17 April 2024
11:47 WIB
Kardiomiopati Peripartum, Sakit Jantung Saat Hamil Dan Pasca Melahirkan
Kardiomiopati peripartum bisa dianggap sebagai
Penulis: Annisa Nur Jannah
Editor: Rendi Widodo
Ilustrasi anatomi jantung. Unsplash
JAKARTA - Kardiomiopati adalah kondisi penyakit yang memengaruhi otot jantung, di mana otot jantung menjadi lemah dan tidak mampu memompa darah ke seluruh tubuh secara optimal. Ketika kondisi ini terjadi setelah melahirkan, disebut sebagai kardiomiopati peripartum atau peripartum cardiomyopathy (PPCM).
Kardiomiopati peripartum merupakan jenis gagal jantung yang jarang terjadi. Di Amerika Serikat, PPCM didiagnosis pada sekitar 1 dari setiap 1.000 hingga 1 dari setiap 4.000 persalinan.
Namun, jumlah pasien yang didiagnosis dengan PPCM tampaknya meningkat dari waktu ke waktu. PPCM mungkin lebih umum terjadi di negara-negara lain seperti Haiti, Nigeria, dan Afrika Selatan.
Dijelaskan oleh Dokter Spesialis Jantung dan Pembuluh Darah Eka Hospital BSD Tangerang Selatan dr Bayushi Eka Putra, kondisi ini muncul menjelang akhir kehamilan atau beberapa bulan setelah persalinan, tanpa adanya penyebab lain yang dapat diidentifikasi untuk gagal jantung.
"Jadi, ketika seorang wanita memasuki trimester ketiga kehamilan, fungsi jantungnya dapat menurun secara signifikan. Ini dapat menyebabkan kondisi di mana ibu hamil menjadi cepat lelah. Selain itu, setelah melahirkan, kondisi ini dapat memburuk, menyebabkan kesulitan bernapas yang serius dan bahkan memerlukan perawatan di unit gawat darurat dengan diagnosis paru-paru basah. Salah satu penyebab kondisi ini bisa bersifat genetik dengan kerusakan hormon folaktin atau menyusui yang mengganggu fungsi hormon jantung," ujar dr. Bayusi di Tangerang beberapa waktu lalu.
Faktor risiko untuk kardiomiopati peripartum (PPCM) meliputi usia ibu 35 tahun ke atas, tekanan darah tinggi seperti preeklampsia atau hipertensi gestasional, dan kehamilan kembar. PPCM sulit dideteksi karena gejalanya sering menyerupai gejala kehamilan biasanya seperti sesak napas dan pembengkakan di kaki.
"Setiap sesak napas atau pembengkakan yang terjadi setelah melahirkan atau timbulnya gejala ini secara tiba-tiba selama kehamilan harus segera dievaluasi," tegasnya.
Selama pemeriksaan fisik, dokter akan mencari tanda-tanda cairan di paru-paru. Dengan menggunakan x-ray atau stetoskop untuk mengetahui bukti cairan di paru-paru, detak jantung yang cepat, atau suara jantung yang tidak normal.
Ekokardiogram atau ultrasonografi jantung dapat mendeteksi kardiomiopati dengan menunjukkan fungsi jantung yang lemah. Tes laboratorium juga dilakukan untuk mengkonfirmasi diagnosis.
PPCM didiagnosis ketika terjadi gagal jantung pada bulan terakhir kehamilan atau dalam beberapa bulan setelah melahirkan, disertai dengan penurunan pemompaan jantung yang ditandai oleh fraksi ejeksi ventrikel kiri kurang dari 45% (biasanya diukur dengan ekokardiogram). Normalnya, fraksi ejeksi ventrikel kiri (LVEF) berada dalam kisaran 50% hingga 70%. Diagnosa PPCM juga memerlukan penyingkiran penyebab lain yang dapat menyebabkan gagal jantung.
Selanjutnya, tes darah juga merupakan bagian penting dari evaluasi, termasuk penilaian fungsi ginjal, elektrolit, hati, tiroid, dan hitung darah lengkap untuk mencari tanda anemia atau infeksi. Kadar Brain Natriuretic Peptide (BNP) dan N-Terminal Pro-BNP sering meningkat secara signifikan pada PPCM dan digunakan sebagai indikator gagal jantung.
Selain itu, penanda cedera jantung dan stres juga dapat memberikan informasi tentang tingkat risikonya. Pengobatan untuk PPCM bertujuan untuk meningkatkan fungsi jantung dan mencegah penumpukan cairan ekstra di paru-paru atau bagian tubuh lainnya.
Dengan terapi medis, banyak wanita dengan PPCM dapat pulih fungsi jantung normal dalam 3 hingga 6 bulan pertama perawatan. Namun, sejumlah kecil pasien dengan PPCM mungkin mengalami gagal jantung parah yang memerlukan pompa jantung mekanis atau transplantasi jantung.
"Pada khususnya untuk ibu menyusui, n ketika mencapai tahap pemulihan sebesar 70% sebaiknya tidak menyusui lagi. Meskipun ini mungkin menjadi pertentangan, namun saya pribadi akan menyarankan untuk menghentikan menyusui terlebih dahulu karena hormon menyusui dapat memperburuk kondisi," pungkasnya.