27 Mei 2025
16:19 WIB
Isi dan Urgensi Buku Sejarah Indonesia Yang Disusun Kemenbud
Indonesia telah absen dalam menulis sejarah bangsa selama kurang lebih 26 tahun. Ini masa yang cukup lama dan menyimpan banyak perstiwa atau cerita penting yang belum dutuliskan.
Penulis: Annisa Nur Jannah
Editor: Andesta Herli Wijaya
Kementerian Kebudayaan RI dan Komisi X DPR RI sepakat melanjutkan proyek penulisan buku sejarah Indonesia, dalam pertemuan di kompleks DPR RI, Senayan, Jakarta, Senin (26/5). Sumber foto: Kemenbud.
JAKARTA - Kementerian Kebudayaan (Kemenbud) terus melanjutkan proyek penulisan ulang sejarah Indonesia di tengah perdebatan publik yang mencuat. Kehadiran buku sejarah baru Indonesia, yang direncanakan akan menjadi kado ulang tahun Kemerdekaan ke-80 tahun ini, menimbulkan berbagai kekhawatiran sebagian kalangan, terutama soal potensi normalisasi tafsir tunggal atas sejarah Indonesia.
Namun Kemenbud bergeming. Buku itu terus digodok, dengan melibatkan para ahli sejarah dari seluruh Indonesia.
Menteri Kebudayaan, Fadli Zon menjelaskan, ada urgensi yang jelas atas penulisan buku sejarah Indonesia versi terbaru. Kepentingannya mulai dari menghapus bias kolonial hingga penciptaan narasi baru yang lebih relevan bagi generasi baru.
"Urgensi penulisan sejarah 2025, antara lain menghapus bias kolonial dan menegaskan perspektif Indonesia-Sentris; menjawab tantangan kekinian dan globalisasi; membentuk identitas nasional yang kuat; menegaskan otonomi sejarah/ sejarah otonom; relevansi untuk generasi muda, dan reinventing Indonesian identity, atau menemukan kembali jati diri Indonesia," ungkap Fadli, dikutip dari siaran resmi, Selasa (27/5).
Kemenbud baru-baru ini pun telah mengantongi “restu” DPR RI untuk melanjutkan proyek penulisan ulang sejarah Indonesia tersebut. Dalam rapat pada Senin (26/5) di Senayan, Ketua beserta 34 Anggota Komisi X DPR RI dan 8 Fraksi dengan mayoritas menyetujui dilanjutkannya penulisan buku sejarah Indonesia yang difasilitasi Kemenbud.
Ketua Komisi X DPR RI, Hetifah Sjaifudian, dalam pembukaan rapat menyampaikan bahwa penulisan ini harus disertai sosialiasi kepada publik terkait bagaimana penulisan dilakukan hingga siapa saja yang dilibatkan dalam proyek tersebut.
Selain itu, penyusunan buku tersebut juga harus dibuat secara objektif, transparan, mendalam, komprehensif, holistik, inklusif dan merepresentasikan memori kolektif bangsa. Sehingga buku yang dibuat nantinya memiliki manfaat untuk pengetahuan dan pendidikan dan juga membangun karakter bangsa, serta juga dapat dipertanggungjawabkan secara akademik.
Fadli mengatakan, bahwa masih ada narasi sejarah yang belum sepenuhnya membebaskan diri dari perspektif kolonial, kurang menjawab tantangan kekinian dan globalisasi sehingga sering dipandang kurang relevan dengan kebutuhan masyarakat modern terutama generasi muda. Menurutnya, penulisan kembali sejarah Indonesia saat ini bukan lagi pilihan, melainkan sebuah keharusan.
Baca juga: Kemenbud Libatkan 100 Sejarawan Revisi Buku Sejarah
Penulisan sejarah Indonesia ini direncanakan terdiri dari 10 jilid buku. Dimulai dari jilid Sejarah Awal Nusantara; Nusantara dalam Jaringan Global: India dan Cina; Nusantara dalam Jaringan Global: Timur Tengah; hinggaa Interaksi dengan Barat: Kompetensi dan Aliansi. Kemudian jilid Respons terhadap Penjajahan; Pergerakan Kebangsaan; Perang Kemerdekaan Indonesia Masa Bergejolak dan Ancaman Integrasi; Orde Baru (1967-1998); serta Era Reformasi (1999-2024).
"Kita tidak bisa menuliskan sejarah secara detail dan isi buku ini hanyalah garis besar. Karena sejarah ini mencakup banyak bidang, tentu isi buku ini tidak bisa mencakup secara detail, tetapi yang ingin kita mulai, yaitu perspektif indonesia atau Indonesia sentris," tambah Fadli.
Menurut Menbud, Indonesia telah absen dalam menulis sejarah bangsa selama kurang lebih 26 tahun–masa yang cukup panjang dan menyimpan banyak cerita sejarah yang belum dituliskan. Termasuk misalnya sejarah di masa kepemimpinan BJ. Habibie hingga Joko Widodo.
Fadli memastikan penulisan buku sejarah ini akan sesuai dengan kaidah akademik penulisan sejarah. Termasuk, nantinya ketika penulisan buku sudah mencapai 70 persen, pemerintah akan menggelar uji publik lewat forum-forum dialog terbuka.