c

Selamat

Sabtu, 15 November 2025

KULTURA

14 Agustus 2024

20:14 WIB

Kasim Arifin Dan Pengabdian Tak Terbatas Untuk Pertanian

Muhammad Kasim Arifin rela meninggalkan akademis demi sebuah pengabdian di sektor pertanian. Dedikasi 15 tahun menyulap lahan non-produktif jadi daerah penghasil padi.  

Penulis: Annisa Nur Jannah

Editor: Satrio Wicaksono

<p>Kasim Arifin Dan Pengabdian Tak Terbatas Untuk Pertanian</p>
<p>Kasim Arifin Dan Pengabdian Tak Terbatas Untuk Pertanian</p>

Kasim Arifin. Dok/ValidNews/Edited

Di tengah keriuhan kawan-kawannya yang antusias pulang ke Bogor, pikir dan hati seorang pemuda kelahiran Langsa, Aceh itu bergeming. Dia jadi satu-satunya yang berbeda dari kawan-kawan sekelompoknya. Agak aneh memang.

Pemuda itu hanya terdiam. Dia menatap alam di sekitarnya dengan penuh kekalutan. Dalam benaknya, desa yang disambanginya belum usai dibenahi. Semuanya seakan mengingatkannya,  ada janji yang belum tuntas terbayarkan.

Baginya, mengabdi tiga bulan di Desa Waimital, Pulau Seram, Maluku belum mengubah apapun. Masih banyak pekerjaan yang belum selesai, atau bahkan belum dimulai sama sekali. Hatinya terikat, dia tak mau pulang bersama teman-temannya.

Adalah Muhammad Kasim Arifin, seorang mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB) yang melihat pengabdian bukan sekadar tugas, tetapi sebuah panggilan jiwa. Sampai akhirnya, dia bisa bertahan dan membangun desa para transmigran hingga 15 tahun lamanya.

Dari Mahasiswa KKN
Sebagai mahasiswa jurusan Agronomi, Kasim dan beberapa rekannya melakukan uji coba penerapan sistem Panca Usaha Tani di Desa Tunggak Jati dan Tanjung Pura, Karawang. Program tersebut merupakan salah rintisan IPB, yang bertujuan untuk meningkatkan produktivitas pertanian.

Seperti namanya, dalam sistem ini diterapkan lima usaha pokok yang meliputi pemilihan bibit unggul, pengolahan tanah yang baik, pemupukan yang tepat, pengendalian hama, dan pengelolaan air yang efisien.

Sistem Panca Usaha Tani ini kemudian berhasil, memberikan dampak positif pada sektor pertanian di wilayah Karawang. Ingin menyebarluaskan keberhasilan sistem pertanian itu, muncullah gagasan agar program tersebut diterapkan IPB di banyak pelosok tanah air.

Kasim dan mahasiswa lainnya, lantas disebar ke berbagai daerah di Indonesia lewat program kampus Pengerahan Tenaga Mahasiswa, atau yang kini lebih dikenal dengan Kuliah Kerja Nyata (KKN).

Di medio tahun 1964, Kasim bersama rekan-rekannya dikirim ke Waimital, Maluku. Tugas utamanya memperkenalkan program Panca Usaha Tani selama tiga bulan.

Sesampainya di sana, apa yang dibayangkan dan direncanakan, semuanya buyar. Kondisi nyata yang ada di desa itu benar-benar jauh dari gambarannya. Tidak seperti dua desa di Karawang, tempat pertama sistem Panca Usaha Tani diuji coba.

Tak cuma kondisi lahan, tapi juga sistem sosial masyarakatnya. Sebenarnya, kebanyakan dari mereka adalah para transmigran yang masih dalam gelombang pertama era tahun 50-an, jumlahnya hampir seribu penduduk.

Memprihatinkan. Mungkin kata itu bisa jadi gambaran kondisi di sana. Tak ada kemewahan untuk menyambut 'tamu' dari Pulau Jawa, para mahasiswa KKN justru ditempatkan di bekas asrama transmigrasi.

Akan tetapi, sebagai pemuda yang juga berasal dari daerah di barat Indonesia, Kasim sama sekali tak mengeluhkan kondisi itu. Di hari-hari pertamanya, bersosialisasi sembari mencari tahu segala informasi, termasuk kebiasaan masyarakat, adalah hal yang dilakukannya. 

Apalagi, didapati fakta bahwa kondisi geografis di desa tersebut sangat tidak menunjang untuk mencapai kehidupan yang bisa dikatakan layak. 

Para transmigran dari Jawa itu datang ke sana, dengan harapan bisa menjadi penggarap kebun dari 'hadiah' lahan yang dijanjikan pemerintah.

Sayang, yang ada pada saat itu adalah lahan yang masih berupa hutan. Karenanya diperlukan upaya besar untuk mengubahnya menjadi lahan produktif. Mata Kasim terbelalak melihat betapa mirisnya kondisi tersebut.

Kasim menyaksikan secara langsung kesulitan masyarakat dalam mengelola lahan yang belum siap untuk ditanami. Dia melihat betapa kerasnya mereka bekerja untuk membuat lahan tersebut siap guna memenuhi kebutuhan pertanian mereka.

Tidak adanya akses jalan yang memadai untuk beraktivitas, pembukaan lahan pertanian, sumber pengairan dan irigasi, adalah tantangan dari pemetaannya di awal. Inilah yang harus dikerjakan bersama-sama, sebelum masuk ke Panca Usaha Tani.

Terapkan Konsep Gotong Royong
Tak terasa tiga bulan berlalu. Tapi baginya belum banyak yang dilakukannya, tentu bersama teman-teman KKN-nya. Masih banyak pekerjaan rumah?

Itulah yang kemudian menjadi alasan utama mengapa Kasim tidak ingin pulang bersama dengan teman-temannya ke IPB, Bogor. Komitmen dalam dirinya adalah mengabdi kepada masyarakat. Apalagi. Panca Usaha Tani, masih jauh panggang dari api.

Satu persatu Kasim lakukan bersama warga desa, membangun jalan, membuat sawah baru, hingga sistem pengairan yang memadai untuk persawahan dan kehidupan masyarakat di sana.

Tahun demi tahun berlalu, tanpa adanya kucuran dana dari manapun. Sampai-sampai untuk urusan makan pun, dia bergantung dari masyarakat sekitar yang membekalinya singkong.

Tak hanya membuka lahan, ilmu yang didapat selama duduk di bangku kampus, benar-benar diimplementasikan bersama warga desa untuk mengolah lahan. Setiap hari, telapak kakinya menyusuri tanah hingga puluhan kilometer, tangannya mengayunkan ribuan kali cangkul.

Kasim bersama ratusan warga Desa Waimital melakukannya saban hari. Sampai akhirnya, buah manisnya terwujud. Panen yang dihasilkan cukup optimal.

Sederhananya, padi tumbuh subur, masyarakat bisa menikmati nasi dari keringat mereka sendiri. Inilah simbol dari keberhasilan pertanian. Dedikasi dan semangat Kasim, benar-benar menjadi lentera. Kebutuhan makan mereka, terpenuhi.  

Apa yang dilakukan Kasim bukan semata bagaimana warga memiliki sistem pertanian yang mumpuni. Meski desa tersebut sebagai salah satu pemasok utama sektor pertanian. Tapi lebih jauh dari itu, bagaimana konsep gotong royong benar-benar mendarah daging kepada mereka. Membangun rasa persaudaraan. Bahkan, disebutkan pula kalau Kasim juga menggagas dibentuknya sebuah kelompok musik tradisional.

Kepedulian Kasim kepada masyarakat di sana bahkan melebihi kecintaannya akan diri sendiri. Sebagai bentuk terima kasih, dia diberikan gelar "Antua".

Bagi masyarakat Waimital, Antua adalah panggilan untuk seseorang yang dihormati di sana. Tak hanya itu, namanya pun diabadikan sebagai salah satu nama jalan di daerah tersebut.

Kembali Pulang 
Tak terasa 15 tahun sudah Kasim berada di 'tanah orang'. Dia merantau ke daerah yang mungkin belum pernah dibayangkan sebelumnya. Keluarganya bingung atas ikap Kasim. Kegelisahan orang tua mencari 'anak yang hilang' adalah sebuah naluriah. Terlebih, belasan tahun bukanlah waktu yang sebentar.

Kabar itu pun akhirnya sampai ke pihak kampus. Hingga akhirnya, pucuk tertinggi, Rektor IPB yang kala itu diduduki oleh Profesor Andi Hakim Nasution, menyurati Kasim. Intinya, mengajak Kasim untuk pulang, menyelesaikan jalur akademisnya.

Sayang, surat panggilan itu sama sekali tak digubrisnya. Tak kurang akal, Rektor IPB kemudian mengutus Saleh Widodo, seorang teman kuliah Kasim untuk menjemputnya di sana. 

Kasim pun melunak dengan bujukan dari seorang kawan, hingga akhirnya bersedia untuk kembali ke Bogor, menyelesaikan pendidikan S1-nya.

Sewaktu dijemput, usianya sudah tidak muda lagi. Umurnya sudah lewat dari kepala 4. Sebenarnya, Kasim sudah tidak lagi memiliki niat dan semangat untuk mendapat gelar sarjana. Pun, dia tak tahu harus memulai skripsinya dari mana.

Akan tetapi, kisah pengabdiannya selama 15 tahun di Maluku, mungkin bisa dinilai lebih 'mahal' ketimbang skripsi pada umumnya. Jalan panjang hidup dan pengabdiannya di bidang pertanian, menjadikannya layak mendapat gelar insinyur pertanian istimewa, pada 22 September 1979.

Selepas menjemput gelar secara formal di kampus, Kasim lantas memilih kembali ke Maluku, melanjutkan proyeknya.

Pada tahun 1982, Kasim dianugerahi penghargaan Kalpataru dari pemerintah sebagai pengakuan atas jasa-jasanya dalam membangun masyarakat desa dengan wawasan lingkungan hidup.

Meskipun penghargaan tersebut merupakan prestasi luar biasa, Kasim tidak memandangnya sebagai hal penting dibandingkan ilmu dan manfaat yang bisa diberikan kepada masyarakat Waimital.

Dia meninggalkan penghargaan Kalpataru tersebut begitu saja di bawah kursi. Sampai seseorang datang mengantarkan penghargaan tersebut ke rumah Kasim.

Setelah itu, Kasim menerima tawaran mengabdi di kampung halamannya sebagai dosen Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh. 

Selain mengajar, Kasim juga menjadi Ketua Badan Pelaksanaan Kuliah Kerja Nyata (Bapel-KKN) yang banyak memberikan inspirasi terhadap pengabdian kepada masyarakat hingga pensiun pada tahun 1994.   

Kasim Arifin tercatat sebagai teladan sebagai aktivis lingkungan hingga akhir hayatnya. Dedikasinya yang tak tergoyahkan terhadap pembangunan masyarakat dan pelestarian lingkungan meninggalkan jejak yang mendalam.

Meskipun dia telah wafat pada Juli 2006, meninggalkan seorang istri dan tiga anak, semangat dan komitmennya terus menginspirasi banyak orang.

Warisannya sebagai pejuang lingkungan hidup dan pengabdian kepada masyarakat tetap menjadi contoh yang patut diteladani bagi generasi mendatang. 


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar