23 Januari 2024
21:00 WIB
Penulis: Gemma Fitri Purbaya, Arief Tirtana
Editor: Rendi Widodo
JAKARTA - Upaya menjaga lingkungan harus dimulai dari diri sendiri. Itu ada di benak Wike Wijayanti (30) yang melakukan berbagai usaha membangun kebiasaan ramah lingkungan dari lingkup keseharian keluarganya. Tak terkecuali dalam urusan cuci mencuci pakaian. Sebagai kegiatan yang hampir tiap hari dilakukan sebagai seorang ibu rumah tangga.
Seperti banyak ibu rumah tangga lainnya di Indonesia, awalnya wanita yang tinggal di Bondowoso, Jawa Timur itu kerap mencuci pakaian dengan menggunakan detergen biasa yang umum dijual di berbagai toko maupun supermarket di dekat rumahnya.
Namun, setelah paham akan dampak negatif yang bisa ditimbulkan dari berbagai kandungan di dalam detergen tersebut, sejak Oktober 2021 Wike pun ‘hijrah’. Dia beralih dari menggunakan detergen biasa ke detergen organik yang lebih ramah lingkungan.
"Demi menjaga kelestarian alam, sudah waktunya kita kembali ke alam. Salah satunya dengan menggunakan produk organik. Agar bumi ini tetap sehat dan terjaga kelestariannya," tutur Wike saat berbincang dengan Validnews, (19/1).
Dengan kesadaran dan tujuan yang serupa, ibu rumah tangga lainnya asal Depok, Shintia (28) perlahan tapi pasti juga mulai meninggalkan kebiasaan mencuci menggunakan detergen pasaran.
Shintia sendiri sudah lama tahu mengenai dampak negatif penggunaan detergen yang bahan dasarnya banyak mengandung unsur kimia tersebut. Tetapi baru pada sekitar tahun 2023 lalu, dia benar-benar secara penuh meninggalkan penggunaan detergen biasa.
Berbeda dengan Wike yang membeli detergen organik, Shintia lebih memilih untuk membuat detergen ramah lingkungan sendiri. Dia membuatnya dari biji buah tanaman lerak (Sapindus rarak DC).
Berbekal pengetahuannya dari sejumlah workshop, pilihannya jatuh pada lerak karena kelebihannya. Buah ini memiliki kandungan saponin yang bisa bersifat seperti sabun. Selain itu, buah ini juga sudah sejak dulu digunakan untuk mencuci dalam proses pembuatan batik.
"Jadi memang sudah sejak lama berfungsi sebagai sabun ramah lingkungan," kata Shintia.
Manfaat Detergen Organik
Selain karena memang sudah lama banyak digunakan dalam pencucian batik, Shintia juga sengaja memilih lerak sebagai pengganti detergen karena terbukti aman untuk kulit tangannya yang sensitif. Karena ketika menggunakan detergen atau sabun sebelumnya untuk mencuci, kulitnya kerap iritasi. Rasa panas di kulit hingga kulit mengelupas, pernah dirasanya.
Lain halnya saat menggunakan lerak. Semua gangguan kulit itu tak pernah dirasa. Belum lagi ternyata setelah menggunakan lerak, dia merasa bisa lebih berhemat. Harga lerak relatif jauh lebih murah, dan penggunaannya juga relatif lebih irit jika dibandingkan detergen biasa.
"Karena lerak terbilang murah untuk 1 kg harganya sekitar 35 ribu, dan penggunaan sekali pakainya juga tidak banyak. Contohnya mau bikin sabun dari lerak cukup pakai 10 buah lerak per 1 liter air. 1 kg itu bisa saya pakai sampai 3 minggu," terangnya.
Sementara itu, Wike yang mengganti penggunaan detergen biasa dengan detergen organik, juga mengaku merasakan manfaat lebih dari pilihannya itu. Sebab bahan dasar detergen organik yang lebih ramah lingkungan. Air sisa cucian dengan detergen organik juga bisa dia manfaatkan lagi untuk menyiram tanaman, hingga membersihkan kloset.
Ketika masih menggunakan detergen biasa, dia beberapa kali membuang sisa air cuciannya ke tanah dan tanaman. Yang terjadi adalah tanaman jadi panas dan "terbakar". Ini tak ditemukannya ketika menyiramkan air sisa cucian yang menggunakan detergen organik.
"Ketika saya buang ke sekitar lingkungan, itu benar-benar bikin tanah subur. Sehingga Kalau dipikir-pikir pakai detergen organik itu memang lebih menguntungkan, artinya banyak keuntungan selain buat mencuci pakaian, tapi juga ke hal-hal lain yang sifatnya ramah lingkungan itu dapat," ungkap Wike.
Limbah Domestik
Bicara mengenai keuntungan detergen organik, juga lerak lebih aman buat lingkungan. Ini berbanding terbalik dengan fakta bahwa selama ini limbah domestik rumah tangga yang berasal dari sabun dan detergen berkontribusi besar terhadap pencemaran air.
Detergen, sabun dan berbagai produk sejenisnya secara langsung memang menghadirkan dampak negatif bagi lingkungan. Seperti dijelaskan Dosen Lingkungan Universitas Indonesia Dr. Mahawan Karuniasa, limbah rumah tangga menjadi kontributor yang sangat besar, khususnya pada pencemaran air tanah dan sungai. Tak kalah dengan pencemaran yang dilakukan oleh limbah industri.
Umumnya, sabun atau detergen bersifat basa dan jika tercampur dengan air akan berdampak pada pH (Potential of Hydrogen) atau tingkat keasaman air. Selain itu, detergen juga memiliki kandungan kimia yang sulit diurai oleh mikroorganisme, sehingga ketika masuk ke air, membuat air tersebut tidak layak untuk dikonsumsi.
"Apa lagi saat ini banyak sabun atau detergen buatan industri di pasaran belum terbuka sepenuhnya mengenai kandungan apa saja (di dalamnya) yang berbahaya bagi lingkungan. Termasuk (belum adanya) informasi dari pemerintah tentang bahaya sabun dan detergen, karena mungkin ada kepentingan ekonomi," kata dosen yang juga merupakan Founder Environment Institute itu.
Fakta serupa juga diakui oleh Manajer Kampanye Polusi dan Urban WALHI, Abdul Ghofar, yang menjelaskan adanya dampak nyata pengaruh limbah domestik dari sabun dan detergen terhadap pencemaran air, termasuk di sungai.
Meski demikian, secara spesifik memang tidak dipukul rata mengenai seberapa besar kontribusi limbah domestik rumah tangga tersebut terhadap pencemaran air sungai, jika dibandingkan dengan pencemaran yang disebabkan oleh limbah industri.
Diakui, di banyak sungai, pencemaran air memang lebih dominan disebabkan oleh limbah industri, terutama industri yang membutuhkan air dalam jumlah tinggi. Seperti yang terjadi di Sungai Citarum yang melintasi wilayah Bogor, Sungai Bengawan Solo di Jawa Tengah hingga Jawa Timur, juga Sungai Cikijing di Banten.
Namun, untuk wilayah Jabodetabek, berdasarkan pengalamannya di lapangan, Ghofar meyakini bahwa mayoritas pencemaran yang terjadi di aliran sungai itu disebabkan oleh limbah dari rumah tangga. Itu terjadi di sungai-sungai besar yang melalui wilayah Jabodetabek, seperti Sungai Ciliwung, Pesanggrahan, dan juga Cisadane.
"Sekarang kan kita bisa tracking di sepanjang daerah aliran sungai itu ada kawasan industri atau enggak. Kalau di sepanjang DAS-nya (daerah aliran sungai.red) mayoritas adalah rumah tangga, maka limbah domestik rumah tangga lah yang berkontribusi langsung terhadap pencemaran sungai," terangnya.
Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL)
Meskipun limbah domestik rumah tangga secara fakta telah terbukti sebagai penyebab utama pencemaran air, termasuk di sungai, Ghofar berpendapat bahwa menyelesaikan masalah ini tidak dapat dilakukan dengan langsung menyalahkan masyarakat. Sebagai contoh, tindakan yang lebih efektif, baik, dan benar dapat dilakukan dengan mengampanyekan kepada masyarakat untuk menghentikan penggunaan detergen biasa.
Berdasarkan pengamatannya, mayoritas masyarakat yang tinggal di bantaran sungai itu berasal dari kelas ke bawah. Bahkan sebagian merupakan wilayah pemukiman kumuh. Kebanyakan mereka dianggap penduduk ilegal yang tidak punya hak atas tanah.
Masyarakat seperti itu, dikatakan Ghofar, untuk sebatas mendapatkan akses air bersih saja sulit. Jadi berat rasanya untuk mengharapkan mereka bisa mengupayakan menjaga pengolahan air limbah rumah tangganya agar tak turut mencemari lingkungan.
Alih-alih langsung mengharapkan masyarakat kelas bawah yang tinggal di sekitar sungai untuk menggunakan sabun atau detergen ramah lingkungan, menurut Ghofar akan lebih realistis untuk lebih dulu mengupayakan sistem pengelolaan air limbah yang baik di wilayah mereka, dengan pembuatan instalasi pengolahan air limbah (IPAL) secara komunal. Dan itu juga menjadi kewajiban Pemerintah untuk bisa memenuhinya.
"Maka di sini, menurut kami itu penting juga bagaimana tanggung jawab pemerintah untuk menyediakan sanitasi yang layak, air bersih yang layak, termasuk pengolahan air limbahan komunal," yakinnya.
Sebab diterangkan Ghofar, baik itu dalam rumah tangga maupun juga industri, masalah limbah yang timbul umumnya sama, berkaitan dengan sistem pengelolaan air limbah yang tidak berjalan secara semestinya.
Banyak rumah ataupun pabrik yang ada di bantaran sungai, tidak memiliki sistem IPAL sehingga mereka akan cenderung mengambil jalan mudah, langsung membuang air limbahnya ke aliran sungai.
"Masyarakat menurut saya kalau tidak ada opsi, ya pasti akan buang langsung ke sungai. Buang air ke sungai, buang limbahan ke sungai. Jadi sungai dianggap sebagai satu-satunya pilihan tempat untuk membuang limbah. Ini yang harus diregulasi," terang Ghofar.
Sulitnya Temukan Solusi Realistis
Ghofar mengakui, untuk berharap ke industri saat ini agar mau lebih mengutamakan produksi sabun atau detergen dengan kandungan yang ramah lingkungan masih menjadi jalan yang panjang.
Karena bagaimanapun, produsen pasti akan berpikir untuk bisa membuat produk dengan biaya produksi yang murah, bisa diproduksi dalam skala besar, pengemasannya gampang, hingga akhirnya bisa dijual murah.
Hal ini lah yang mendasari masalah mengenai dampak negatif sabun dan detergen yang bisa mencemari air belum banyak dibicarakan. Belum pernah ada dorongan untuk memaksa atau mewajibkan pelaku-pelaku industri, untuk mengubah bahan-bahan ramah lingkungan. Levelnya masih sebatas menekan agar para produsen tersebut tidak mencemari lingkungan melalui sampah-sampah yang mereka hasilkan.
Karena itu banyak tekanan menyasar produsen sabun dan detergen agar tidak lagi memasarkan produk mereka dalam kemasan sachet plastik. Kemasan yang hingga kini masih sangat mudah ditemui, menjadi sampah yang mencemari aliran sungai.
Mahawan juga mengakui hal sama, bahwa tidak mudah untuk "memaksa" masyarakat Indonesia saat ini untuk menggunakan detergen ramah lingkungan agar tidak turut mencemari air. Harga masih menjadi kendala sebagian besar masyarakat Indonesia.
Umumnya sabun atau detergen organik yang dijual di pasaran pasti akan berharga lebih mahal. Sedangkan, masyarakat sebagai konsumen, pasti akan lebih banyak yang memiliki kecenderungan untuk membeli produk yang lebih murah dengan berbagai alasan.
Sementara untuk produk alternatif seperti lerak, ketersediaan materialnya bisa menjadi masalah lain. Belum banyak juga masyarakat yang tahu tentang adanya fungsi lerak untuk menggantikan detergen.
Belum lagi, terkait penggunaannya. Menggunakan lerak tentu tak sepraktis dengan menggunakan detergen. Hasil cucian yang menggunakan buah lerak pun umumnya tidak lebih bersih jika dibandingkan dengan pakaian yang dicuci menggunakan detergen. Kesemuanya tentu juga akan jadi pertimbangan banyak rumah tangga untuk menggunakannya.
Sebagai yang sudah menggunakan sekitar setahun ke belakang ini, Shintia juga mengakui adanya kelemahan lerak tersebut. Jika ada noda membandel dari pakaian yang dicucinya, dia masih menggunakan sabun tambahan, meski dari bahan ramah lingkungan. Seperti sabun batangan yang terbuat dari lerak, yang bisa ia beli di berbagai platform e-commerce.
Sementara terkait masalah harga untuk sabun atau detergen organik yang lebih mahal, diakui Wike memang pada akhirnya cukup memberatkan buat dirinya. Dengan segudang manfaat yang bisa dihasilkan, perlahan tapi pasti Wike akhirnya menyerah juga menggunakan sabun organik. Dari awal dia mencoba, Wike hanya mampu bertahan lima bulan menggunakan sabun organik.
"Keuangan atau keterbatasan yang akhirnya membuat saya kembali memakai deterjen biasa. Namun pasti ingin kembali (menggunakan deterjen organik). Semoga nanti harganya lebih terjangkau," keluh Wike.
Menyikapi fakta tersebut, Mahawan tak bisa menyalahkan jika memang masyarakat belum banyak yang tergerak menggunakan detergen organik. Menurutnya, bagian paling pentingnya harus ada di kesadaran masyarakat mengenai adanya dampak negatif detergen yang biasa mereka pakai terhadap lingkungan.
Dengan kondisi informasi digital yang sudah semakin berkembang, dia berharap masyarakat bisa lebih mudah mengakses informasi, termasuk dari sosial media mengenai bahaya penggunaan sabun dan detergen kimia. Baik dalam konteks langsung dampaknya ke diri sendiri, seperti terhadap kulit mereka, juga dampak luasnya kepada lingkungan.
Kalaupun belum bisa menghentikan penggunaan sabun dan detergen biasa, dan menggantinya dengan detergen organik atau lainnya, minimal masyarakat mau mengurangi penggunaan detergen yang berbahaya bagi lingkungan semampunya.