16 September 2025
14:13 WIB
Jepang Kembangkan Fotosintesis Buatan, Ubah CO2 Jadi Bahan Bakar
Pemerintah Jepang tengah menyusun pengembangan teknologi fotosintesis buatan untuk menjadikan CO2 jadi bahan bakar, sebagai bagian dari upaya mencapai target nol emisi pada 2050.
Ilustrasi fotosintesis. Freepik
JAKARTA - Jepang dikabarkan tengah mengembangkan teknologi fotosintesis buatan pada 2040, untuk mengubah karbon dioksida (CO2) menjadi bahan bakar. Hal tersebut diungkapkan oleh Menteri Lingkungan Jepang, Keiichiro Asao, seperti dikutip kantor berita Kyodo.
Apa yang tengah digagas ini menjadi bagian dari upaya untuk menekan emisi CO2 guna mencapai target nol emisi gas rumah kaca pada 2050. Selain itu, Jepang juga ingin memanfaatkan CO2 sebagai sumber daya, selain air dan sinar matahari untuk menghasilkan energi melalui teknologi generasi baru yang meniru proses fotosintesis alami.
Fotosintesis buatan melibatkan dua proses utama, yakni memecah air dan CO2 menggunakan listrik, serta memicu reaksi kimia dengan cahaya. Meski demikian, teknologi ini memang belum terbukti efektif dalam skala besar.
Berdasarkan peta jalan yang disusun di awal September lalu, Jepang akan mengembangkan lebih lanjut teknologi itu selama lima tahun ke depan. Sementara diharapkan proses pemisahan air dan CO2 akan mulai terealisasi pada 2030.
CO2 yang dihasilkan dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar penerbangan dan bahan baku produk kimia.
"Fotosintesis buatan adalah pilar untuk membangun masyarakat dekarbonisasi, yang akan menciptakan industri baru berbasis teknologi Jepang sekaligus meningkatkan daya saing internasional," kata Asao, dikutip dari Antara.
Jepang menargetkan produksi massal bahan baku kimia berbasis fotosintesis buatan pada 2040, dengan peningkatan efisiensi dan penurunan biaya agar dapat diterapkan secara luas.
Kementerian Lingkungan Jepang meminta anggaran sebesar 800 juta yen (sekitar Rp89,1 miliar) pada tahun fiskal mendatang untuk mendukung inisiatif tersebut.
Namun, karena proses fotosintesis buatan masih dalam tahap riset, Jepang harus membuktikan bahwa efisiensi konversi yang rendah dan biaya yang tinggi bisa diatasi agar teknologi ini layak dikembangkan.