunian maupun uhang pandak, banyak pihak yang telah mencoba melakukan penelitian dan berusaha melacak keberadaan kaum ini. Namun, cara pandang peneliti tentu berbeda dengan masyarakat lokal. 

Alih-alih membicarakan makhluk halus, banyak ilmuan mencoba meneliti keberadaan orang bunian dengan asumsi mereka adalah bagian dari primata. Beberapa peneliti misalnya, menyebut uhang pandak adalah bagian dari rantai evolusi yang mereka sebut “kera misterius”.

Peneliti yang paling terkenal di antaranya adalah Debbie Martyr, seorang peneliti perempuan asal Inggris yang menghabiskan bertahun-tahun waktunya sejak 1994 untuk menyusuri hutan, mencari keberadaan uhang pandak di sekitar kawasan TNKS, Kerinci. Namun, hingga kini, belum ada titik terang yang bisa dicapai dari penelitian tersebut.

Referensi lainnya dapat pula dirujuk dari publikasi Suryadi, seorang peneliti asal Minangkabau yang berkiprah di Universitas Leiden, Belanda. 

Baca juga: Budaya, Perlu Lestari Dan Monetisasi

Dalam blog pribadinya, niadilova.wordpress.comSuryadi mencatat tentang uhang pandak yang dinamai beragam oleh masyarakat di berbagai tempat. Termasuk misalnya sinamai leco.

Suryadi yang banyak bergumul dengar arsip, mengutip kembali laporan Pandji Poestaka No.49 Tahun X, 17 Juni 1932. 

Dalam laporan itu dapat dipahami bahwa keberadaan uhang pandak, orang bunian ataupun leco (letjo), sudah diperbincangkan para ahli sejak lama. Bahkan di era itu, banyak orang yang turut memburu makhluk tersebut untuk dijual kepada para peneliti sebagai bahan penelitian.

Menoeroet tjerita-tjerita jang disampaikan kepada orang kampung, ialah akan membuktikan dan menjempoernakan keinginan hati sebagian dari ahli-ahli ‘ilmoe pengetahuan yang menaroeh keyakinan, bahasa manoesia ini asalnya dari binatang,” bunyi laporan Pandji Poestaka yang dikutip Suryadi.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar