c

Selamat

Minggu, 16 November 2025

KULTURA

30 November 2024

18:00 WIB

Kelas Menengah Di Tengah Polemik Subsidi BBM Dan Wacana BLT

Dengan alasan banyak tidak tepat sasaran, Pemerintah mewacanakan untuk menghapus BBM bersubsidi. Kelas ekonomi menengah was-was, apalagi mereka yang masuk dalam kategori 'rentan miskin'.

Penulis: Arief Tirtana

Editor: Rikando Somba

<p id="isPasted">Kelas Menengah Di Tengah Polemik Subsidi BBM Dan Wacana BLT</p>
<p id="isPasted">Kelas Menengah Di Tengah Polemik Subsidi BBM Dan Wacana BLT</p>

Pengendara sepeda motor melintas di dekat papan informasi harga BBM di salah satu SPBU 9di Jakarta, Selasa (1/10/2024). Sumber: Antara Foto/Aprillio Akbar

JAKARTA - Belum genap satu bulan pasca pelantikan, pemerintahan Presiden Prabowo Subianto sudah melambungkan wacana untuk mencabut subsidi BBM (bahan bakar minyak). Rencananya, kebijakan tersebut akan dialihkan menjadi bantuan langsung tunai atau BLT ke masyarakat miskin.

Meski hingga akhir November ini belum jelas bagaimana kelanjutannya, wacana tersebut sudah sukses menghadirkan polemik di masyarakat. Khususnya, di kalangan masyarakat kelas menengah.

Memang, salah satu alasan utama wacana pencabutan subsidi BBM berkaitan dengan masyarakat kelas menengah. Sebagai kelompok masyarakat yang dinilai mampu secara ekonomi, kelas menengah menjadi yang paling banyak menikmati kebijakan BBM bersubsidi, dalam hal ini pertalite dan solar.

Sempat diungkapkan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia pada awal November lalu, diperkirakan ada sebesar 20% hingga 30% subsidi yang tidak tepat sasaran. Gambarannya, pada 2024 saja, dari subsidi dan kompensasi sebesar Rp435 triliun yang digelontorkan, sekitar Rp100 triliun di antaranya tidak tepat sasaran.

Apa yang diungkapkan Menteri Bahlil memang sebuah fakta yang tidak terbantahkan. Mayoritas masyarakat kelas menengah pun mengakui kondisi tersebut. Dedy Putra Kusuma adalah salah satunya.

Meski selama ini tidak pernah membeli BBM bersubsidi karena alasan kualitas yang dirasa kurang baik, karyawan swasta berusia 29 tahun itu menilai memang masih banyak kelas menengah ke atas yang dengan sadar menikmati BBM subsidi. Karena itu, ia menilai sangat masuk akal jika pemerintah mewacanakan pencabutan subsidi BBM. 

Seperti kebanyakan golongan kelas menengah lainnya, ia mengaku khawatir akan dampak yang mungkin ditimbulkan saat pencabutan subsidi BBM benar-benar menjadi kebijakan. Sebut saja, naiknya biaya transportasi dan logistik akan yang berujung pada kenaikan harga barang-barang kebutuhan sehari-hari, seperti makanan dan barang konsumsi lainnya pula.

Karenanya, Dedy menilai wacana kebijakan itu perlu dipertimbangkan secara matang. Pemikiran sederhananya, agar tidak semakin memberatkan kelompok masyarakat yang sudah rentan saat ini.

"Jujur khawatir. Kita melihat jangka panjangnya, mungkin masyarakat menengah ini masih bisa mencukupi (kebutuhan sehari-harinya), tetap saja akan terasa memberatkan, terutama jika terjadi kenaikan harga yang signifikan dan terus-menerus," kata Dedy, warga Jakarta yang mengaku sebagai bagian kelas menangah, kepada Validnews, Kamis (27/11).

Seperti diketahui, kategorisasi kelas menengah di Indonesia memang relatif luas. Sesuai acuan dari Badan Pusat Statistik (BPS) saat ini, kelas menengah dikategorikan adalah masyarakat yang pengeluarannya berkisar antara 3,5–17 kali garis kemiskinan Bank Dunia, atau setara dengan pengeluaran per kapita per bulan sebesar Rp2.040.262–Rp9.909.844.

Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution, Ronny P Sasmita juga menekankan hal yang sama. Pemerintah, katanya, harus bisa memastikan apakah masyarakat sudah bisa benar-benar menerima pencabutan subsidi BBM ini.

Karena resiko dari pencabutan subsidi atau pengalihan subsidi, efeknya pasti akan menaikan harga BBM. Hal itu akan menghadirkan pula multiply effect yang lebih banyak lagi. Kenaikan harga berbagai barang kebutuhan pokok tak mungkin terelakkan. 

Efek tersebut akan dirasakan secara luas. Bukan hanya mereka yang sebelumnya menggunakan BBM bersubsidi, namun juga masyarakat kelas menengah lainnya. Apalagi mereka yang saat ini berada dalam kondisi ekonomi 'tidak baik-baik saja'.

"Anda bisa bayangkan kalau harga naik. akan menambah beban masyarakat. Sementara pendapatannya belum tentu UMR. Nasibnya itu kan harus dipikirkan. Kondisi kelas menengah pun, sudah tidak perlu saya jelaskan lagi, sudah ramai dibicarakan," tutur Ronny kepada Validnews, Kamis (28/11).

Subsidi BBM Salah Sasaran?
Di luar keputusan mencabut subsidi BBM atau tidak nantinya, Ronny juga menyoroti alasan dibalik wacana tersebut karena dinilai salah sasaran. Sebelum mengambil keputusan, menurutnya, Pemerintah harus lebih dulu menjelaskan mengenai penilaian salah sasaran tersebut. Apakah kelas menengah yang selama ini menikmati BBM bersubsidi memang benar-benar tidak layak menerima, karena dianggap telah mapan secara ekonomi?

Sebab menurut pandangannya, kriteria kategori kelas menengah di Indonesia itu sangat fleksibel. Misalnya, orang yang memiliki penghasilan setara UMR, atau bahkan jauh di bawahnya, sudah dikategorikan masuk kelas menengah.

Namun di saat yang sama, BPS juga memiliki laporan Survei Biaya Hidup (SBH) yang mengungkapkan perhitungan biaya hidup di masing-masing kota di Indonesia. Nilainya jauh dari standar minimum masyarakat yang masuk dalam kategori kelas menengah.

Dalam Survei Biaya Hidup (SBH) 2022 misalnya, BPS mencatat biaya hidup di Jakarta bahkan bisa mencapai Rp 14,88 juta per bulan. Angka ini tujuh kali lipat dari standar minimum yang dikategorikan kelas menengah.

Adanya ketidakjelasan standar tersebut, menurut Ronny, bisa menjadi gambaran bahwa sebenarnya mereka yang dikategorikan kelas menengah itu masih perlu bantuan subsidi dari Pemerintah.

"Jadi kelas menengah yang kita katakan tulang punggung perekonomian ini sebenarnya masih butuh bantuan butuh subsidi pemerintah sehingga bisa hidup stabil," kata Ronny.

Pada kenyataannya, kebingungan mengenai layak atau tidak kelas menengah menggunakan BBM bersubsidi memang masih terjadi. Contohnya seperti yang dialami Febrian jika merujuk ukuran standarisasi BPS terkait kategori kelas menengah.

Menurut Febrian, dengan gaji masih di bawah UMR, ia termasuk dalam kategori masyarakat kelas menengah ke bawah yang masih sangat butuh akan subsidi. Sehingga selama ini ia yang mengendarai motor dalam kesehariannya, selalu menggunakan BBM bersubsidi, pertalite.

"Iya, selalu beli (BBM bersubsidi,)" terang Febrian, seorang pekerja kantoran Jakarta dengan gaji sedikit di atas UMR, kepada Validnews, Jumat  (29/11).

Dengan kondisinya saat ini, Febrian sebenarnya mengaku setuju-setuju saja jika Pemerintah mencabut subsidi BBM dan mengalihkannya ke BLT. Namun menurutnya, nilai BLT yang diberikan kelak harus lebih ditingkatkan lagi, disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat miskin.

Sebab diyakininya, dengan BLT yang besarannya hanya Rp300 ribu, tidak akan cukup untuk membantu ekonomi masyarakat miskin, di saat nanti harga-harga pasti akan ikut melonjak. Bahkan, kondisi itu sudah terbayangkan menjadi sesuatu yang mengkhawatirkan buatnya.

"Tentu saja sangat mengkhawatirkan dan pasti berdampak (buat saya) dengan kenaikan harga lainnya. Begitu mengkhawatirkan ke pengeluaran saya per bulan, apakah cukup? Kalau tidak bagaimana saya bisa hidup untuk besok," terang Febrian.

Pemilik Kendaraan Belum Tentu Orang Mampu
Sebagai kelas menengah yang dengan kesadaran penuh sudah tidak menggunakan BBM bersubsidi, Dedy, salah satu pekerja kantoran di bilangan SCBD Jakarta, juga menilai hal yang sama. Masih ada ketidakjelasan penilaian mengenai siapa yang saja yang layak membeli BBM bersubsidi.

Contohnya, jika pemerintah memakai tolok ukur orang yang memiliki kendaraan dihitung sebagai orang mampu, ia kurang yakin dengan hal itu. Sebab faktanya, banyak masyarakat menengah bawah yang memiliki kendaraan pribadi. Seiring semakin mudahnya aturan membeli kendaraan, cicilan murah serta DP (down payment) atau uang muka yang murah.

Penilaian Dedy sejatinya cukup relevan dengan gejolak yang belakangan ini terjadi. Di saat pemerintah melalui Menteri ESDM mengeluarkan keterangan nantinya subsidi BBM akan tetap diberikan, namun hanya untuk kendaraan pelat kuning atau transportasi umum, sehingga tak termasuk kendaraan ojek online (ojol).

Bahlil menilai, ojol tidak masuk kriteria karena kendaraan tersebut dipakai untuk usaha. Sementara, masih ada pengemudi ojol yang beroperasi bukan menggunakan motornya pribadi, melainkan milik orang lain yang mempekerjakannya.

Pernyataan Bahlil tersebut cukup memancing reaksi negatif dari kalangan pengemudi ojol. Sekalipun Bahlil menyebut pengemudi ojol masih mungkin bisa menerima subsidi apabila memenuhi kriteria. "Belum keputusan final. Yang jelas kita akan membuat adil semuannya," kata Bahlil.

Di luar polemik terkait ojol tersebut, keputusan pemerintah untuk membatasi BBM bersubsidi hanya untuk transportasi umum, sebenarnya hal yang didukung oleh sejumlah kalangan.

Pengamat kebijakan publik, Agus Pambagio dalam percakapan via sambungan telepon dengan Validnews, termasuk yang menekankan itu. Agus menilai bahwa pemerintah memang harus tegas dalam hal ini, hanya memberikan subsidi kepada kendaraan umum.

Sebab menurutnya, mereka yang mampu membeli kendaraan, khususnya mobil, bagaimanapun termasuk orang yang mampu. Mereka-mereka ini seharusnya sejak awal sudah memikirkan bahwa membeli mobil itu harus mempertimbangkan biaya perawatan, konsumsi BBM dan lainnya. 

Dengan demikian, sekalipun masuk kategori kelas menengah ke bawah, kalau sudah mampu beli mobil, maka sudah tak layak untuk menikmati BBM bersubsidi.

"Subsidi itu angkutan umum dan kelompok target tertentu. Kalau orang miskin kan tidak mungkin beli mobil. Biasanya pakai angkutan umum. Jadi angkutan umum itu yang harus disubsidi," tegasnya.

Secara tegas Agus Pambagio juga termasuk yang sangat setuju mencabut subsidi BBM, karena memang selama ini kerap dinikmati kalangan kelas menengah yang menurut dia tidak layak mendapatkan. Tetapi dengan catatan, subsidi BBM harus tetap diberikan kepada angkutan umum, dan subsidi harus benar-benar menyasar masyarakat miskin.

Selain kriteria siapa saja yang layak menerima subsidi BBM, pria yang akrab disapa Papam itu juga menyoroti pentingnya perbaikan sistem dalam penjualannya. Ia menilai Pemerintah sudah tepat dengan menggunakan aplikasi MyPertamina. Hanya saja masih banyak celah di sistem aplikasi tersebut yang entah disengaja atau tidak, memungkinkan adannya penyelewengan penggunaan.

Bukan hanya kelas menengah pemilik mobil di perkotaan yang masih membeli pertalite bersubsidi di kota-kota, ia juga menyoroti banyaknya truk perusahaan yang masih bisa membeli solar bersubsidi dengan bebas.

"Mypertamina itu sudah betul. Cuma sistemnya tidak terlalu canggih," kata Agus.

Sebelum sistem benar-benar diperbaiki, untuk tahap awal, Agus menyarankan agar sebaiknya SPBU harus dijaga oleh TNI. Minimal ini dilakukan untuk mencegah truk-truk perusahaan yang memang tak layak mendapatkan BBM subsidi, bisa bebas membelinya.

"Karena kalau enggak (dijaga), itu yang memanfaatkan solar subsidi itu biasanya truk perkebunan, truk pertambangan yang dipunyai oleh para bintang itu," kata Agus.

BLT Bukan Solusi
Meski setuju dengan rencana pencabutan BBM bersubsidi, Agus Pambagio justru menolak keras wacana pengalihan menjadi BLT ke masyarakat miskin. Sebab menurutnya, BLT justru akan membuat masyarakat menjadi malas.

Apalagi jika melihat sebelum-sebelumnya, BLT terbukti tidak mampu menjadi solusi ekonomi masyarakat kelas bawah. Mereka masih saja tetap terjerumus dalam jurang kemiskinan.

"BLT itu membuat bangsa kita bodoh dan malas. Itu kaya yang dipakai Jokowi. Kalau mau apa, BLT, mau apa, BLT. Orang kita tetap bodoh dan tambah miskin," tegasnya.

Kalaupun pemerintah mau tetap memberikan BLT, menurut Agus sebaiknya diberikan hanya dalam kondisi-kondisi tertentu saja. Misalnya ketika terjadi bencana, sehingga bukan menjadi sesuatu yang permanen, diberikan tiap periode tertentu.

Ronny Sasmita juga berpandangan, pencabutan subsidi BBM dan menggantinya menjadi BLT bukanlah langkah yang tepat dalam sudut pandang ekonomi. Karena menurutnya, subsidi BBM dan BLT adalah dua hal yang berbeda. 

"Jadi walaupun orang miskin dikasih BLT, yang belum tahu berapa jumlahnya, bisa 150-300 ribu. Itu belum tentu sepadan dengan beban kenaikan harga barang yang mesti mereka tanggung nanti setelah harga bbm naik," kata Ronny.

Tetapi berbeda dari Agus Pambagio, Ronny menilai mencabut subsidi BBM jangan dilakukan ergesa-gesa, karena efeknya akan langsung terasa. Bagaimanapun, menurutnya di negara berkembang seperti Indonesia saat ini, keberadaan BBM bukan hanya sebatas bahan bakar penggerak kendaraan saja. Lebih dari itu, BBM berfungsi sebagai stabilisator harga secara luas.

"Perlu atau tidak benar-benar dihapuskan (subsidi BBM). Nah ini saya mengatakan belum perlu dihapus subsidi di Indonesia," terangnya.

Sebagai solusi, kalaupun pemerintah mau tetap mencabut subsidi BBM, ini bisa dilakukan  secara bertahap dan perlahan mungkin. Misalnya dengan mencabut subsidi sebesar Rp500 saja per enam bulan sekali. Sehingga ketika terjadi kenaikan harga setelahnya, angkanya juga tidak signifikan dan tidak terasa masyarakat. "Sehingga dalam 3 tahun, subsidi sebenarnya sudah hilang (dicabut) Rp3.000," tandas Ronny. 

Sesuatu yang jika terjadi perubahan secara signifikan, selama ini memang menunjukkan akan membuat kestabilan harga di pasaran bergejolak. Ujungnya, juga merugikan masyarakat dan ekonomi nasional secara luas. Apalagi pada kalangan kelas menengah, yang hingga kini masih menjadi tulang punggung ekonomi nasional.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar