c

Selamat

Selasa, 4 November 2025

KULTURA

04 Maret 2023

15:18 WIB

Keberagaman Jadi Kekuatan Film-film Indonesia

Kalau film-film Amerika identik dengan optimisme dan teknologi masa depan, Korea dengan drama percintaannya, maka Indonesia harus lekat dengan isu keberagaman.

Penulis: Andesta Herli Wijaya

Editor: Satrio Wicaksono

Keberagaman Jadi Kekuatan Film-film Indonesia
Keberagaman Jadi Kekuatan Film-film Indonesia
Lima orang sedang menonton film bioskop sembari menikmati berondong jagung atau pop corn sebagai mak anan khasnya. Shutterstock/Stock-Asso

JAKARTA - Setiap negara memproduksi film-film nasionalnya masing-masing. Namun, hanya sebagian yang berhasil muncul ke permukaan dengan kekuatan dan gaya yang menonjol, yang menampilkan karakteristik film sekaligus karakteristik budaya masyarakatnya.

Jika Amerika melahirkan film-film yang fasih menggambarkan optimisme kehidupan sekaligus dengan berbagai pencapaian teknologi yang berorientasi masa depan, maka Korea, misalnya memiliki kualitas drama percintaan yang paling memabukkan, dengan film-film yang merepresentasikan cinta sebagai salah satu identitas budayanya.

Lain lagi Iran, misalnya, salah satu negara di Asia dengan prestasi perfilman paling mumpuni. Sineas-sineas di negara ini terkenal fasih menggambarkan realitas sosial, menghasilkan film-film dengan tema kemanusiaan yang kuat.

Bagaimana dengan film-film Indonesia? Hal apakah yang menjadi karakteristik atau kekuatan film-film tanah air ketika dilihat dari jendela sinema dunia?

Masih sulit membicarakan bagaimana film-film Indonesia dipandang oleh negara-negara lain di dunia. Pasalnya, masih sedikit film-film Indonesia yang mencapai pengakuan secara luas di skena global, kecuali beberapa saja.

Before, Now & Then karya sutradara Kamila Andini, Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas Karya Edwin hingga Autobiography karya Makbul Mubarak, adalah tiga film terbaru Indonesia yang memperoleh pengakuan baik di Amerika maupun Eropa. Jika ditarik benang merahnya, ketiga film ini menggambarkan realitas Indonesia yang berelevansi dengan sejarah kelam dan militerisme di Indonesia, mulai dari trauma era 65 hingga Orde Baru.

Tapi, apakah trauma sejarah memang tema paling khas Indonesia? Bisakah trauma masa lalu tersebut menjadi karakteristik sekaligus kekuatan film-film Indonesia jika dibawa ke kancah dunia? Bisa ya dan bisa tidak, karena perjalanan perfilman Indonesia beberapa tahun ke depan-lah yang bisa menjawab itu.

Potret Keberagaman

Ada sudut pandang lain yang datang dari salah satu sutradara sekaligus produser Indonesia tentang hal ini. Ifa Isfansyah, sineas juga dikenal sebagai Direktur Jogja-NETPAC Asian Film Festival, mengatakan bahwa keberagaman Indonesia, itulah yang menjadi kekuatan bagi film-film Indonesia.

Keberagaman budaya, bahasa dan bahkan keyakinan, itu adalah potret yang khas Indonesia. Tak ada negara lain di dunia ini yang lebih beragam dari Indonesia, menurut sutradara pemenang Piala Citra ini.

“Kalau bicara tentang karakter film sebuah bangsa itu, rasanya tidak lain bahwa karakter film sebuah bangsa tidak lepas dari karakter bangsa itu sendiri,” ungkap Ifa dalam sebuah sesi bincang-bincang bersama media di Jakarta, beberapa waktu lalu.

Ifa memandang keberagaman itulah yang potensial untuk memberi warna bagi film-film Indonesia, yang membedakannya dengan film-film Amerika, Korea, Iran ataupun yang lainnya. Dengan berbeda, maka ada daya tawar Indonesia di kancah perfilman dunia.

“Jadi kita sebenarnya merefleksikan, apa sih sebenarnya kekuatan karakter bangsa kita? Kalau dari perspektif saya, rasanya nggak ada ya bangsa di dunia selain Indonesia yang punya keberagaman budaya seperti kita, kita punya ribuan bahasa, beribu-ribu bahasa,” terang Ifa.

“Itu yang harus terefleksi, keberagaman itu. Kalau mengacu ke Amerika, Korea, sampai kapan pun kita nggak akan menang, karena kekuatannya beda,” sambungnya lagi.

Perspektif Ifa menarik jika ditarik ke riwayat film-film Indonesia yang ikut berkompetisi untuk Academy Awards dalam beberapa tahun terakhir. Ada film seperti Kucumbu Tubuh Indahku, misalnya, yang kebetulan diproduseri oleh Ifa sendiri. Film ini menggambarkan sisi budaya Indonesia yang dimaksudkan Ifa tadi, tentang kehidupan penari Lengger.

Atau yang terakhir dikirim ke Academy Awards, yaitu Ngeri-Ngeri Sedap. Film ini juga mampu memenuhi ekspektasi Ifa di atas tentang keberagaman budaya Indonesia, yang mengeksplorasi bahasa dan budaya Batak secara meyakinkan.

Pertanyaannya lagi, sudahkah karakteristik film Indonesia itu terlihat oleh dunia?

Strategi Jangka Panjang

Ifa sendiri tak ingin gegabah menyebut karakter film-film Indonesia sudah terbentuk seterang identitas pada film-film Amerika ataupun Korea. Namun menurutnya penguatan karakter film, menjadi bagian dari strategi kebudayaan.

Dan bicara strategi kebudayaan, sifatnya adalah jangka panjang dan melibatkan semua pelaku atau pemangku kepentingan dalam ekosistem kebudayaan.

“Jadi nanti, dari jendela dunia melihat film-film Indonesia, yang dilihat ya keberagaman itu. Mereka melihat, ‘oh yang ini film Indonesia. Lah, yang itu film Indonesia juga. Oh, jadi Indonesia itu memang beragam ya’,” Ifa membayangkan.

Keyakinan Ifa akan masa depan film Indonesia itu, berdasar pada fakta berkembangnya cara pandang sineas tanah air hari ini, terkait nilai budaya dan keberagaman. Dulunya, jarang film Indonesia yang ‘pede’ menggunakan bahasa daerah dan harus mencantumkan subtitle untuk film tersebut. Kini, ada sangat banyak film Indonesia yang berbahasa daerah (disertai subtitle) dan ditayangkan di bioskop bahkan di festival-festival mancanegara.

“Itu salah satu step yang bagus untuk itu tadi, untuk menguatkan karakter keberagaman kita,” kata Ifa.

Upaya memupuk karakter keberagaman sebagai wajah film Indonesia itu menurut Ifa terus berjalan, dilakukan oleh berbagai pihak. Salah satunya, Ifa sendiri terlibat dalam menyelenggarakan kompetisi film pendek yang difasilitasi pemerintah, yaitu Layar Indonesiana.

“Itu yang menurut saya itu juga kita upayakan di layar indonesiana. Kita ingin mendorong bukan hanya kualitas, tapi juga keberagaman. Kalau itu terefleksi nantinya, itu bukan pekerjaan mudah memang, ini bicara strategi kebudayaan,” tuturnya.

Layar Indonesiana

Layar Indonesiana adalah kompetisi produksi film pendek yang diselenggarakan oleh Direktorat Perfilman dan Media Ditjen Kebudayaan, Kemendikburistek, di mana Ifa terlibat sebagai kurator di dalamnya. Kompetisi ini telah bergulir sejak 2021 lalu dan akan segera memasuki penyelenggaraannya yang ke tiga kali.

Partner kurator Ifa, produser Rina Damayanti menguatkan perspektif Ifa sebelumnya, yang terkait dengan misi Layar Indonesiana. Menurut Rina, salah satu cara memupuk karakter keberagaman itu yaitu melalui ajang lomba yang mengakomodasi cerita-cerita yang beragam, berakar pada lokalitas yang beragam di seluruh wilayah Indonesia.

Itulah yang dilakukan melalui Layar Indonesiana, dengan menjaring ide-ide cerita terbaik dan paling segar dari berbagai konteks lokal Indonesia. Itulah yang difasilitasi oleh Kemendikbudristek dalam proses pengembangan, produksi hingga distribusi filmnya.

“Jadi dari proses di kompetisi ini, kita membuat mereka para sineas muda Indonesia ini, percaya diri, bahwa apa yang ada di sekitar kita, keberagaman lokal kita, itu kekuatan. Jadi kita mendorong mereka percaya diri, konten kita itu punya daya tawar di dunia,” tutur Rina.

“Kalau pun kita bersaing secara internasional, industri kita menguat, berakar dari keberagaman budaya kita, kekuatan yang kita miliki,” imbuhnya.

Tentang Layar Indonesiana, kompetisi ini akan bergulir bulan ini, diawali tahapan penjaringan peserta mulai 6 Maret hingga 1 Mei mendatang. Kompetisi yang terbuka untuk seluruh sineas muda Indonesia ini menjadi ruang kompetisi sekaligus pembinaan bagi sineas, lewat kelas-kelas kreatif yang turut hadir dalam rangkaiannya.

Kenapa sasarannya sineas muda? Karena kalangan inilah yang akan membentuk warna film Indonesia di masa mendatang.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar