20 Mei 2024
12:52 WIB
Kiprah Salim Said, Intelektual Yang Cinta Seni
Tak hanya berkutat sebagai akademisi hingga dunia pers, Salim Said juga punya peran penting dalam percaturan seni budaya dan perfilman tanah air.
Penulis: Andesta Herli Wijaya
Editor: Satrio Wicaksono
Prof. Salim Said, tokoh pers dan perfilman nasional yang juga pernah bertugas sebagai Duta Besar RI untuk Republik Ceko. ANTARA FOTO/Fanny Octavianus/pd/aa.
JAKARTA – Indonesia kehilangan sosok intelektual penting, Salim Said. Tokoh pers dan juga cendekiawan yang telah menyumbang pemikiran bagi dialog kebudayaan nasional selama beberapa dekade terakhir.
Salim Said meninggal dunia di RS Cipto Mangunkusumo, Jakarta pada Sabtu (18/5). Ia meninggal di usia 80 tahun, jenazahnya dikebumikan di Tempat Pemakaman Umum Tanah Kusir, Jakarta Selatan.
Salim Said adalah salah satu cendekiawan terkemuka yang gagasan dan karya-karyanya diperhatikan secara luas. Lebih dikenal sebagai tokoh pers, sosok itu sejatinya memiliki kiprah yang membentang luas mencakup dunia seni, filsafat, kajian politik, militer hingga film. Singkatnya, seorang maestro intelektual.
Salim Said lahir di Amparita, Sulawesi Selatan. Ia lahir dua tahun sebelum Indonesia merdeka, lalu di kemudian hari mengisi kemerdekaan itu dengan berbagai karya yang sebagian besarnya berupa kajian sosial, sejarah dan kebudayaan.
Salim Said menjalani sebagian besar hidupnya sebagai akademisi. Mulai dari pendidikan Sosiologi di Universitas Indonesia pada tahun 70’an, hingga meraih gelar Ph.D dari Ohio State University Amerika Serikat pada tahun 80’an.
Setelah menyelesaikan masa pendidikan, Salim mengabdikan dirinya untuk mengajar, menjadi dosen di berbagai perguruan tinggi terkemuka di Indonesia, bahkan luar negeri. Di antaranya yaitu di Universitas Pertahanan, Universitas Indonesia, Universitas Muhammadiyah Malang hingga Universiti Malaya.
Salim adalah akademisi yang aktif menulis buku dan juga terlibat dalam berbagai forum ataupun gerakan nasional. Kiprahnya itu bermula dari periode 70’an, semasa masih menjalani pendidikan, ia berkiprah sebagai wartawan dan ikut mendirikan Majalah Tempo. Kepeloporan di bidang jurnalistik membuat Salim dikenang sebagai tokoh pers.
Di samping itu, Salim juga aktif dalam percaturan seni di tanah air, mulai dari seni pertunjukan hingga film. Tulisan-tulisannya tentang seni dan film yang tersiar di Mimbar Indonesia hingga Horison, dan keterlibatannya dalam berbagai forum seni budaya, mengantarkan Salim menjadi Ketua Dewan Kesenian Jakarta pada tahun 1989.
Di masa sebagai Ketua Dewan Kesenian Jakarta, Salim berperan besar dalam memupuk iklim kesenian di Ibu Kota menjadi meriah. Di masa itulah teaterawan-teaterawan besar, Rendra hingga Arifin C. Noer mementaskan karya-karya ikonik mereka di Taman Ismail Marzuki.
Perhatian besar Salim pada seni tak terlepas dari pengalamannya pernah belajar di Akademi Teater Nasional Indonesia. Dari situ ia aktif dalam berbagai pembicaraan seni di Jakarta, hingga menulis banyak karya kritik seni.
Salim juga tokoh film karena di periode 80-90’an ia juga banyak berkiprah untuk bidang tersebut. Ia menulis banyak kritik film, berkat pengalamannya bergulat dengan persoalan-persoalan flm selama terlibat sebagai anggota Dewan Film Nasional di tahun 80’an, menjadi panitia tetap Festival Film Indonesia (FFI) hingga berkali-kali menjadi juri di festival tersebut.
Salim, dilansir dari laman Dinas Kebudayaan Jakarta, dalam waktu lama pernah menjadi Ketua Hubungan Luar Negeri Panitia Tetap FFI.
Dari tokoh pers tokoh seni, termasuk film, Salim kemudian juga dikenal sebagai pengamat militer. Disertasi doktoralnya yang menyoroti peran Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) pada masa revolusi 1945-1949 dibaca secara luas, mengantarkannya menjadi pengamat militer di Indonesia.
Tak berhenti di situ, Salim juga menjajal kiprah sebagai birokrat dengan menjadi Duta Besar Indonesia untuk Republik Ceko pada masa 2006-2010.
Pengalaman berkiprah di berbagai bidang keilmuan, membuat Salim memiliki kemampuan andal dalam mengulas berbagai hal. Ia menerbitkan buku tentang film berjudul Pantulan Layar Putih: Film Indonesia dalam Kritik dan Komentar (1991), hingga tentang militer berjudul Militer Indonesia dalam Politik (2001).
Amatan-amatannya tentang sejarah sosial hingga politik, mengantarkan Salim Said menerima penghargaan Achmad Bakrie di bidang pemikiran sosial. Perannya diakui, mengisi pengetahuan penting tentang sejarah pergerakan sosial dan politik bagi masyarakat.