c

Selamat

Senin, 17 November 2025

KULTURA

01 April 2024

15:54 WIB

Isu-Isu Perfilman Nasional Kini: Arsip hingga Tantangan Regenerasi

Di tengah arus perkembangan perfilman tanah air, baik dari karya, apresiasi, dan penghargaan, masih ada saja tantangan yang harus dibenahi.

Penulis: Andesta Herli Wijaya

Editor: Satrio Wicaksono

Isu-Isu Perfilman Nasional Kini: Arsip hingga Tantangan Regenerasi
Isu-Isu Perfilman Nasional Kini: Arsip hingga Tantangan Regenerasi
Illustrasi Wanita Sedang Menonton Film Horror. Sumber: Shutterstock/leolintang

JAKARTA - Industri film nasional pascapandemi mengalami perkembangan pesat, baik dari aspek pengkaryaan maupun apresiasinya. Jumlah produksi tinggi, penonton tumbuh pesat dari waktu ke waktu. Boleh dikata, saat ini merupakan kondisi ‘ideal’ untuk perfilman Indonesia.

Namun, selalu ada rumpang dalam setiap situasi yang kadung dianggap ideal. Selalu ada ‘lubang’ yang tak mudah terlihat di permukaan, namun nyata sebagai persoalan yang menuntut perhatian di lapisan dalamnya. Bahwa di balik kegemilangan industri film saat ini, ada sejumlah soal atau pekerjaan rumah yang membayangi industri berikut para pelaku film di dalamnya.

Ifa Isfansyah, sutradara yang juga penggerak Jogja-NETPAC Asian Film Festival, menyorot masalah pengarsipan film-film Indonesia. Pembuat serial Gadis Kretek itu menyebut industri film Indonesia memerlukan kerja pengarsipan yang berkelanjutan untuk masa mendatang.

Ifa berkaca pada masa yang sudah-sudah, di mana film-film diproduksi tanpa dibarengi kesadaran akan arsip atau pendokumentasian yang baik. Akhirnya, film-film Indonesia yang hari ini tergolong klasik, sulit ditelusuri atau diteliti kini, bahkan nyaris punah.

“Saya sangat yakin sekali bahwa PR terbsesar film Indonesia adalah arsip, karena semua yang kita lakukan sekarang ini nggak akan ada artinya kalau tidak bisa dibaca 100 tahun kemudian. Dan ini memang bukan pekerjaan rumah yang mudah,” ungkap Ifa saat berbicara dalam acara perayaan Hari Film Nasional di Jakarta, beberapa waktu lalu.

Selain arsip, persoalan perfilman Indonesia hari ini juga mencakup isu sumber daya manusianya. Masih menurut Ifa, ada persoalan kompetensi sumber daya manusia di perfilman Indonesia. Bukan pada aspek kreatifnya, tapi justru pada aspek teknis yang mendasar.

Ifa bersama sejumlah kolega di perfilman, melakukan riset dan menemukan fakta bahwa masih ada ‘gap’ pada sisi pengetahuan teknis, terutama aspek administrasi produksi. Ini merupakan soal-soal yang kerap diabaikan para sineas, meski sangat menentukan atas status legalitas karya mereka, bahkan menentukan pendapatan mereka.

Misalnya, masih banyak pekerja film yang awam soal pembuatan laporan keuangan atau dokumen untuk urusan lisensi penggunaan karya lagu pihak lain dalam film.

“Pada saat kita lihat pemetaannya, kita sudah sadar produksi, sudah sadar distribusi, secara organik industrinya tumbuh dengan bakat yang juga tumbuh banyak. Produser sudah mulai melihat banyak bakat. Tapi ketika ketemu, ada gap, bahwa dari yang bawah ternyata pikirannya, ‘oh kalau sudah bisa tulis skrip yang bagus tiba-tiba besok duitnya sudah muncul. Oh enggak, masih ada yang harus dilakukan,” kata Ifa.

Untuk soal tersebut, Ifa sendiri bukannya tak bergerak untuk jadi bagian dari solusi. Ia saat ini bekerja sama dengan Netflix untuk menggelar serangkaian pelatihan peningkatan kompetensi teknis-administratif bagi pelaku film dalam negeri.

Setelah arsip dan aspek kompetensi pelaku film, isu lainnya yaitu terkait dukungan bagi industri. Perspektif ini datang dari aktris sekaligus produser Prilly Latuconsina. Pemeran perempuan berdarah Ambon ini menilai, dukungan pemerintah terhadap industri perfilman masih perlu ditingkatkan, terutama dalam misi promosi sinema Indonesia di kancah internasional.

Prilly berkaca pada Korea Selatan yang menurutnya gambaran ideal tentang kerjasama industri dengan negara. Hal itulah yang perlu didorong lebih jauh lagi di Indonesia.

“Menurut aku yang perlu ditingkatkan itu support dari pemerintah, misalnya support untuk kita bisa berangkat ke festival luar atau kita membawa nama Indonesia, kita perlu didukung,” tutur Prilly.

Sumber Daya Manusia
Masih di wilayah yang sama, peran pemerintah juga diharapkan makin besar dalam hal penguatan sumber daya manusia. Spesifiknya lagi, yakni soal regenerasi. Menurut Prilly, meski meriah, industri perfilman Indonesia sejatinya masih kekurangan pelaku industrinya.

Soal sumber daya ini berkaitan dengan ekosistem secara luas. Sumber daya perfilman Indonesia relatif masih terbatas karena masih kurangnya pengembangan hulu ke hilir. Misalnya, tengok betapa terbatasnya sediaan institusi pendidikan film di tanah air.

“Di Korea itu universitas untuk belajar film itu banyak banget pilihannya, jurusan filmnya bagus-bagus. Bahkan banyak yang dapat beasiswa langsung dari pemerintahnya agar mereka bisa berkarya,” katanya lagi.

Lemahnya dukungan melalui ekosistem pendidikan dari perspektif Prilly, yang juga diamini Ifa Isfansyah, membuat perfilman Indonesia relatif masih bertopang pada komunitas untuk menciptakan regenerasi. Imbasnya, sediaan talenta dalam negeri juga relatif terbatas.

Ada banyak aktor, tapi tak cukup banyak. Jumlah tenaga teknis pun lebih terbatas lagi. Bahkan Prilly sendiri di sejumlah produksi perusahaannya Sinemaku Pictures, mengaku seringkali kesulitan mendapatkan kru produksi karena masih terbatasnya sumber daya manusia yang ada.

Kurangnya peran institusi pendidikan menurut Prilly beririsan dengan soal bagaimana publik Indonesia memandang industri film. Sampai era ini, menurutnya industri film masih dipandang tak menjanjikan bagi banyak kalangan.

“Masih banyak orang yang ngerasa, ‘oh, kerja di film apa masa depannya? Sehingga sumber daya manusianya sendiri menurut saya masih kurang. Saya cari kru untuk produksi, itu susah banget, lho. Karena nggak banyak pilihannya. Nggak banyak anak muda mau terjun,” paparnya lagi.

Artinya, penting ekosistem yang kuat dari hulu ke hilir, dari aspek ketersediaan sumber daya manusia hingga promosi, untuk menciptakan industri film yang kuat. Utamanya, perlu kerjasama yang solid dari komunitas film, pemerintah, maupun masyarakat secara luas. 

Ketenagakerjaan 
Satu lagi isu di perfilman Indonesia saat ini berkaitan dengan masalah ketenagakerjaan. Faktanya, pelaku di industri film masih dianggap ‘buruh’, bekerja dengan aturan kerja yang terlalu dinamis, berujung pada pola kerja yang kerap kali berlebihan.

Misalnya dalam hal durasi kerja, sulit menemukan produksi film yang menetapkan aturan kerja kurang dari 10 jam sehari. Pada banyak produksi, para aktor dan kru belakang layar lazim bekerja 14 jam bahkan 20 jam sehari demi mengejar target produksi. Biasanya, target penyelesaian produksi berkaitan dengan berbagai urusan teknis administrasi hingga anggaran.

Belum lagi soal kenyamanan, keamanan dan kesejahteraan para kru film. Sudahkah semua kru film yang dipekerjakan untuk suatu produksi mendapat jaminan kesehatan hingga bonus?

Prilly Latuconsina mengamini ada persoalan di wilayah ketenagakerjaan tersebut, dan ia sendiri sebagai produser mengupayakan berbagai cara agar bisa memberi jaminan kesejahteraan yang layak bagi setiap kerja di produksi mereka. Prilly juga mengaku tengah bergerak bersama sejumlah produser, mendorong ditetapkannya aktor sebagai profesi profesional, bukan buruh, melalui Undang-Undang Ketenagakerjaan.

Taufan Adryan, produser dari Visinema Pictures, menggambarkan bagaimana pihaknya mengupayakan produksi yang memanusiakan manusia, mengutamakan kenyamanan kerja semua kru produksi.

Taufan mengatakan kalau pihaknya mencoba menormalisasi jam kerja yang lebih pendek.  Visinema baru-baru ini memproduksi 13 Bom di Jakarta yang menurut Taufan menerapkan batasan jam kerja maksimal 14 jam per hari selama proses produksinya.

“Kami berhasil menjalani hari-hari maksimal 14 jam, dan itu jarang, seringnya justru 11-12 jam, dan kita komit sama itu semua. Itu jam kerja aku rasa juga harus jadi komitmen sama-sama dalam lingkup kerja. Dan konsekuensinya tentu semua harus komitmen pada ketepatan waktu,” tutur Taufan.

Powered by Froala Editor


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar