15 Februari 2022
21:00 WIB
Editor: Rendi Widodo
JAKARTA - Limfoma Hodgkin merupakan penyakit yang jarang, namun termasuk jenis kanker pada sistem kelenjar getah bening.
Ketua Perhimpunan Hematologi Onkologi Medik Ilmu Penyakit Dalam Indonesia (PERHOMPEDIN) Yogyakarta, dr. Johan Kurnianda, Sp.PD KHOM mengatakan Dengan pengobatan yang tepat, paling sedikit 8 dari 10 pasien Limfoma Hodgkin dapat sembuh. Setelah perawatan selesai dan pasien dinyatakan sembuh, penting untuk kontrol berkala kepada dokter.
"Kalau sudah pengobatan, wajib kontrol berkala," kata Johan dalam webinar seperti dikutip dari Antara, Selasa (15/2).
Semakin lama, frekuensi kontrol akan semakin jarang. Pada tahun pertama dan kedua setelah pengobatan, pasien dapat diminta kontrol setiap tiga hingga enam bulan. Pada tahun ketiga, pasien bisa datang satu hingga dua kali dalam setahun. Mulai dari tahun keempat hingga seterusnya, pasien diminta untuk kontrol sekali dalam setahun.
Pemeriksaan secara berkala berguna dalam memastikan kondisi pasien, sehingga bila ada kekambuhan dokter dapat segera menanganinya.
"Kanker adalah penyakit yang tidak akan hilang sepenuhnya, yang ditangani sewaktu-waktu bisa kambuh, jadi kontrolnya harus terus dilakukan," jelas dia.
Konsultasi dengan dokter spesialis hemato-onkologi penting setelah perawatan selesai agar pasien bisa memahami risiko dan masalah kesehatan yang dihadapi.
Akses pengobatan
Johan mengatakan akses terhadap obat kanker jadi tantangan utama, khususnya di negara berkembang. Tidak semua orang bisa dengan mudah mendapatkan akses, tergantung dari finansial yang bersangkutan karena harga obat tak seluruhnya terjangkau oleh semua lapisan masyarakat.
Dari sisi akses pengobatan, berdasarkan laporan dari Badan Kesehatan Dunia (WHO) negara dengan pendapatan nasional yang lebih rendah memiliki ketersediaan obat anti-kanker yang lebih rendah, termasuk terapi target. Hal ini menimbulkan perbedaan pada angka harapan hidup pasien kanker di berbagai negara.
Berbagai strategi dapat diterapkan untuk meningkatkan akses terhadap obat kanker, seperti mengurangi biaya pengembangan, meningkatkan keandalan (reliability) rantai pasokan global, menyediakan program bantuan pasien.
Jika pasien bisa ditangani secara setara, tak peduli status sosialnya, dan mendapatkan akses pengobatan yang sama, secara jangka panjang penanganan kanker di Indonesia pun akan lebih baik.