c

Selamat

Senin, 17 November 2025

KULTURA

04 September 2025

20:58 WIB

Kohabitasi, Kala Pasangan Muda Mendefinisikan Ulang Konsep Relasi

Kohabitasi atau tinggal bersama tanpa menikah dianggap sebagian kalangan sebagai pilihan realistis di tengah kultur urban yang dinamis. Namun, hukum Indonesia tak mengakui pola relasi ini.

Penulis: Gemma Fitri Purbaya

Editor: Rikando Somba

<p id="isPasted">Kohabitasi, Kala Pasangan Muda Mendefinisikan Ulang Konsep Relasi</p>
<p id="isPasted">Kohabitasi, Kala Pasangan Muda Mendefinisikan Ulang Konsep Relasi</p>

Ilustrasi pasangan tinggal bersama alias kohabitasi. Sumber foto: Freepik.

JAKARTA - Sebagai mahasiswa yang tengah menempuh pendidikan tinggi di negeri orang, Anthony (29, bukan nama sebenarnya), harus pintar-pintar menghemat uang. Sekalipun dia telah bekerja sambilan di sana-sini, tetap saja ada kebutuhan sehari-hari yang dia harus dipenuhi.

Anthony bukan mahasiswa beasiswa. Tak ada dukungan dana yang ia dapatkan, sehingga mau tidak mau wajib membiayai segala kebutuhan pendidikan maupun hariannya sendiri.

Anthony memilih tinggal bersama seorang teman perempuan, Bella (30, bukan nama sebenarnya.red). Mereka berdua menyewa flat dan membagi uang sewa sama rata. Keduanya tidak menjalin romansa apa-apa, hanya merasa senasib-seperjuangan karena sama-sama mahasiswa rantauan dari Indonesia. Baik Anthony dan Bella masing-masing memiliki kekasih dan tinggal di negara yang berbeda. Pacar Anthony berada di Prancis, sementara pacar Bella di Indonesia.

"Jadi tinggal bersama kami motifnya karena ekonomi, karena kan lebih hemat dibandingkan harus menyewa flat sendirian. Pacar kami masing-masing juga tahu dan tidak ada apa-apa di antara kami berdua, hanya teman baik," tutur Anthony pada Validnews beberapa waktu lalu.

Untuk urusan domestik, mereka lakukan berdua secara bergantian. Semisal, Anthony kebagian membersihkan flat di pekan pertama, maka pekan selanjutnya adalah tugas Bella. Kamar tidur menjadi area yang tidak terjamah karena area privasi masing-masing orang.

Di luar negeri mungkin tinggal bersama lawan jenis seperti ini adalah sesuatu yang wajar. Di Indonesia, praktik serupa juga ada, hanya saja kebanyakan dilakukan oleh pasangan kekasih.

Eric sebut saja begitu, adalah salah satunya. Baru menjalin hubungan dengan pacarnya, Mila (38, bukan nama sebenarnya.red), keduanya memutuskan untuk tinggal bersama tanpa ikatan pernikahan.

Kepada Validnews, Eric, yang kini berusia 37 tahun, bercerita kalau keputusan untuk tinggal bersama alias kohabitasi terjadi begitu saja, bermula dari obrolan ringan.

"Proses awalnya hanya ngobrol saja, lupa siapa yang mengajak, tetapi sesimpel 'tinggal bareng aja ya', dan pihak yang diajak pun jawabannya 'oh yaudah', seperti itu," ungkap Eric, melalui sambungan telepon, Senin (1/9) lalu.

Eric melanjutkan, alasan utama untuk memutuskan tinggal bersama tanpa ikatan pernikahan pun simpel. Sesederhana karena 'kenapa tidak?'. Meski dia juga mengakui ada sejumlah faktor lain yang juga menjadi pendorong keputusan itu. Termasuk, di antaranya pertimbangan dari segi ekonomi hingga efisiensi.

Eric dan Mila bekerja di tempat yang sama, sebuah perusahaan swasta di Jakarta. Sebelum tinggal bersama, Mila sudah tinggal di apartemen yang dekat dengan kantor mereka. Sementara itu, tempat tinggal Eric berjarak cukup jauh dari kantor. Dengan tinggal bersama, dalam hal ini Eric bergabung ke apartemen Mila, maka dia menghemat biaya transportasi.

"Tetapi poin besarnya itu mungkin karena lagi bucin (budak cinta) ya, dan kebetulan bertemu pasangan dengan mindset yang mau tinggal bersama juga, jadi yaudah kejadian aja. Segampang itu," lanjut Eric.

Selama tinggal bersama, Eric mengaku tidak ada cemoohan dari keluarga, orang-orang sekitar, maupun lingkungan. Konsep apartemen yang umumnya tertutup dan tak banyak interaksi antar penghuni, ini agaknya "menguntungkan" bagi Eric dan Mila karena tak ada yang mempertanyakan cara hidup mereka sebagai pasangan belum menikah.

Eric dan Mila sadar betul tinggal bersama tanpa menikah seperti yang mereka lakukan adalah hal yang tabu di Indonesia. Dia juga jarang membicarakan hal tersebut karena tinggal bersama bukan tema umum yang sengaja dibawa ke dalam suatu obrolan.

Membentuk Pola Relasi "Ideal"
Tinggal bersama, menurut Eric, memberi pengalaman dan perspektif baru tentang pasangannya. Dia dan pasangannya merasa semakin dekat dan mengenali satu sama lain. Faktor yang membuat mereka kemudian yakin untuk melangkah ke jenjang pernikahan.

Pola kehidupan sehari-harinya pun berubah setelah tinggal bersama Mila. Dari yang awalnya mungkin hanya bertemu di tempat kerja, sekarang bertemu hampir 24 jam, dari bangun tidur hingga menjelang terlelap.

Bukan itu saja, tinggal bersama ketika status masih berpacaran secara tidak langsung membantu keduanya menciptakan pola relasi yang dianggap tepat atau sehat. Tak seperti pasangan suami istri pada umumnya di Indonesia, Eric dan Mila punya nilai-nilai sendiri terkait peran masing-masing.

Misalnya, membersihkan apartemen adalah tugas kedua belah pihak, alih-alih cuma menjadi tanggung jawab pihak perempuan. Hal lainnya yang mereka bangun adalah relasi yang menghormati independensi masing-masing pihak. Eric tak menjadi pria yang serba mengatur, sebaliknya Mila memiliki kebebasan atas kehidupannya sendiri.

Dalam hal paling standar, misalnya soal biaya hidup, Eric dan Mila mengusahakannya secara bersama-sama. Tak ada si pemberi nafkah dalam hubungan ini.

Nilai-nilai itu, yang relatif berbeda dengan cara-cara umum di Indonesia yang menjunjung nilai-nilai ketimuran, terus dipertahankan sampai keduanya menikah dan hidup sebagai suami istri. Eric dan Mila menjalani kohabitasi dalam kurun waktu tak terlalu lama sebelum akhirnya memutuskan menikah. Alasannya: Mila mengandung.

Eric mengaku tidak ada perbedaan berarti dari mereka tinggal bersama tanpa dan dengan status pernikahan.

"Paling hanya momen romantis berkurang drastis. Kalau dahulu kan semisal pillowtalk yang kita obrolin mimpi-mimpi. Setelah menikah, apalagi ketika memiliki anak, obrolan tentang mimpi-mimpi itu beralih menjadi obrolan tentang anak dan apa yang terbaik bagi dia," kata Eric.

Fenomena Lama, Tak Mudah Diterima
Sosiolog Universitas Padjajaran Bandung, Yusar Muljadji mengatakan sebenarnya fenomena tinggal bersama tanpa menikah atau kohabitasi ini bukan fenomena baru dan telah ada sejak dahulu di masyarakat. Maka dari itu, kehadiran kohabitasi ini merupakan kelanjutan dari masa sebelumnya.

Alasan orang-orang melakukan kohabitasi ini pun sama seperti masa sebelumnya, yakni untuk beradaptasi dengan kondisi ekonomi, sebagai tahap persiapan menikah, maupun karena mengalami eksklusi sosial.

"Kohabitasi selain karena ekonomi maupun tahap pranikah, sering juga karena seseorang mengalami eksklusi sosial yang membuatnya tidak dapat mengakses sumber daya penting dan menyebabkan dirinya harus beradaptasi dengan berbagai kekurangan terhadap akses, salah satunya adalah dengan kohabitasi," jelas Yusar pada Validnews, Senin (1/9).

Dia tidak menampik bahwa bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, kohabitasi dianggap sebagai perilaku menyimpang karena berbeda dengan nilai-nilai maupun norma kesusilaan yang berlaku. Belum lagi dari faktor religi, di mana masyarakat Indonesia mayoritas beragama Islam, sehingga sangat menentang kohabitasi yang dianggap sebagai bentuk perzinahan.

"Kohabitasi pada umumnya dipandang sebagai tahap menuju menikah karena hidup bersama memiliki makna belajar memahami pasangannya. Namun kembali pada nilai-nilai yang berlaku di masyarakat, kohabitasi merupakan bentuk penyimpangan terhadap nilai dan norma kesusilaan," lanjut Yusar.

Dampak panjangnya sendiri tinggal bersama tanpa menikah ini diperkirakan pada menurunnya jumlah kelahiran. Ini dilihat dari negara-negara yang melumrahkan kohabitasi. Pasalnya, pasangan yang berkohabitasi cenderung untuk tidak memiliki anak karena berbagai keterbatasan.

Dia mengambil contoh Jepang, di mana banyak pasangan muda tidak menikah tetapi memilih untuk tinggal bersama dan tidak memiliki anak. Mereka beralasan memiliki anak itu mahal dan menguras energi. Jepang sendiri menjadi salah satu negara dengan perlambatan laju penduduk paling mencolok sedunia.

Laporan terbaru yang dirilis Kementerian Kesehatan Jepang, angka kelahiran di negara tersebut pada paruh pertama 2025 mencapai titik terendah sepanjang sejarah pencatatan sejak 1969. Tercatat, hanya 339.280 bayi yang lahir antara Januari hingga Juni, termasuk bayi dari warga negara asing. Menurut laporan NHK, angka ini turun 3,1% atau sekitar 10.794 bayi dibandingkan periode yang sama tahun lalu.

Jepang hampir mirip dengan Korea Selatan, yang juga mengalami tren penurunan angka kelahiran dan pernikahan. Benturan budaya tradisional yang masih menempatkan perempuan pada tugas domestik, berhadapan dengan gaya hidup kekinian di mana banyak suami-istri kini adalah sama-sama pekerja. Ujungnya, pernikahan dianggap semakin tak menarik, terutama bagi kaum wanita.

Di Indonesia, trennya juga menjurus. Banyak anak muda kini enggan atau menunda pernikahan. Sementara angka perceraian terus meningkat dari waktu ke waktu.

Data Badan Pusat Statistik, angka pernikahan di Indonesia pada 2024 yaitu 1,4 juta, turun signifikan dari tahun 2020 sebesar 1,7 juta. Sementara angka perceraian pada 2024 tercatat hampir 500 ribu kasus, naik nyaris dua kali lipat jika dibandingkan lima tahun sebelumnya.

Sosiolog Yusar tak menyoroti kohabitasi sebagai gaya hidup yang berkorelasi langsung dengan fenomena menurunnya angka pernikahan di Indonesia. Dia pun tak yakin sejauh mana gaya hidup ini bisa diakui di Indonesia, meski pada kenyataannya sudah sejak lama dan sudah banyak dilakukan.

Dengan melihat masyarakat Indonesia yang sangat menjunjung agama dan nilai-nilai kesusilaan, menurut Yusar, kohabitasi masih akan tetap sulit diterima sebagai bentuk keberagaman gaya hidup. Apalagi, stigma terhadap kohabitasi juga sudah melekat. Jika diatur resmi oleh negara, malah dikhawatirkan akan muncul pertentangan yang lebih besar.

"Indonesia juga tergolong negara yang melarang kohabitasi seperti yang termuat pada UU Nomor 1 Pasal 412 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, berisikan bahwa pasangan yang tinggal bersama di luar pernikahan dinyatakan sebagai tindak pidana yang bisa dikenai hukuman selama-lamanya 6 bulan," kata Yusar.

Sikap yang bijak adalah menyesuaikan dengan nilai, norma, dan hukum formal yang berlaku di masyarakat Indonesia," lanjutnya.

Kohabitasi Dari Sisi Psikologis
Psikolog Virginia Hanny mengatakan ada banyak motivasi yang mendorong seseorang melakukan kohabitasi. Sama halnya seperti cerita Eric, sebagian besar pasangan yang memutuskan untuk tinggal bersama sebelum atau tanpa menikah adalah agar bisa menghabiskan waktu lebih lama bersama pasangan.

"Ada juga yang beralasan lebih make sense secara finansial gitu, lebih berhemat kalau tinggal berdua. Ada juga yang ingin mengetes kecocokan atau compatibility mereka sebelum menikah," kata Hanny melalui sambungan telepon, Kamis (4/9).

Meski begitu, dia tidak menampik juga kalau ada pula orang yang beralasan untuk kohabitasi karena tidak percaya dengan pernikahan, tetapi hanya ingin menjalin hubungan atau komitmen dengan pasangan mereka. Apalagi pada beberapa budaya tertentu di Indonesia, menikah bukan sesuatu yang murah.

Ada budaya tertentu yang mengharuskan pengantin wanita untuk "dibeli" oleh pengantin pria dengan harga atau mahar yang tinggi. Belum lagi, keterlibatan keluarga dan sanak saudara dalam pernikahan dan rumah tangga sehingga menyebabkan beberapa orang memutuskan untuk kohabitasi ketimbang menikah.

"Minoritas sebenarnya yang bilang mereka tidak percaya dengan pernikahan tetapi ingin menjalin hubungannya gitu, menjalin komitmennya dengan pasangan, tetapi tidak percaya dengan konsep pernikahan itu sendiri," lanjut Hanny.

Faktor trauma masa lalu atau pengalaman buruk dalam relasi pun mungkin bisa mempengaruhi pasangan untuk memilih kohabitasi, tetapi Hanny menekankan tidak semuanya begitu. Malah berdasarkan sebuah studi, mereka yang melakukan kohabitasi karena pengalaman masa lalu yang negatif umumnya memiliki komitmen yang rendah pada pasangannya. Sekalipun mereka melakoni tinggal bersama tanpa menikah, biasanya memiliki akhir hubungan yang kurang baik.

Namun, jika kohabitasi ini dilakukan dengan pola relasi jangka panjang yang sehat dan adaptif, memiliki komitmen, dan mempunyai kesiapan bersama-sama, tidak heran kalau gaya hidup ini bisa memberikan dampak positif bagi pasangan.

"Secara psikologis ditemukan bahwa tinggal dengan orang lain yang tepat, baik menikah atau kohabitasi memiliki efek lebih baik pada individu. Jadi orang-orang itu lebih tidak sendirian gitu dan akan dijauhkan dari risiko terkena depresi. Jadi dampaknya pada kesehatan mental individu baik, kalau hubungannya tepat, sehat, dan baik, gitu," kata Hanny.

Meskipun praktik 'kumpul kebo' atau kohabitasi ini masih cukup tabu dan belum banyak dibicarakan, Hanny mengatakan agar masyarakat jangan asal menghakimi pilihan orang lain. Pasalnya, setiap orang memiliki alasan dan permasalahannya masing-masing.

"Mau orang yang kita kenal atau tidak, kita tidak asal melakukan judgement itu, supaya tidak menimbulkan stigma. Stigma itu kan berdampak negatif pada individu," tutup Hanny.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar