31 Mei 2021
16:56 WIB
Penulis: Andesta Herli Wijaya
Editor: Yanurisa Ananta
JAKARTA – Kampung Tugu, Jakarta Utara, menjadi permukiman warga keturunan Portugis sejak abad ke-17. Warga-warga di sana lahir dari nenek moyang Portugis yang ditawan dan diasingkan Belanda ke Batavia dari Malaka.
Konon, kelompok ini bebas dengan syarat harus berpindah keyakinan dari Katolik ke Protestan. Mereka yang bebas akhirnya berumah dan menetap di area rawa-rawa seluas 20 hektar—yang menjadi cikal bakal Kampung Tugu.
Melansir laman kemdikbud.go.id, Kampung Tugu yang masa itu masih berupa hutan lebat, ditinggali 23 keluarga Portugis. Mereka bercocok tanam, berburu, hingga menangkap ikan. Seusai mencari sumber pangan, masyarakat ini mengisi hari-hari dengan ragam kesenian rakyat, terutama musik.
Musik biasanya menemani warga sambil beristirahat menghabiskan petang. Sambil minum kopi, mereka bernyanyi diiringi macina. Eks tawanan membuat alat musik dari batang kayu bulat, pohon nangka, kenanga atau waru. Sebatang kayu dibobok bagian tengahnya, kemudian diberi senar, disebut macina. Gitar kecil itu, ketika dipetik, mengeluarkan bunyi “crang-crong”.
Musik yang semula dimainkan masyarakat Tugu untuk melepas lelah, lama kelamaan mulai banyak dimainkan dan populer di kalangan Belanda dan Betawi. Orang-orang Betawi banyak datang untuk menikmati musik tersebut. Orang menyebut musik ini keroncong, sebab macina mengeluarkan bunyi “crang crong”.
Dari waktu ke waktu, pemusik luar Kampung Tugu turut bermain macina. Ada yang menggabungkannya dengan ukulele, suling hingga rebana. Musik tradisi Tugu ini selanjutnya juga di bawa ke luar kampung hingga menghasilkan kekhasannya sendiri. Di Gambir, berkembang Keroncong Old Batavia; Live Java di Pasar Baru; hingga The Crocodile di Kemayoran.
Banyak yang sepakat musik keroncong sepenuhnya berasal dari Kampung Tugu. Meskipun alat musik yang digunakan mengadaptasi alat musik Portugis, jenis musiknya khas kreasi warga Kampung Tugu. Sebagian orang meyakini, ragam aliran musik keroncong di Indonesia bermula dari sini.
Grup Keroncong Kampung Tugu
Ada beberapa grup musik keroncong dari Kampung Tugu yang sangat populer dalam sejarah perkembangan musik keroncong Indonesia. Pada 1925, warga bernama Yosep Quiko membentuk kelompok keroncong bernama Orkes Poesaka Krontjong Moresco Toegoe. Kelompok ini dinilai melahirkan pakem yang kemudian hari menjadi ciri khas keroncong Tugu.
Keroncong kemudian menyebar ke daerah lain, bahkan hingga ke Malaysia. Di daerah Solo, Jawa Tengah, keroncong mendapatkan pengaruh kesenian Jawa, sehingga dimainkan dengan gamelan atau seruling bambu.
Pada awal abad 20, keroncong populer lewat panggung-panggung pertunjukan, jauh sebelum radio ataupun piringan hitam hadir. Keroncong menjelma musik yang digemari lintas kalangan. Namun, penikmat utama keroncong di panggung-panggung umumnya kalangan sosial berduit yang mampu membeli tiket pertunjukan.
Koran-koran lokal masa itu mencatat, keroncong adalah kegemaran orang peranakan Indo-Eropa. Para sinyo dan nona menggemari musik yang diiringi berbagai model gitar besar dan kecil, dengan melodi syahdu dari suling dan piul, serta ritme rebana.
Pada periode 1930-an, musik keroncong mulai tampil di berbagai kota besar. Musik ini sering pula bersanding dengan aransemen teater hibrida atau stamboel.
Perkembangan keroncong sempat berhenti di masa-masa awal kemerdekaan karena konflik berbau etnis yang menyerang keturunan Portugis. Konflik itu membuat banyak masyarakat keturunan eksodus ke berbagai daerah, sampai ke Papua dan Belanda. Eksodus itu terjadi di periode 1950-an dan membuat perkembangan keroncong Tugu vakum hingga tahun 1970-an.
Perkembangan keroncong juga memudar bersamaan masuknya berbagai musik modern. Terutama rock pada dekade 1950-an yang langsung menarik perhatian masyarakat, terutama kalangan muda.
Keroncong Kembali
Keroncong kembali menggeliat setelah Gubernur DKI Jakarta kala itu, Ali Sadikin, mengintruksikan masyarakat Tugu menunjukkan kembali potensi yang ada di Kampung Tugu, termasuk musik keroncong. Di waktu yang sama, Gereja Tugu yang dibangun keturunan Portugis pun diangkat statusnya menjadi cagar budaya.
Pada masa itu, Jacobus selaku pemimpin Orkes Poesaka Krontjong Moresco Togoe, mengajak masyakat Tugu menghidupkan kembali seni leluhur mereka. Sejak itu, kelompok ini menjadi punggawa Keroncong Kampung Tugu yang populer dan terus mengadakan pertunjukan-pertunjukan keroncong. Grup ini mewarisi identitas keroncong Kampung Tugu, dari generasi ke generasi.
Namun, popularitas grup ini perlahan redup seiring berkembangnya musik di tanah air di media 1979-1980 an. Grup keroncong ini kemudian mati, tergantikan sebuah grup yang baru, bernama Grup Krontjong Toegoe lalu Orkes Keroncong Cafrinho Tugu.
Grup Orkes Keroncong Cafrinho Tugu dan Keroncong Toegoe mendulang popularitas dan kian eksis di masa-masa selanjutnya. Grup tersebut mengeluarkan sejumlah album keroncong dan mengadakan pertunjukan ke berbagai daerah Indonesia, hingga tampil di mancanegara. Eksistensi dua grup ini juga dibarengi oleh sejumlah grup lain di kemudian hari, menjadikan Kampung Tugu sebagai kampungnya para punggawa keroncong.
Pada tahun 2000-an, keroncong semakin lekat budaya nusantara. Meski sesungguhnya popularitas keroncong di masa ini telah menurun, di tengah-tengah arus industri musik pop. Pada tahun 2015, keroncong Tugu dijadikan sebagai Warisan Cagar Budaya Tak Benda oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
Hari ini, keroncong dikenal sebagai jenis musik lama, yang hadir dengan komposisi musik ukulele, biola, selo, flute hingga sejumlah instrumen lainnya. Musik satu ini bertempo lambat dengan lirik tembang mendayu.
Agaknya karena karakteristik inilah, keroncong kurang mendapat simpati kalangan muda dewasa ini karena dianggap kurang progresif, cenderung membosankan.