06 Agustus 2025
20:20 WIB
Julia 'Butterfly' Hill, Melawan Dari Ketinggian Pohon Tua
Apa yang dilakukan Julia 'Butterfly' Hill mungkin dianggap gila. Hidup di ketinggian pohon tua selama dua tahun demi mempertahankan kelangsungan ekosistem. Sebuah perlawanan yang tak biasa.
Penulis: Annisa Nur Jannah
Editor: Satrio Wicaksono
Julia Butterfly Hill. treesfoundation.org
JAKARTA - Di tengah sunyinya rimba California Utara, seorang perempuan mungil mengubah bisikan dedaunan menjadi teriakan nurani. Adalah Julia Lorraine Hill yang memilih cara ekstrem. Dia memutuskan berdiam, tinggal di atas pohon raksasa di jantung hutan redwood, dua tahun lamanya.
Bukan sembarang pohon, redwood berusia lebih dari seribu tahun itu berdiri kokoh, menjadi saksi bisu sejarah alam dan ketamakan manusia. Sementara itu, dunia di bawah terus bergerak dalam hiruk-pikuk dan kesibukan.
Julia memilih untuk diam, menetap di antara ranting dan dedaunan, demi menyuarakan sesuatu yang lebih besar dari dirinya untuk keadilan bagi alam. Di ketinggian 60 meter dari permukaan tanah, Julia menemukan makna yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata.
Bukan ketenaran yang ia cari, bukan pula sensasi atau sorotan kamera. Yang ia perjuangkan adalah kehidupan, ekosistem hutan yang terancam lenyap oleh deru mesin dan kerakusan manusia.
Ia menggantung tubuhnya pada tali, di atas papan sempit berukuran tak lebih dari lebaran kasur kecil. Bertahan menghadapi badai, dingin, sunyi, dan tekanan dari perusahaan-perusahaan besar. Sambil menggantungkan seluruh harapan, bahkan nyawanya sendiri pada satu batang pohon, Julia menjelma menjadi simbol perlawanan yang senyap, namun nyaring mengguncang hati dunia.
Aksi Protes dari Puncak Pohon
Kisah ini bermula pada 10 Desember 1997. Saat itu, Julia yang baru berusia 23 tahun memanjat sebatang redwood kuno dan memutuskan tidak akan turun, sebelum ada jaminan pohon itu selamat dari gergaji mesin. Saat itu, hutan redwood tua sedang berada di ambang kehancuran. Deru gergaji mesin terdengar seperti detak waktu yang menghitung mundur menuju hilangnya ekosistem kuno.
Salah satu sasaran penebangan adalah redwood berusia lebih dari seribu tahun, tempat Julia menetap untuk menyuarakan aksinya.
Pacific Lumber Company, yang sebelumnya konservatif dalam menebang pohon, berubah drastis setelah diambil alih oleh Maxxam Corporation. Demi melunasi utang dan memuaskan para pemegang saham, mereka mengubah strategi, menebang lebih cepat, menghasilkan banyak uang. Bagi perusahaan hutan adalah ladang uang.
Setiap batang pohon adalah dolar. Kayu-kayunya bisa dijual sebagai papan, furnitur mewah, atau bahan bangunan mahal yang laku keras di pasar global. Masa depan, urusan belakangan bagi mereka.
Tapi bagi Julia, pohon-pohon itu bukan sekadar kayu. Mereka adalah makhluk hidup, saksi bisu zaman, penjaga kelembapan tanah, rumah bagi burung, serangga, dan makhluk kecil lainnya. Ia tidak rela mereka musnah diam-diam.
Dengan penuh keyakinan, ia bergabung dengan para aktivis lingkungan yang telah lebih dulu bersuara. Tapi, Julia melakukan sesuatu yang jauh lebih radikal, ia menyerahkan tubuhnya sendiri untuk berjuang.
Dengan berbekal tali, selimut, makanan kering dan keberanian yang tak bisa diukur, dia memanjat pohon dan tinggal di sana, menggantungkan harapan dan nyawanya pada ranting dan dedaunan yang setia.
Ancaman Manusia dan Murka Alam
Keputusan untuk menetap di atas pohon bukanlah hal impulsif, itu adalah aksi bertaruh nyawa. Julia tahu sejak awal, ini bukan soal tinggal di rumah pohon yang nyaman.
Ia hidup di papan kayu sempit berukuran sekitar 1,8 x 2,4 meter di ketinggian hampir 60 meter, hanya dilindungi tenda mungil dari terpal tipis. Di sanalah ia makan, tidur, menulis, menangis, dan bertahan dari terpaan alam dan tekanan manusia.
Musuhnya bukan hanya badai, tapi perusahaan kayu yang sedang mengincar pohon di mana ia tinggal. Serangan dan ancaman dilayangkan kepadanya, dari helikopter dikerahkan terbang rendah hingga menebar suara gemuruh, hingga preman-preman bayaran dikirim untuk mengintimidasi.
Tali logistik pun ikut dipotong, memutus kiriman logistik dari mereka yang bersimpati. Ban-ban bekas dibakar di sekitar pohon, menebar asap beracun ke udara dengan tujuan membuat Julia menyerah.
Tapi Julia tidak turun. Ia tetap bertahan.

Bukan hanya manusia yang menguji kesabaran dan niatnya, alam pun mengirim murkanya. Hujan badai datang mengguncang tubuh pohon besar itu. Angin musim dingin menerjang tenda ringkihnya, seperti ingin menyingkirkan makhluk mungil yang bergelantungan di sana. Julia menggigil di malam-malam beku, kadang basah kuyup, kadang hanya bisa menangis di tengah petir dan gemuruh.
Ada hari-hari ketika angin terlalu kencang untuk tidur, dan malam terlalu gelap untuk berharap. Tapi, lagi-lagi ia memutuskan untuk tetap bertahan.
Di dalam kesendiriannya, ada jaringan aktivis yang setia mendukung perjuangannya. Lewat katrol buatan, mereka menyuplai makanan, air dan bahan bakar untuk kompor kecil yang menjadi penghangat satu-satunya. Tapi lebih dari segalanya, mereka mengirimkan harapan. Harapan bahwa perjuangan ini tidak sia-sia.
Lewat negosiasi panjang yang melibatkan para aktivis, pakar hukum, bahkan pekerja baja yang bersimpati pada Julia, akhirnya muncul titik terang. Pacific Lumber Company setuju, akan melindungi pohon itu dan juga zona penyangga seluas 1,2 hektare di sekitarnya.
Alam untuk sementara menang. Dan pada 23 Desember 1999, setelah 738 hari hidup di atas pohon, Julia akhirnya turun. Kakinya kembali menyentuh Bumi.
Dia disambut dengan air mata, pelukan dan kekaguman. Julia bukan sekadar seorang gadis muda, tapi simbol keberanian.
Pohon itu Adalah Luna
Pohon redwood raksasa tempat Julia tinggal itu ia beri nama Luna. Dalam dalam bahasa Latin berarti bulan.
Bagi Julia, nama itu diberikan sebagai lambang keabadian cahaya di tengah gelapnya ancaman. Seperti bulan yang tetap bersinar walau malam paling kelam sekalipun, Luna baginya adalah sosok yang setia menemani, melindungi, dan menguatkan saat ia paling rapuh.
Di ketinggian dan terpaan angin yang menggoyang dahan dan menggigit kulit, Julia menjalin hubungan spiritual yang mendalam dengan Luna.
Hari demi hari, Julia menulis. Kadang dengan tangan yang beku dan tubuh yang kelelahan berbalut semangat tak pernah padam. Ia mencatat setiap pergulatan batin, tekanan dari manusia dan cuaca, serta perenungan mendalam tentang makna hidup dan keberadaan manusia di bumi.
Ia menyebut pohon itu sebagai rumah sekaligus guru. Sari tempat sunyi di antara langit dan tanah itu, lahirlah suara lantang yang menggema jauh melampaui hutan. Semua kisah itu ia tuangkan dalam blog pribadinya, juliabutterflyhill.com. Blog itu menjadi penghubung antara dirinya dan dunia.
Ribuan orang dari berbagai penjuru dunia membaca, menangis, dan terinspirasi. Ia membuktikan bahwa bahkan dari atas sebatang pohon, suara bisa didengar, pesan bisa sampai, dan perubahan bisa dimulai.
Luna bukan sekadar sebatang pohon tua. Ia adalah lambang keteguhan, saksi dari sebuah perlawanan damai yang berhasil mengubah arah sejarah. Melalui Luna, Julia mengajarkan bahwa perjuangan tak selalu membutuhkan senjata atau panggung besar.
Kini, Luna ada di tanah yang dilindungi di bawah perjanjian pelestarian. Dalam kesepakatan damai dengan perusahaan Pacific Lumber, Luna dan kawasan sekitarnya seluas 1,2 hektare ditetapkan sebagai zona lindung permanen.
Tapi perlindungan itu datang dengan syarat bahwa Luna bukan tempat wisata. Sebagai bagian dari perjanjian, tidak ada jalur umum menuju pohon tersebut. Bahkan, menyebarkan petunjuk arah ke sana pun dianggap melanggar komitmen perlindungan.
Bukan karena ingin menyembunyikan Luna dari dunia, tetapi agar menjaganya dari kerusakan yang tak kasatmata. Lalu lintas pejalan kaki di sekitar akarnya bisa menyebabkan erosi tanah, membuat pohon tua ini semakin rentan. Luna telah bertahan dari badai, api, dan manusia yang ingin menumbangkannya.
Kini, yang Luna butuhkan hanyalah kedamaian. Biarlah Luna tetap berdiri di kejauhan, tak tersentuh, tapi tidak dilupakan.