01 Oktober 2025
13:03 WIB
Ketika Tulisan Tangan Menjadi Asing Bagi Gen Z
Derasnya arus teknologi mengikis kebiasaan anak-anak sekarang menulis tangan. Sebuah tradisi keterampilan yang membentuk peradaban sejak ribuan tahun lalu.
Penulis: Annisa Nur Jannah
Editor: Satrio Wicaksono
Ilustrasi seorang wanita muda sedang menulis di buku. Shutterstock/Chay_Tee.
JAKARTA - Selama ribuan tahun, tulisan tangan menjadi pilar utama komunikasi manusia. Dari ukiran di tanah liat, papirus, hingga kertas modern. Coretan pena menjadi medium penting untuk mewariskan pengetahuan, cerita, dan budaya lintas generasi.
Tulisan tangan menjadi sebuah keterampilan yang membentuk peradaban. Namun, kini tradisi panjang itu menghadapi tantangan baru.
Khususnya generasi Z, yakni mereka yang lahir antara akhir 1990-an hingga awal 2010-an, disebut mulai kehilangan keterampilan mendasar yang telah ada selama kurang lebih 5.500 tahun. Lantas, mengapa hal itu bisa terjadi?
Melansir laman Evidence Network, studi terbaru dari University of Stavanger menunjukkan sekitar 40% anak muda dari generasi ini kesulitan berkomunikasi dengan tulisan tangan. Fenomena ini bukan kebetulan.
Perubahan dipicu oleh hadirnya teknologi digital yang perlahan menggusur kebiasaan lama.
Kini, papan ketik dan layar sentuh menggantikan pena dan kertas dalam banyak aspek kehidupan. Percakapan singkat di aplikasi pesan instan, singkatan di media sosial, hingga emoji menjadi pilihan ekspresi yang lebih cepat dan praktis.
Perkembangan Kognitif
Padahal, tulisan tangan memiliki peran penting dalam perkembangan kognitif. Saat menulis, otak terlibat lebih kompleks dibanding mengetik.
Aktivitas ini membantu memperkuat ingatan, meningkatkan pemahaman, sekaligus melatih kemampuan menyusun pikiran dengan runtut. Tak heran jika banyak ahli menilai, hilangnya kebiasaan menulis tangan dapat berdampak besar terhadap cara generasi muda berpikir dan belajar.
Kondisi ini juga tampak di ruang kelas. Laporan Turkiye Today mencatat, banyak mahasiswa yang kebingungan ketika diminta menulis tangan. Karena jarang berlatih, tulisan mereka kerap berantakan dan sulit dibaca. Seorang profesor bahasa bahkan menuturkan bahwa sebagian mahasiswa sudah melupakan aturan dasar menulis.
Mereka cenderung menghindari kalimat panjang, enggan merangkai paragraf yang koheren, dan lebih memilih kalimat pendek layaknya status di media sosial. Tidak sedikit pula yang hadir ke kelas tanpa pena, sepenuhnya bergantung pada laptop atau gawai.
Kehilangan tulisan tangan bukan sekadar soal tak bisa lagi menulis surat atau kartu pos. Dampaknya lebih jauh, yakni memengaruhi cara generasi muda mengekspresikan diri dan memahami dunia.
Tulisan tangan identik dengan komunikasi yang reflektif, personal, dan penuh makna. Sebaliknya, teks digital sering kali lahir spontan, singkat, bahkan impulsif.
Agar generasi Z dan berikutnya bisa menjaga keseimbangan di era digital tentu tidak bisa menolak teknologi. Ada cara lain yakni tetap memberi ruang bagi tulisan tangan sebagai jeda, refleksi, dan pengingat bahwa komunikasi bukan sekadar menyampaikan pesan, tetapi juga merangkai makna.