13 November 2025
10:26 WIB
Keluarga Perlu Dorong Kebiasaan Anak Bercerita
Orang tua baiknya membiasakan atau membuat jadwal rutin waktu ngobrol santai tanpa ada gawai dengan anak sehingga waktu dengan anak lebih berkualitas serta tidak menyepelekan cerita anak.
Editor: Andesta Herli Wijaya
Ilustrasi - orang tua mendampingi anak mengakses gawai untuk memastikan anak aman di ruang digital. (ANTARA/Pexels/Kindel Media).
JAKARTA - Komunikasi dan cerita sering kali ampuh dalam menyelesaikan berbagai masalah relasional. Keterbukaan itu kian penting dalam pengasuhan masa kini, terutama dalam proses pengasuhan antara orang tua dan anak.
Namun, keterbukaan umumnya tidak datang begitu saja, melainkan dibentuk dalam relasi keseharian. Hal inilah yang ditekankan oleh Psikolog Remaja dan Anak, Vera Itabiliana. Katanya, keluarga perlu menumbuhkan suasana yang aman agar anak merasa nyaman untuk bercerita dan terbuka kepada keluarga.
Tujuannya tentu saja agar orang tua bisa memahami anak lebih baik dan anak merasa mendapatkan tempat aman untuk mencurahkan kegelisahannya atau ketidaknyamanannya. Hadirnya ruang aman bercerita itu pada akhirnya akan membantu membentuk karakter yang lebih positif pada anak, termasuk mengurangi potensi mereka terjerumus ke dalam kekerasan.
"Keluarga perlu menumbuhkan suasana aman di mana anak bisa berbicara apapun tanpa takut dihakimi, dimarahi, atau diremehkan. Komunikasi ini tidak terjadi tiba-tiba, tapi dibangun dari kebiasaan sehari-hari," ungkap Vera sebagaimana diberitakan Antara, dilansir Kamis (13/11).
Dia menyarankan agar orang tua bisa memulainya dengan beberapa hal, meliputi mendengarkan tanpa langsung menilai atau memberi nasihat. Kemudian, menunjukkan empati dan rasa ingin tahu yang tulus tentang apa yang sedang dirasakan anak.
Orang tua juga sebaiknya membiasakan atau membuat jadwal rutin waktu ngobrol santai tanpa ada gawai dengan anak sehingga waktu dengan anak lebih berkualitas serta tidak menyepelekan cerita anak.
Baca juga: Perilaku Kekerasan Pada Anak Sering Kali Bermula Dari Rumah
Sebelumnya, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) merekomendasikan sejumlah upaya, mulai dari deteksi dini, pengembangan dukungan psikososial dari sekolah, hingga penguatan regulasi dan prosedur penanganan kekerasan, sebagai upaya pencegahan paham ekstremisme pada anak. Hal ini merespons peristiwa ledakan yang diduga bersumber dari rakitan bahan peledak yang terjadi di SMAN 72 Jakarta, yang melibatkan seorang peserta didik sebagai terduga pelaku.
Hasil pemantauan awal mengungkapkan bahwa pelaku menunjukkan perubahan perilaku signifikan beberapa bulan terakhir. Ia disebut sebagai pribadi yang tertutup, serta lebih sering mengakses konten bernada radikal di platform digital.
Motif utama terduga pelaku diduga merupakan kombinasi antara emosi pribadi yang tidak terkendali dan internalisasi narasi ekstrem dari ruang digital yang memengaruhi cara berpikirnya.