c

Selamat

Sabtu, 15 November 2025

KULTURA

14 November 2025

09:31 WIB

JILF 2025 Menyuarakan Kemanusiaan Melampaui Bangsa

Tema JILF 2025, "Homeland in Our Bodies" yang diambil dari puisi penyair Palestina, Mahmoud Darwish, menyiratkan bahwa tanah air bisa dimaknai luas, bukan hanya sebatas teritorial sebuah negara.

Penulis: Arief Tirtana

Editor: Andesta Herli Wijaya

<p id="isPasted">JILF 2025 Menyuarakan Kemanusiaan Melampaui Bangsa</p>
<p id="isPasted">JILF 2025 Menyuarakan Kemanusiaan Melampaui Bangsa</p>

Sesi konferensi pers Jakarta International Literary Festival di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Kamis (13/11). Dok: Validnews/ Arief Tirtana.

JAKARTA - Belakangan ini masyarakat global hidup di tengah gelombang peristiwa buruk yang seakan tak pernah berhenti. Mulai dari eksploitasi alam yang merusak keseimbangan ekologis, terpinggirkannya suara minoritas, demokrasi yang abai hingga kekerasan negara yang didukung algoritma dan genosida yang terus terjadi di depan mata.

Di dunia yang semakin gaduh ini, rasa lelah dan tak berdaya muncul di benak banyak masyarakat. Tanah air kerap direduksi jadi urusan politik dan slogan nasionalisme sempit. Seakan  bahwa ‘Tanah Air’ hanya terkait pada batas negara, bukan manusia dan alam yang saling menopang kehidupan di dalamnya.

Situasi itu direspon lewat gerakan sastra, oleh Jakarta International Literary Festival (JILF) 2025. Gelaran tahunan Dewan Kesenian Jakarta ini mengangkat tema "Homeland in Our Bodies" atau "Tanah Air dalam Tubuh Kita".

Dijelaskan Direktur Eksekutif JILF 2025, Avianti Armand, banyak peristiwa yang terjadi saat ini membuat pihaknya langsung terlintas untuk mengangkat tema kemanusiaan sebagai topik utama. Dari situlah kemudian mereka mengambil salah satu bait "Homeland in Our Bodies" yang ada di puisi berjudul "The Last Train Has Stopped" karya penulis asal Palestina, Mahmoud Darwish.

Frasa tersebut menyiratkan bahwa tanah air bisa dimaknai luas, bukan hanya sebatas teritorial sebuah negara, melainkan juga sesuatu yang bisa berada di dalam tubuh manusia. Oleh karenanya, manusia harus bebas dari penjajahan, penindasan, dan ketidakadilan.

"Tema yang paling tepat untuk diangkat dan direspons adalah tentang kemanusiaan. Kami ambil sebaris puisi Darwish yang dikembangkan jadi Homeland in Our Bodies. Karena kita tidak sendiri bicarakan kemanusiaan," ungkap Avianti Armand dalam konferensi pers di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Kamis (13/11).

Melalui tema tersebut, JILF yang tahun ini memasuki gelaran kelimanya mencoba menjembatani dunia sastra dengan politik, serta gerakan sosial yang tumbuh dari akar kemanusiaan. Salah satu kurator JILF 2025, Kiki Sulistyo menjelaskan bahwa melalui perspektif kemanusiaan, “Homeland in our Bodies” hendak memberi garis bawah pada sikap politik sastra sebagai bagian dari gerakan publik dalam kerangka festival.

Makna tanah air, katanya, terintegrasi dengan makna kemanusiaan, sebab tanah air termanifestasikan pada tubuh manusia, pada tubuh kita.

Dalam konteks ini, sastra bukan lagi sekadar karya estetika, melainkan bentuk keberpihakan terhadap martabat manusia. Ia menjadi cara untuk menolak segala keputusan yang melukai nilai kemanusiaan. Maka, JILF 2025 bisa dibaca sebagai ruang solidaritas yang hidup, sebuah perayaan kata yang berpihak pada kehidupan.

"Kata kuncinya adalah solidaritas. Festival sastra itu bisa jadi implementasi praktis gerakan perlawanan, dan beriringan dengan gerakan solidaritas lain guna menegaskan kembali kemanusiaan di tanah air," tegasnya.

Hal yang sama juga dikatakan profesor asal Australia yang banyak menulis buku dalam bidang sejarah Indonesia, Katharine E. McGregor. Sebagai salah satu pembicara di ajang JILF 2025, ia mengajak pembaca untuk merenungkan tema JILF secara lebih luas, terutama kaitannya dengan narasi sejarah tentang tanah air yang tak pernah tunggal, tetapi juga membuka ruang untuk menggali kemanusiaan bersama sebagai bentuk refleksi kritis.

"Tema festival mengajak kita untuk merenungkan interpretasi yang beragam, inklusif, dan adil tentang tanah air, melampaui definisi sempit dan eksklusif tentang sebuah bangsa," ujarnya.

Selain sebagai wadah aktivisme dan solidaritas, penyelenggaraan JILF 2025 juga memperkuat posisi Jakarta sebagai Kota Literasi Dunia versi UNESCO. Ketua Dewan Kesenian Jakarta, Bambang Prihadi, menyebut JILF sebagai wadah lintas kepentingan yang terbuka bagi siapa saja. Menjadi titik temu atau ruang terbuka bagi berbagai kepentingan politik, agama, dan ekonomi.

"Pertanyaannya, mampukah forum panen karya sastra ini melampaui kepentingan pragmatis dan mengikis karat ketidakadilan di negeri ini? Selain memiliki daya tawar mempertemukan sastrawan untuk menyatakan sikap pada krisis global, baik krisis kemanusiaan, lingkungan hidup, dan lainnya,” ucapnya.

Rangkaian Program JILF 2025

Melalui tema dan tujuan yang diangkat, festival internasional yang akan berlangsung pada 13–16 November 2025 di Taman Ismail Marzuki ini akan menyajikan beragam program menarik. Program Bincang Penulis (Authors’ Forum) mempertemukan 23 penulis dari berbagai daerah Indonesia, ditambah empat penulis internasional dari Australia dan Singapura.

Ada pula program Baca Kata (Reading Night) yang akan menghadirkan 11 penulis membacakan karya mereka. Kemudian program bertajuk Tumbuh dan Merambat, sebuah kegiatan kreasi live mural yang akan dilakukan oleh enam seniman yang diberikan kebebasan untuk berinterpretasi  dengan bebas lewat karyanya.

Selain itu ada juga Program Kolaborasi (Fringe Events) yang akan menampilkan peluncuran buku dan diskusi isu terkini; Pasar Kata (Community Showcase) yang mempertemukan berbagai komunitas sastra, literasi, dan budaya; Pasar Buku (Book Bazaar); serta Pentas Kata (Performance) sebagai penutup yang merayakan kata dalam bentuk pertunjukan.

Semua program yang ada di JILF 2025 ini terbuka untuk umum secara gratis, namun jumlahnya terbatas, sehingga diperlukan reservasi melalui Loket.com.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar