02 Agustus 2023
20:25 WIB
Penulis: Annisa Nur Jannah
Editor: Satrio Wicaksono
JAKARTA - Pada 1963, untuk pertama kali Miriam Makeba memberikan kesaksian di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Di hadapan para majelis, Makeba membeberkan segala situasi yang sebenarnya dilakukan rezim apartheid di Afrika Selatan.
Sebuah kebijakan rasialis yang memisahkan ras kulit putih dan kulit hitam secara ketat, terjadi di selatan benua hitam tersebut. Makeba menyebut, penduduk asli tidak pernah merasakan kenikmatan sumber daya alam negaranya sendiri. Parahnya lagi, diasingkan di sebuah wilayah yang diberi nama bantustan atau homeland.
"Saya bertanya kepada Anda dan semua pemimpin dunia: Apakah Anda akan bertindak berbeda, apakah Anda akan diam dan tidak melakukan apa-apa, jika Anda berada di tempat kami? Apakah Anda tidak akan menolak jika Anda tidak diberi hak di negara Anda sendiri, karena warna kulit Anda berbeda dengan para penguasa, dan jika Anda dihukum bahkan karena meminta kesetaraan?" bebernya, seperti dikutip Democraci Now.
Ketegasan itu disampaikan dihadapan sebelas anggota Komite Khusus PBB tentang apartheid. Dalam pidatonya itu, Makeba mendesak negara-negara lain tidak mengirimkan persenjataan yang pada akhirnya digunakan untuk menindas dan melawan kaum wanita dan anak-anak di tanah kelahirannya.
Dan 13 tahun setelahnya, Makeba kembali menyuarakan hal yang sama di persidangan PBB. Saat itu, dia menempatkan diri sebagai 'juru bicara' untuk kaumnya.
Pada kesempatan kedua tersebut, dia benar-benar meminta kepada banyak negara untuk ikut campur tangan menghentikan rentetan tragedi akibat apartheid.
Makeba sangat percaya, rezim apartheid hanya bisa dihentikan dengan intervensi dunia. Sayangnya, apa yang dilakukannya semakin membuat pemerintahan Afrika Selatan semakin geram. Kewarganegaraannya pun dicabut.
Berawal Dari Musik
Beberapa tahun sebelum dia mendapat kesempatan melantangkan suaranya di depan majelis PBB, Makeba adalah seorang penyanyi lokal yang mencoba peruntungan di Amerika Serikat.
Miriam Makeba lahir pada tanggal 4 Maret 1932 di Johannesburg, Afrika Selatan, bernama asli Uzenzile Makeba Qgwashu Nguvama. Dia dibesarkan di lingkungan yang dipengaruhi oleh budaya dan musik Afrika.
Sejak usia muda, dia sudah menunjukkan bakat vokalnya dengan bergabung dengan paduan suara gereja di daerah tempat tinggalnya.
Makeba yang sering tampil di panggung-panggung lokal, mendapat perhatian dari sebuah kelompok musik terkenal di Afrika Selatan kala itu, "The Manhattan Brothers,".
Berperan sebagai backup singer, suara dan penampilannya justru membawa warna baru. Lima tahun kemudian, dia memutuskan keluar dan bergabung dengan kelompok wanita bernama The Skylarks.
Kehadirannya di The Skylarks membantu menggabungkan vokal Afrika yang khas dengan gaya musik jazz modern. Upaya tersebut menciptakan suara unik dan menarik perhatian pecinta musik, sehingga grup musik ini menjadi terkenal di Afrika Selatan.
Suara khas Makeba pun membawanya mendapatkan kesempatan besar tampil dalam musikal "King Kong" yang berbasis di London. Musikal "King Kong" adalah sebuah produksi musikal terkenal yang berbicara tentang kehidupan dan kematian bintang tinju Afrika Selatan, Ezekiel Dlamini yang dikenal dengan nama "King Kong".
Dia memainkan peran sebagai Joyce, seorang pelayan. Penampilannya yang luar biasa, menarik perhatian banyak penonton dan kritikus. Ini karena suara emasnya dan bakat vokalnya yang luar biasa.
Melalui perannya dalam musikal "King Kong," dia pun berhasil memperkenalkan suara dan musik Afrika Selatan ke panggung internasional.
Prestasi dan penampilan luar biasa Miriam Makeba dalam musikal "King Kong", membuka pintu bagi dia untuk memulai karier musik di luar negeri.
Setelah penampilan musikal tersebut, dia mendapatkan perhatian dari para musisi dan pecinta musik di Eropa dan Amerika Serikat. Karier internasionalnya mulai berkembang. Bahkan dia menjadi salah satu duta besar budaya dari benua Afrika, membawa pesan dan musik tentang perjuangan rakyat Afrika Selatan ke seluruh dunia.
Diasingkan
Bersamaan dengan itu juga, seperti dikutip dari sahistory.org.za, Makeba mendapat tawaran untuk bermain di film Come Back, Africa. Lionel Rogosin jadi sutradara di balik film yang mengangkat tentang pemerintahan apartheid ini.
Film ini tak ayal menjadi 'tamparan' keras buat pemerintah Afrika Selatan. Apalagi film ini diputar di banyak negara tanpa persetujuan pihak penguasa.
Jelang perilisannya, bersama dengan Rogosin, Makeba meninggalkan Afrika untuk pertama kalinya. Dia bergabung di acara bergengsi Festival Film Venesia. Di perjalanan itu dia menghabiskan waktu yang cukup lama. Berpindah-pindah negara, melakukan tur musiknya.
Sampai suatu hari, Makeba mendengar kabar kalau sang ibu meninggal dunia. Bergegas dia mendatangi Konsulat Afrika Selatan di New York. Nasib pahit harus ditelannya. Paspornya dibubuhkan dengan kata "Invalid".
Pemerintah apartheid Afrika Selatan mencabut kewarganegaraan Miriam Makeba dan menolak untuk memperbarui paspornya. Hal ini menjadikannya seseorang tanpa kewarganegaraan (stateless).
Makeba bingung. Apalagi dia merasa tidak pernah secara frontal menyuarakan perlawanan ke pemerintahan.
Sebaliknya, pemerintah Afrika Selatan menganggap kesuksesan Makeba di mata dunia akan menjadi sebuah ancaman bagi rezim itu. Kondisi ini pun membuatnya tidak bisa menginjakkan kaki ke negara asalnya sendiri lebih dari 30 tahun.
Beberapa negara yang terhubung dengan rezim apartheid di Afrika Selatan pun menolak memberikan visa kepadanya, bahkan melarangnya tampil di panggung. Akibatnya, Miriam Makeba harus mencari perlindungan dan dukungan dari negara-negara yang menentang apartheid, untuk melanjutkan karier musiknya di negara orang.
Guinea, Prancis, dan negara-negara lain di Afrika dan Eropa, memberikan dukungan dan memberi tempat baginya untuk berkarya dan menyuarakan perjuangan anti-apartheid.
Berkat dukungan dan kerja sama dengan negara-negara penentang apartheid, dia menggunakan kepopularitasannya dengan ikut berpartisipasi dalam pertemuan dan acara yang membahas isu-isu terkini tentang Afrika Selatan. Semangat perjuangannya semakin membara.
Berjuang Lewat Lagu
Di 'perantauan' Makeba makin berfokus untuk meraih mimpinya menjadi penyanyi papan atas. Dia menjadi artis pertama yang memperkenalkan budaya Afrika ke dunia lewat lagu-lagu ciptaannya. Penampilannya semkain memikat perhatian banyak kalangan.
Salah satu hitsnya "Pata-Pata", menjadi lagu pertama dengan bahasa Zulu yang diperdengarkan kepada kaum Barat.
Bahkan lagu tersebut sempat masuk dalam deretan Tangga Lagu 100 R&B Billboard pada 7 Oktober 1967, dan bertahan selama tiga minggu. Meski kata dia, dalam sebuah otobiogragfi-nya, lagu tersebut sejatinya tidak memiliki makna yang cukup berarti.
Namun, hidup damai di luar negeri sambil menggapai mimpi, ternyata tidak membuat Makeba sepenuhnya nyaman. Dia masih punya perasaan untuk bisa pulang ke kampung halaman, dan berjuang bersama.
'Agak menyakitkan berada jauh dari segala sesuatu yang pernah Anda ketahui. Tidak ada yang akan tahu sakitnya pengasingan sampai Anda berada di pengasingan. Ke mana pun Anda pergi, ada kalanya orang menunjukkan kebaikan dan cinta kepada Anda, dan ada kalanya mereka membuat Anda tahu bahwa Anda bersama mereka tetapi bukan dari mereka. Saat itulah sakit," ucapnya.
Di sana, perjuangan yang bisa dilakukan hanya dengan lirik dan lagu. "Soweto Blues" salah satunya. Lagu itu dia buat bersama salah satu suaminya, Hugh Masekela, atas peristiwa pembantaian di Soweto.
Peristiwa Soweto merupakan pembantaian yang dilakukan oleh rezim, sebagai buntut dari ribuan pelajar yang memprotes penggunaan bahasa Afrikaans sebagai bahasa pengantar sekolah. Pemerintah menanggapi para bocah itu dengan sangat keji, terjadi pertumpahan darah akibat tembakan dan pembunuhan secara sadis.
Banyak negara, organisasi, dan individu di dunia mulai mengutuk rezim apartheid dan mendukung penuh Miriam Makeba sebagai solidaritas gerakan anti-apartheid. Dia terus menggunakan panggung seni untuk menyuarakan isu-isu hak asasi manusia, kesetaraan rasial, dan perlawanan terhadap sistem apartheid.
Mama Afrika
Perjuangannya tak sia-sia. Rezim apartheid Afrika Selatan akhirnya runtuh. Makeba pun bisa melenggang pulang ke tanah kelahirannya dan menjadi penanda penting buat Afrika Selatan.
Sebagai musisi, dia menjadi duta budaya dari benua Afrika, membawa suara dan pesan dari tanah airnya ke panggung internasional. Miriam Makeba juga terus berperan sebagai aktivis hak asasi manusia dan berjuang untuk perdamaian, kesetaraan rasial, dan hak-hak rakyat Afrika Selatan dan di seluruh dunia.
Dia aktif berbicara tentang isu-isu sosial dan politik dalam berbagai forum internasional.
Selain itu, Makeba juga terlibat dalam berbagai inisiatif kemanusiaan dan amal untuk membantu masyarakat di Afrika Selatan dan di seluruh benua Afrika.
Makeba pun dijuluki sebagai "Mama Afrika",sebuah cerminan yang menginspirasi banyak orang di dunia. Sejak saat itu juga dia menjadi simbol persatuan dan paling berpengaruh dalam sejarah musik dan aktivisme Afrika.
Prestasi dan perannya dalam membawa suara dan pesan dari Afrika Selatan ke panggung internasional telah memberikan dampak yang besar dalam dunia musik dan aktivisme sosial.
Miriam Makeba tutup usia pada tanggal 9 November 2008 dalam usia 76 tahun di Castel Volturno, dekat Napoli, Italia, akibat serangan jantung.
Meski telah tiada secara fisik, warisan seni dan perjuangannya dalam musik dan hak asasi manusia tetap dikenang seluruh dunia.
Sebagai salah bentuk penghormatan, musisi asal Prancis, Jain, merilis sebuah lagu berjudul "Makeba". Lewat lagu ini, Jain mengungkapkan kekagumannya akan perjuangan Miriam Makeba.
Lagu "Makeba" tidak hanya menjadi penghormatan bagi Miriam Makeba, tetapi juga menghadirkan pesan tentang perjuangan, keadilan, dan semangat yang universal bagi banyak orang.