01 Maret 2024
19:00 WIB
Editor: Rendi Widodo
JAKARTA - Berbicara konteks asal-usul manusia mungkin menjadi isu sensitif bagi sebagian orang, namun bisa sangat berbeda bagi ilmu pengetahuan. Salah satu topik paling menarik adalah misteri kapan manusia mulai kehilangan ekornya?
Keluarga kera seperti simpanse, orangutan, gorila dan di dalam konteks ini kita, manusia, sudah menjadi kelompok primata yang tidak memiliki ekor panjang. Jauh berbeda dengan kerabat monyet kita yang lain.
Berkat beberapa kemajuan dalam teknologi pengeditan gen, petunjuk baru dari misteri kehilangan ekor kera telah ditemukan. Dikutip dari PopSci, sebuah penelitian yang diterbitkan di jurnal Nature memberi petunjuk bagaimana pergeseran genetik pada nenek moyang kuno kita sudah terjadi sekitar 25 juta tahun yang lalu.
Kehilangan ekor pada kera dimulai ketika kelompok famili Hominidae memecah diri dari keluarga besar monyet antara 20 hingga 25 juta tahun yang lalu. Setelah perpisahan evolusioner ini, kera pun mulai berkembang dengan anatomi ekor tulang belakang yang pendek. Di sinilah awal mulai pembentukan tulang ekor yang kita miliki (yang juga dimiliki gorila, orangutan, dan simpanse).
Sementara alasan mengapa famili Hominidae kehilangan ekornya masih belum bisa dijelaskan.Sementara beberapa ilmuwan berpendapat bahwa anatomi ini lebih cocok untuk makhluk dengan tubuh vertikal yang hidup di tanah.
Jika berkaca pada kelompok primata berekor panjang, mereka umumnya bisa menggunakan ekor sebagai pelengkap dalam berayun di cabang-cabang pohon. Sementara saat turun ke tanah, mereka akan berjalan secara horizontal. Owa dan orangutan adalah kera tanpa ekor panjang yang masih hidup di pohon, tetapi mereka bergerak tidak secara horizontal seperti keluarga monyet berekor panjang.
Penelitian sebelumnya telah menghubungkan lebih dari 100 gen perkembangan ekor pada vertebrata, sehingga kepercayaan umum adalah bahwa kehilangan ekor terjadi melalui perubahan kode DNA - atau mutasi - pada lebih dari satu gen.
Dalam studi baru, tim peneliti membandingkan DNA enam spesies kera - termasuk manusia - dan 15 spesies monyet. Mereka menemukan penyisipan DNA yang dimiliki oleh kera dan manusia, tetapi tidak ada pada monyet. Itu terletak pada gen yang disebut TBXT, yang diketahui memengaruhi panjang ekor hewan.
Begitu mereka menunjukkan mutasi ini, peneliti pun menggunakan pengurutan clustered regularly interspaced short palindromic repeats (CRISPR) untuk mengedit tempat yang sama pada gen embrio tikus di laboratorium. Tikus dengan gen TBXT yang diubah dilahirkan dengan berbagai efek ekor, termasuk beberapa yang lahir tanpa ekor sama sekali.
Tim peneliti menemukan dua elemen Alu dalam gen TBXT yang ada pada kera besar, tetapi tidak pada monyet. Gen pelompat ini hanya ada pada primata dan telah berada di balik pengalihan genetik ini selama jutaan tahun.
Menurut tim, keuntungan apa pun yang didapat dari kelompok kera yang kehilangan ekornya, pasti akan sangat bermanfaat. Gen sering dapat memengaruhi lebih dari satu fungsi tubuh, perubahan yang membawa keuntungan di satu area mungkin terbukti merugikan di tempat lain.
Studi di masa mendatang diharapkan dapat menguji teori bahwa pertukaran genetik evolusioner "kehilangan ekor" ini berkontribusi pada cacat lahir tabung saraf. Cacat ini termasuk pada kondisi spina bifida, yang terjadi pada sekitar satu dari 1.000 bayi manusia.