30 Januari 2025
20:14 WIB
Lee Man Fong, Keturunan Tionghoa Jadi Maestro Lukis Di Dua Negara
Lee Man Fong ditunjuk langsung oleh Presiden Sukarno untuk memvisualkan gagasan tentang kekayaan alam Indonesia. "Margasatwa dan Puspita Indonesia", menjadi salah satu lukisan bernilai tinggi.
Penulis: Andesta Herli Wijaya
Editor: Rikando Somba
Ilustrasi pelukis Lee Man Fong. maestro asal Indonesia yang dilahirkan di Tiongkok, tengah melukis. Shutterstock/Ngo Thye Aun
JAKARTA – Lukisan berjudul “Margasatwa dan Puspita Indonesia” yang terpajang permanen di dinding lobi Hotel Indonesia Kempinski, merupakan salah satu karya seni paling bernilai di Indonesia. Nilai karya ini tak hanya pada kualitas artistik yang disajikan, namun juga narasi kesejarahannya.
Tahun 1962, Hotel Indonesia resmi dibuka, sebagai wujud dari gagasan Presiden Sukarno. Hadirnya hotel itu menandakan kehadiran modernisasi di Indonesia. Hotel Indonesia menjadi wajah Indonesia yang maju dan modern, hadir untuk memperkuat citra negeri yang di tahun itu menjadi tuan rumah Pesta Olahraga Asia atau Asian Games 1962.
Tak cukup menghadirkan fasilitas fisik, Sukarno pun ingin Indonesia juga dipandang maju secara budaya. Maka dari itu, Sang Presiden menghias hotel bintang lima pertama di Indonesia itu dengan karya seni. Tak tanggung-tanggung, sebuah karya lukis berukuran sekitar 4 x 10 meter dibuat dan dipamerkan di dinding dekat lobi utama.
Karya itu berupa tiga panel yang menyatu, dengan struktur permukaan sedikit melengkung mengikuti alur dinding ruangan. Lukisan yang menggambarkan pikiran Sukarno tentang kekayaan dan pesona alam Indonesia, lewat objek satwa-satwa Indonesia.
Panel paling kiri menggambarkan satwa hutan seperti unggas, kuda hingga kerbau. Kemudian, panel tengah menggambarkan ikan-ikan beragam warna beserta makhluk hidup air lainnya tengah berenang di antara beragam warna karang hingga tanaman laut. Sementara itu, panel sisi kanan menggambarkan satwa liar di hutan yang terbilang langka dan buas, seperti harimau, badak hingga gajah. Hewan-hewan tersebut tampak gagah dalam gambar, di antara latar belukar hutan serta pemandangan indah di bawah laut.
Melihat “Margasatwa dan Puspita Indonesia”, tergambar kebanggaan Sukarno akan kekayaan alam Indonesia. Kebanggaan yang hendak ditunjukkan kepada khalayak internasional, sebagai bagian dari strategi kebudayaan Indonesia pasca kemerdekaan.
Gagasan lukisan itu memang berasal dari Sukarno. Namun, yang merealisasikannya ke dalam bentuk visual adalah seorang seniman bernama Lee Man Fong. Dia merupakan sosok seniman berdarah Tiongkok yang diaku sebagai maestro di Asia Tenggara. Lee Man Fong adalah tokoh seni rupa penting, yang pada kemudian hari diaku kiprahnya di dua negara, Indonesia dan Singapura.
Lee Man Fong ditunjuk langsung oleh Sukarno untuk mewujudkan imaji Indonesia kaya secara artistik dalam lukisan, setelah cukup lama berkiprah sebagai seniman Istana dan dekat dengan Sang Presiden.
Tahun itu, Lee Man Fong sebenarnya baru saja mendapatkan status kewarganegaraan Indonesia dari Sukarno dan menjadi seniman istana. Sebelumnya, dia sudah dikenal sebagai salah satu seniman terkemuka yang mendirikan Yin Hua, organisasi seniman Tionghoa di Jakarta. Sukarno sendiri kerap menghadiri pameran-pameran yang diadakan oleh Yin Hua.
"Margasatwa dan Puspita Indonesia" menjadi lukisan terbesar dari Lee Man Fong. Agaknya, ini juga menjadi salah satu karya paling prestisius yang pernah dibuatnya selama masa aktif melukis, dari periode 1940-an hingga 1980-an.
Tionghoa Dari Singapura
Lee Man Fong lahir di Guangzhou, China pada 14 November 1913. Sejak bocah, sosok ini memiliki ketertarikan terhadap seni rupa, menghabiskan banyak waktunya untuk menggambar dengan menggunakan pensil hingga cat air.
Satrio Hari Wicaksono dalam tulisannya “Eksotika Lee Man Fong: Sebuah Kolaborasi Apik Seni Rupa Modern dan Seni Lukis Tradisi Cina” di Journal of Urban Society’s Arts mencatat, Man Fong sempat menempuh pendidikan di Anglo-Chinese School. Dia mengenal teknik melukis untuk pertama kalinya dari seorang guru bernama Lingnan.
Namun, tak banyak sumber yang menyebutkan lebih jauh tentang masa kecil Man Fong, sampai akhirnya dia dibawa keluarganya pindah ke Singapura, kemudian ke Batavia.
Ayah Man Fong, Lee Ling Khai, merantau ke Singapura untuk mencari peruntungan hidup baru dengan jalan berdagang. Keluarganya sempat sukses dan hidup nyaman di Singapura, sebelum kemudian sang ayah meninggal dunia pada 1929.
Kepergian sang ayah membuat kehidupan Man Fong dan keluarga menjadi sulit. Dia harus menjadi tulang punggung keluarga, untuk menafkahi ibu dan adik-adiknya. Dari sinilah, kesadaran Man Fong remaja memanfaatkan bakatnya menggambar untuk mencari uang, mulai terbentuk. Sayangnya, hasil dari menjual sketsa maupun lukisan tak cukup untuk mengatasi kesulitan ekonomi keluarga Man Fong.
Situasi sulit yang tak berangsur teratasi, pada akhirnya mendorong Man Fong hijrah ke Batavia pada 1932.
Di Batavia, dia bekerja sebagai editor seni sebuah majalah China, hingga menjadi desainer di sebuah percetakan milik Belanda. Kariernya melesat sampai dia mampu mendirikan sebuah agen periklanan, sembari tetap bekerja sebagai ‘seniman komersil’.
Pada masa itu, Man Fong menciptakan banyak karya lukisan yang dijual kepada para kolektor seni. Dari karya ke karya, dari ulasan ke ulasan para kolektor, nama Man Fong perlahan menjadi besar di Batavia.
Tak lama setelah menikahi seorang pianis bernama Lie Muk Lan, pada 1936, Man Fong mendapatkan undangan dari pemerintah Belanda untuk ikut serta dalam pameran di negeri tersebut. Keterlibatan Man Fong sempat menimbulkan kemarahan sebagian komunitas seniman Belanda. Pasalnya, lazimnya pameran itu hanya diikuti oleh anggota komunitas.
Pucuk dicinta ulam pun tiba. Buntut dari keributan itu justru membuat nama Man Fong sebagai seniman yang semakin diperhatikan.
Menurut catatan Satrio Hari Wicaksono, Lee Man Fong akhirnya memutuskan untuk menjadi pelukis sepenuhnya sejak 1940. Dia mulai menggelar pameran tunggal di Jakarta dan Bandung, yang membuat kariernya di dunia seni rupa semakin moncer.
Kesuksesannya sebagai seniman di Batavia, membuat relasi makin luas dan menyentuh orang-orang penting di dunia seni, militer hingga pemerintahan. Ketika Man Fong ditahan atas keterlibatannya menentang pendudukan Jepang pada 1942, dia diselamatkan dan dijamin oleh seorang opsir Jepang bernama Takahashi Masao.
Man Fong mendapat beasiswa dari pemerintah Belanda untuk memperdalam ilmu seni rupa di negara tersebut. Dia pun meninggalkan tanah air dan mendalami seni rupa selama tiga tahun di negeri Kincir Angin.
Pelukis ‘Naturalisasi’
Kala ditahan Jepang, Lee Man Fong sejatinya masih menyandang status sebagai pendatang dari Singapura. Rasa keberpihakan muncul dari kepekaannya terhadap situasi sosial yang ada, ditambah rasa telah menjadi bagian dari rakyat yang saat itu bercita-cita untuk merdeka.
Tahun 1952, dia Kembali ke Indonesia setelah belajar di Belanda. Man Fong kemudian menggelar banyak pameran, hingga mendirikan Yin Hua yang pameran-pamerannya menarik perhatian Sukarno.
Sukarno tertarik pada karya-karya Man Fong yang menampilkan gambaran realis dari alam, hewan dan kesederhanaan hidup masyarakat. Lukisannya menurut Sukarno, bagaikan ventilasi yang mampu ‘menyejukkan’ hati di tengah situasi pelik revolusi.
Ketertarikan yang besar terhadap karya-karya Man Fong, ditambah rekomendasi dari pelukis kawakan saat itu, Dullah, membuat Sukarno mengangkatnya sebagai pelukis istana. Bersamaan, Man Fong pun diberikan status kewarganegaraan Indonesia oleh Presiden.
Man Fong menjalani kiprah sebagai pelukis Istana dengan dedikasi yang besar. Dia melukis banyak karya untuk koleksi Istana serta proyek-proyek seni publik Sukarno, di samping juga menguratori benda-benda seni koleksi Sang Presiden.
Di masa itulah Man Fong diminta untuk membuat lukisan “Margasatwa dan Puspita Indonesia oleh Sukarno. Untuk merealisasikan proyek penting ini, Man Fong bekerja dengan dibantu asisten pelukis Lim Wa Sim, Tjio Soen Djie, Siauw Swie Ching dan Lee Rern.
Hasilnya adalah karya lukisan dinding yang megah dan memuaskan hati Sukarno. Man Fong sendiri terus menjadi pelukis Istana hingga pertengahan periode 60-an. Dia sempat mengerjakan buku yang mendokumentasikan lukisan-lukisan dan patung milik Sukarno, sebelum kemudian kiprahnya terhenti bersamaan dengan lengsernya Sukarno.

Seni Rupa Timur Dan Barat
Lukisan “Margasatwa dan Puspita Indonesia” kini menjadi bagian tak terpisahkan dari fisik Hotel Indonesia – Kempinski, yang telah menjadi aset negara dan cagar budaya. Lukisan berbentuk panel berukuran tinggi 3,998 meter dan panjang 10,853 meter, dengan jarak pandang terhadap pengamat sekitar 6,65 meter.
Lukisan ini berada di dinding dekat Bali Room Foyer, melekat di dinding yang disangga dua kolom vertikal. Material lukisan berupa kanvas dilekatkan pada lapisan khusus di dinding, berupa paduan tiga buah lengkungan panel dalam satu bidang horizontal yang hampir menutupi lebar ruangan Bali Room.
Konsep bentuk kurva ini merupakan gagasan orisinal dari Lee Man Fong sendiri, menurut publikasi Galeri Nasional Indonesia yang merujuk wawancara tahun 2020 dengan Lee Rern, anak dari Lee Man Fong.
“Margasatwa dan Puspita Indonesia” tergolong karya dengan karakter realis-impresionis. Karya ini dianggap sebagai salah satu puncak akumulasi proses eksplorasi artistik Lee Man Fong. Di mana pengetahuan dan kesadaran personalnya tentang keindahan flora-fauna, digambarkan dalam struktur visual yang kompleks.
Satwa atau hewan, orang-orang biasa dalam kesehariannya, atau alam dengan sungai yang tenang, adalah objek-objek yang kerap muncul dalam karya-karya lukisan Lee Man Fong.
Menurut Satrio Hari Wicaksono, karya-karya Lee Man Fong banyak diilhami kehidupan keseharian dan tema-tema yang umum hadir pada lukisan Cina klasik, seperti flora fauna, pemandangan dan manusia. Tak jarang ia menggambarkan kehidupan keseharian masyarakat yang terjadi di sekitarnya, seperti yang terdapat dalam lukisannya yang berjudul “Satay Seller”, “Balinese Life”, dan juga “Pulang Kampung”.
Secara tematik, karya-karya Lee Man Fong seperti karya-karya banyak seniman LEKRA di masa itu. Karya-karya Man Fong relatif bebas dari kecenderungan politis, seperti banyak seniman menggambarkan nasionalisme dan perjuangan heroik dalam karya-karya mereka. Namun, karya-karyanya menunjukkan ikatan emosional yang kuat darinya sebagai pendatang, dengan keseharian masyarakat Indonesia.
Kepeloporan Lee Man Fong dalam gerakan seni rupa Indonesia dapat diidentifikasi lewat karakteristik penciptaannya. Dia dikenal sebagai seniman yang berhasil memadukan karakteristik seni lukisan China klasik (Timur) dengan seni lukis barat.
Karakteristik karyanya dipengaruhi oleh seni lukis China klasik, dengan penggunaan warna temaram yang cenderung sephia, penggarapan bentuk yang sederhana namun dengan tarikan garis yang kuat, hingga penulisan sajak dan puisi pada beberapa buah karyanya, menjadikan Lee Man Fong berbeda dengan seniman-seniman Indonesia semasanya.
Dia mahir menggunakan teknis melukis campuran. Gaya sapuan warna tipis dan sederhana dikombinasikan dengan sapuan tebal khas gaya seni Barat. Dalam banyak karyanya, penggunaan warna sephia tetap menjadi ciri khas utama, namun dengan pemilihan teknik pencahayaan yang lebih hidup dan juga beragam.
Pendeknya, posisi Lee Man Fong dalam sejarah gerakan seni rupa Indonesia cukup menonjol karena karakteristik lukisannya yang khas. Di masa banyak pelukis tanah air berorientasi barat, maka Man Fong hadir dengan identitas berbeda, menunjukkan pesona rupa lewat perpaduan gaya timur dan barat.
Hijrah Ke Singapura
Kemelut politik tahun 1965 membuat jalan hidup Lee Man Fong berubah. Seiring kian melemahnya kekuasaan Sukarno, Man Fong mulai menghadapi situasi sulit. Dia kesulitan untuk berkarya secara bebas, karena selalu dikaitkan dengan Sukarno yang pada masa itu telah kalah dan ‘disalahkan’ secara politik.
Man Fong hijrah kembali ke Singapura pada 1966. Ketika itu, namanya sudah besar dan karya-karyanya sudah tersiar ke berbagai negara. Maka itu, tak sulit bagi Man Fong untuk melanjutkan karier di Singapura, menetap, bahkan kemudian mendapat status kewarganegaraan di sana.
Hampir 20 tahun berkiprah di Singapura, membuat sosok Lee Man Fong melekat dengan identitas seni rupa di negara tersebut. Ditambah dia mendapat legalitas pengakuan sebagai warga negara Singapura, maka tak heran dia pun dianggap sebagai seniman Singapura. Namun cinta Lee Man Fong akan Indonesia tampaknya begitu besar.
Pada 1985, ketika situasi politik di Indonesia sudah lebih tenang, dia dan keluarganya kembali ke Indonesia. Niatnya membuncah, ingin kembali hidup di Indonesia.
Sayang, tak banyak catatan tentang karya maupun kiprah Lee Man Fong sekembalinya ke Indonesia pada usia senjanya. Dia hanya menghabiskan tiga tahun menetap di rumahnya di Bogor, sebelum kemudian berpulang pada 1988.
Hari ini, karya-karya Lee Man Fong masih muncul dalam berbagai pameran maupun lelang bergengsi. Karya-karyanya kini dianggap klasik, masuk dalam jajaran karya-karya mahal di pasaran.Sebagaimana karya Affandi, Sudjojono dan sederet maestro lainnya, karya-karya Lee Man Fong masuk dalam jajaran ‘old master’ dengan nilai jual miliaran rupiah.
Karya-karya Lee Man Fong terdokumentasi dalam buku dua jilid yang diterbitkan oleh Art Retreat pada 2005. Buku ini memuat karya-karya sang maestro yang kini dimiliki oleh para kolektor seni dari berbagai belahan dunia.