c

Selamat

Sabtu, 15 November 2025

KULTURA

02 Oktober 2024

13:25 WIB

Kisah Tanah Dayak Dalam Tale of the Land, Debut Di BIFF 2024

Tale of the Land, film yang merefleksikan realitas sosial masyarakat di Kalimantan saat ini serta tantangan-tantang yang mereka hadapi. Debutnya akan tayang di Busan International Film Festival 2024.

Penulis: Andesta Herli Wijaya

Editor: Satrio Wicaksono

<p>Kisah Tanah Dayak Dalam <em>Tale of the Land</em>, Debut Di BIFF 2024</p>
<p>Kisah Tanah Dayak Dalam <em>Tale of the Land</em>, Debut Di BIFF 2024</p>

Cuplikan film Tale of the Land. Foto: KawanKawan Media.

JAKARTA – Shenina Cinnamon tampil lewat karakter seorang gadis Dayak dalam film Indonesia terbaru, Tale of the Land. Film debut sutradara Loeloe Hendra yang diproduseri Yulia Evina Bhara ini, akan tayang perdana dan berkompetisi di Busan International Film Festival (BIFF) 2024.

Trailer Tale of the Land yang dirilis baru-baru ini oleh KawanKawan Media menampilkan Shenina Cinnamon beradu peran dengan Arswendy Bening Swara, Angga Yunanda, dan Yusuf Mahardika. Mereka membawakan kisah subtil tentang orang-orang yang hidup di sudut pulau Kalimantan, yang masih memegang kepercayaan tradisional tentang alam dan tanah leluhur.

Tale of the Land muncul sebagai sebuah perjalanan yang terinspirasi dari masyarakat adat. Kisah berpusat pada seorang gadis Dayak bernama May, yang diperankan oleh Shenina Cinnamon. May dihantui oleh trauma kematian orang tuanya dalam sebuah konflik tanah.

May tinggal bersama kakeknya, Tuha (diperankan oleh Arswendy Bening Swara), di sebuah rumah terapung yang terombang-ambing di atas danau, jauh dari daratan.

Sutradara Loeloe Hendra mengatakan, karakter May merupakan alegori yang merefleksikan tantangan yang dihadapi oleh masyarakat adat di seluruh dunia. Komunitas yang hidup dengan tradisi luhur akan pelestarian alam, kini menghadapi kondisi yang terus berubah akibat tekanan dunia modern.

Itulah yang disajikan dalam Tale of the Land. Loeloe Hendra membawa sebuah kisah tentang tanah yang merefleksikan realitas sosial masyarakat di Kalimantan saat ini. Tahun ke tahun, kondisi berubah dan kian memojokkan masyarakat adat.

"Bagaimana jika manusia tidak bisa hidup di atas tanah? Bagaimana jika kita memiliki tanah yang luas, tapi kita tidak bisa menginjakkan kaki di atasnya lagi? Bagaimana dengan seseorang yang lahir di tanah leluhurnya, namun kemudian terpaksa pergi hingga ajal menjemput dan tidak bisa kembali lagi ke tanah kelahirannya," ungkap Loeloe Hendra dalam keterangan pers, dikutip Rabu (2/10).

Film Tale of the Land membawa sajian sinematik ciamik, dengan lebih 90% peristiwa atau adegan film berlangsung di atas air. Film ini mengajak penonton mengamati alam di sebuah wilayah danau di kalimantan yang lembab serta penuh akan elemen fantasional.

Menurut produser Yulia Evina Bhara, Tale of the Land diproduksi di sebuah delta sungai pedalaman Kalimantan. Wilayah itu memiliki karakteristik unik, di mana permukaan selalu berubah secara dramatis selama musim hujan, saat air mencapai puncak debitnya.

"Kemudian datanglah tantangan berikutnya: musim hujan selalu datang dengan angin dan badai. Proses produksi selalu tentang menemukan cara teraman untuk melakukan pengambilan gambar di musim hujan yang penuh dengan angin dan badai. Terlepas itu, kami sangat senang film ini akhirnya akan tayang perdana di Busan International Film Festival," tutur Yulia.

Film Tale of the Land akan menggelar penayangan perdana di BIFF 2024 yang akan berlangsung 10 hari, 2 sampai 11 Oktober mendatang. Film ini akan berkompetisi dalam program New Currents, salah satu segmen kompetisi dalam festival tahunan Korea Selatan tersebut.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar