04 November 2025
15:46 WIB
Kenali Siklus Pelana Kuda Pada Pasien DBD
Saat siklus pelana terjadi, pasien DBD mengalami kebocoran plasma dan penurunan trombosit, risiko pendarahan pun meningkat.
Penulis: Gemma Fitri Purbaya
Editor: Satrio Wicaksono
Pasien anak penderita demam berdarah dengue (DBD) menjalani perawatan di RSUD Loekmono Hadi, Kudus, Jawa Tengah, Senin (5/2/2024). Antara Foto/Yusuf Nugroho
JAKARTA - Demam Berdarah Dengue (DBD) masih menjadi ancaman serius bagi kesehatan masyarakat. Data Kementerian Kesehatan RI mencatat Indonesia masih menyumbang sekitar 66% kematian akibat dengue di Asia tahun lalu.
Indonesia bahkan menjadi salah satu negara dengan jumlah kasus dengue tertinggi di kawasan Asia pada 2024 dengan jumlah kasus mencapai 257.271 kasus. Sementara sampai 28 Oktober 2025, jumlah kasus dengue yang dilaporkan sekitar 131.393 kasus dengan 544 kematian.
Demam Berdarah Dengue sendiri merupakan infeksi yang disebabkan oleh virus (DENV) yang ditularkan ke manusia melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus betina yang terinfeksi. Gejalanya beragam, mulai dari demam tinggi, sakit kepala, nyeri badan, nyeri sendi, mual, muntah, sampai timbul ruam pada kulit yang khas.
Salah satu pola khas yang juga sering terjadi pada pasien DBD adalah siklus pelana kuda atau saddleback fever. Istilah ini digunakan untuk menggambarkan pola demam naik turun yang khas pada pasien DBD. Biasanya, seseorang yang terinfeksi DBD akan mengalami fase demam tinggi mendadak yang terkadang disertai gejala lainnya.
Setelah itu, demam perlahan turun seolah pasien telah sembuh. Sebaliknya, ini merupakan kondisi kritis yang sering disebut pelana kuda. Pada kondisi ini, pasien mengalami kebocoran plasma dan penurunan trombosit sampai kurang dari 100 ribu per mm3 atau bisa lebih rendah.
Dampaknya, risiko perdarahan pun meningkat karena trombosit berkurang sehingga darah sulit membeku. Gejala seperti bintik merah di kulit, mimisan, gusi berdarah, atau perdarahan di saluran cerna pun bisa terjadi. Pada kasus berat, perdarahan organ dalam yang menyebabkan syok dan kegagalan organ.
Sayangnya, masih banyak orang salah mengira kalau demam turun artinya kondisi pasien DBD telah membaik. Maka dari itu, pasien DBD tidak boleh dihentikan perawatannya atau perlu mendapatkan penanganan medis sekalipun demamnya turun. Apalagi, sampai saat ini penyakit DBD tidak ada obatnya sama sekali.
"Belum ada obat khusus yang dapat menyembuhkan DBD. Pengobatan fokus pada mengendalikan gejala dan mencegah komplikasi, seperti dehidrasi dan syok, dengan pemberian cairan dan penanganan medis yang tepat," tutup Ketua Satgas Imunisasi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), Prof. Hartono Gunardi dalam acara Media Briefing Takeda Urgensi Penanggulangan Demam Dengue di Jakarta beberapa waktu lalu.