23 Agustus 2021
14:09 WIB
Penulis: Andesta Herli Wijaya
Editor: Satrio Wicaksono
JAKARTA – Ondel-ondel adalah salah satu item kesenian yang lahir dari masyarakat Betawi tradisional. Berkembang sejak periode 1920-an, Ondel-ondel menjadi medium seni sekaligus bagian dari realitas ritual masyarakat.
Ondel-ondel setinggi 2,5 meter, diciptakan sepasang, satunya dengan tampilan wajah sangar dan yang lainnya halus. Itu adalah kombinasi yang diyakini manjur untuk mengusir roh-roh halus. Ondel-ondel biasa diletakkan di beranda rumah masyarakat Betawi tradisional untuk tujuan tersebut.
Selain dipajang di rumah-rumah, ondel-ondel juga dimainkan sebagai sebuah permainan seni yang memiliki muatan ritual.
Budayawan Betawi, Syaiful Amri menjelaskan, eksistensi ondel-ondel sebagai bagian dari ritual itu tumbuh hingga periode 1960-an.
“Pada tahun sekitar 1920-an sampai 1960-an, masih dipergunakan sebagai pengusir roh halus, ditaruh di rumah-rumah, dipajang, dan ditangkap juga mereka bermain dalam rangka ritual mengusir roh halus,” ungkap Syaiful kepada Validnews, beberapa waktu lalu.
Dalam perkembangan selanjutnya, ondel-ondel semakin sering dimainkan di sudut-sudut kota. Mulanya dalam rangka ritual, namun karena memang menarik, lama-kelamaan berkembang menjadi pertunjukan hiburan bagi masyarakat.
Pada tahun 1970-an, ondel-ondel mulai sering dimainkan di helatan-helatan warga, atau menjadi media pertunjukan bagi tamu-tamu dari luar Jakarta dalam acara-acara pemerintahan.
Bersamaan pada periode tersebut, ada gelombang revitalisasi kesenian tradisional Betawi yang dipelopori oleh para seniman Betawi. Ondel-ondel semakin sering ditampilkan sebagai pertunjukan di acara-acara penting. Perkembangan ondel-ondel sebagai seni pertunjukan itu berlangsung hingga medio 2000-an.
Syaiful mengatakan, ondel-ondel berkembang menjadi identitas masyarakat Betawi, dicitrakan sebagai representasi sifat atau karakter masyarakat betawi yang egaliter. Hal itu tercermin pada lugunya tampilan ondel-ondel, yang berjalan melenggak-lenggok menggambarkan keceriaan masyarakat Betawi.
“Orang Betawi itu kan lugu, tangannya terbuka, dan artinya sangat egaliter, menerima siapapun yang datang ke Jakarta itu. Jadi memang menggambarkan orang betawi yang sangat egaliter,” paparnya.
Kesadaran akan identitas itu pula yang mengantarkan ondel-ondel menjadi salah satu ikon budaya Betawi yang ditetapkan pada tahun 2017.
Namun, penetapan itu ternyata membawa ondel-ondel memasuki babak baru, di mana banyak orang mulai mengeksploitasi daya tarik ondel-ondel tersebut. Misalnya terlihat dari fenomena ondel-ondel yang dijadikan media mengamen di jalanan.
“Nah setelah menjadi ikon budaya betawi, dimanfaatin sama orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Ngamen salah-satunya,” tutur Pamong Budaya DKI Jakarta ini.
Menurut Syaiful, fenomena pengamen ondel-ondel yang terus tampak di Jakarta dewasa ini adalah suatu eksploitasi ikon budaya. Para oknum melihat nilai ekonomis dari status ikon budaya pada ondel-ondel, dan menjadikannya sebagai alat meminta-minta.
Dengan kata lain, pengamen menyeret ondel-ondel ke fungsi yang baru, tercerabut dari sejarah perkembangannya sebagai medium ritual, bagian dari ekspresi spiritual masyarakat Betawi di masa lalu.