c

Selamat

Sabtu, 15 November 2025

KULTURA

03 Januari 2025

10:51 WIB

Jika Tidak Ditangani Segera, Batuk Rejan Bisa Sebabkan Kematian

Batuk rejan bisa menyebabkan komplikasi seperti dehidrasi, kesulitan bernapas, penurunan berat badan, pneumonia (infeksi paru-paru), kejang, gangguan ginjal, dan kurangnya pasokan oksigen ke otak

<p>Jika Tidak Ditangani Segera, Batuk Rejan Bisa Sebabkan Kematian</p>
<p>Jika Tidak Ditangani Segera, Batuk Rejan Bisa Sebabkan Kematian</p>

Ilustrasi batuk. Shutterstock/zEdward_Indy

TANGERANG – Penyakit pertusis atau batuk rejan (batuk 100 hari) yang menyerang anak-anak, jika tidak ditangani dengan cepat bisa menyebabkan kematian.

Penyakit ini merupakan infeksi saluran pernapasan yang disebabkan oleh bakteri Bordetella Pertussis. Penyakit ini ditandai dengan batuk yang diiringi dengan suara tarikan napas tinggi yang khas dan berkepanjangan.

"Pertusis bisa dialami oleh anak-anak dan orang tua harus waspada dengan adanya batuk tersebut. Sebab pertusis bisa menyebabkan kematian pada anak," kata Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Tangerang dr. Dini Anggraeni, di Tangerang, Jumat (3/1).

Gejala dari penyakit ini ialah, hidung tersumbat, pilek, bersin, mata merah dan demam. Biasanya definisi operasional suspek pertusis ialah orang dengan batuk terus menerus yang berlangsung minimal selama dua minggu, dengan ditemukan batuk rejan saat napas dalam, muntah setelah batuk, atau muntah tanpa ada penyebab yang jelas.

Ia menuturkan bila tidak ditangani, batuk rejan bisa menyebabkan komplikasi terutama pada bayi dan anak-anak di bawah usia dua tahun. Beberapa komplikasi yang bisa muncul antara lain dehidrasi, kesulitan bernapas, penurunan berat badan, pneumonia (infeksi paru-paru), kejang, gangguan ginjal, dan kurangnya pasokan oksigen ke otak.

Sejumlah hal yang bisa dilakukan untuk pencegahan di antaranya menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) dan protokol kesehatan serta memberikan imunisasi DPT-HB-Hib lengkap sesuai jadwal pada bayi dan anak bawah dua tahun.

"Jika ada anak atau warga yang memiliki keluhan batuk dengan karakteristik pertusis, mohon agar dapat diinfokan ke puskesmas terdekat untuk mendapat penanganan dan pengobatan yang intensif,” ujarnya.

Keterlambatan Penanganan
Sebelumnya, Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) mewaspadai keterlambatan penangan batuk rejan atau pertusis, khususnya pada bayi dan anak karena dapat menimbulkan komplikasi yang membahayakan.

Ketua Unit Kerja Koordinasi Infeksi dan Penyakit Tropis IDAI sekaligus dokter spesialis anak konsultan Anggraini Alam menjelaskan, kuman penyebab batuk rejan membawa lima toksin yang dapat menyebabkan saluran pernafasan seperti lumpuh.

“Jadi toksin yang dikeluarkan oleh bakteri tersebut, membuat penderitanya tidak bisa mengeluarkan dahak. Kemudian kumannya menetap bahkan lebih parah lagi, dahaknya banyak yang dihasilkan, tapi tidak bisa keluar. Bayangkan semua hal tersebut terjadi sampai bisa berbulan-bulan,” kata Anggraini.

Ia menyebutkan, salah satu komplikasi dari batuk rejan yang paling berbahaya ialah bayi penderita batuk tersebut tidak begitu terdengar suara batuknya, hanya muka yang memerah dengan tidak disertai demam tinggi. Alhasil, orang tua kerap kali tidak menyadari jika bayi mereka menderita batuk rejan.

“Tapi kalau terkena pada bayi tidak terdengar batuknya, tapi mukanya sampai merah, sampai biru, akhirnya stop nafasnya. Ada yang perdarahan bisa di mata, serta bisa diikuti infeksi faring, serta kejang-kejang,” ucapnya.

Sementara itu pada pasien anak-anak bahkan orang dewasa, ia mengatakan, batuk rejan dapat menyebabkan tulang patah, hernia hingga pendarahan akibat batuk keras yang berkepanjangan. Paru-paru yang semula mengembang dengan baik, lanjutnya, dapat menjadi kolaps karena adanya dahak atau lendir pada saluran pernapasan.

Kondisi yang demikian tentu membuat pasien kesulitan melakukan aktivitas makan dan minum sehingga pada gilirannya batuk rejan juga menyebabkan pasien mengalami malnutrisi, tidak mau makan, bahkan dehidrasi.

Tak Terdata
Sayangnya, menurut Anggraini, angka kejadian pertusis di Indonesia banyak yang tidak terdata sehingga menyebabkan adanya peningkatan kasus di tahun 2022.

“Sebelum 2022 WHO mendata hanya 4 per seratus ribu populasi di Indonesia yang katanya mengalami pertusis, ini bukan berhasil, tetapi ini karena ada kurang update Indonesia sebelum adanya surveillance, kewaspadaan kita kurang,” kata Anggraini.

Anggraini menyebut umumnya angka pertusis di negara berkembang, termasuk di Indonesia tidak terlaporkan dengan bai. Ini karena sistem infrastruktur pemantauan pertusis yang belum optimal serta diagnosis yang terlambat.

Kebanyakan gejala batuk yang didefinisikan sebagai pertusis, baru bisa didapatkan setelah pasien batuk selama dua minggu, diiringi muntah yang menandakan sudah masuk ke stadium 2. Di Indonesia, kata Anggraini, Kementerian Kesehatan baru mulai melakukan pemantauan khusus untuk mendapatkan angka kejadian pertusis pada tahun 2022 dengan meluncurkan buku petunjuk teknis surveilans pertusis.

“Ternyata di 2023 naik pesat 5,5 kali lipat dan dari 38 provinsi, 30 antaranya begitu di cek laboratoriumnya, ketemu pertusis, akhirnya ini menjadi outbreak,” ucap Anggraini.

Data ini juga mendapati, pertusis diderita hampir 40% bayi di bawah satu tahun dan hampir 80%-nya tidak diimunisasi. Outbreak juga didapati terjadi di daerah-daerah dengan padat penduduk seperti Pulau Jawa dan Sumatera.

Anggraini mengatakan, pertusis harus dicegah dan diminimalisasi terutama pada bayi, karena satu saja pertusis yang dilaporkan maka sudah bisa disebut Kejadian Luar Biasa (KLB) karena 90% sekitarnya pasti tertular. Kemenkes memberikan tata cara pertusis dan cara mencegahnya dengan meningkatkan cakupan imunisasi dengan sebaik-baiknya.

“Imunisasi kita mulai naik namun angka ini tidak bisa dikatakan baik karena pertusis bisa menularkan 17 orang lainnya makanya cakupannya harus 95% yang divaksin, karena di sanalah terjadi sumber KLB,” tuturnya.

Imunisasi yang perlu ditingkatkan dan dilengkapi adalah DTP-1 yang baru 91,4 % di tahun 2023, DTP-2, DTP-3 dan DTP-4 yang belum mencapai 95%. Ia berharap bayi dan anak dapat melengkapi imunisasi DTP yang juga termasuk program pemerintah untuk usia 2,3,4 hingga 18 bulan, serta usia lima sampai tujuh tahun dan usia SD sampai remaja untuk menghindari pertusis.

“Kita juga harus memperkenalkan pertusis dengan batuk terus-menerus minimal dua minggu lebih dengan tanda muntah tanpa sebab, henti nafas, maka mohon segera ke faskes terdekat untuk dilakukan pemeriksaan,” tandasnya.

 


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar