23 Agustus 2023
20:30 WIB
Penulis: Gemma Fitri Purbaya
Editor: Satrio Wicaksono
JAKARTA - Di tengah musim gugur tahun 1999, tiga siswi sekolah menengah di sebuah kota kecil negara bagian Kansas, Amerika Serikat kebingungan, habis akal. Mereka mendapat tugas yang berkaitan dengan Hari Sejarah Nasional (National History Day).
Mereka bingung, kisah siapa yang akan diangkat untuk proyek tahunan ini.
Bagi mereka, menuliskan kembali perjuangan tokoh-tokoh atau pahlawan yang ada di Negeri Paman Sam itu, sudah biasa. Basi. Orang-orang pasti sudah pernah menulis dan mempresentasikan kisah mereka berulang kali, sampai bosan!
Mencari ide, ketiga pun membuka majalah-majalah lama, berharap menemukan sosok yang kira-kira belum banyak dikenal orang. Ahay! Benar saja. Dalam sebuah artikel, News and World Report tahun 1994, ada tulisan tentang seorang wanita yang menggugah hati mereka.
Wanita ini diketahui menyelamatkan anak-anak dan orang dewasa di Warsawa, Polandia. Tertarik, mereka segera mengajukan sosok tersebut kepada gurunya.
Namun, sang guru malah bingung dan keheranan. Jangankan kisah heroiknya, mendengar namanya saja ternyata dia belum pernah. Salah tulis nama, mungkin! Pikir si guru.
Kendati begitu, ketiganya keukeuh menjadikan wanita dari Polndia tersebut sebagai proyek mereka. Dengan penuh semangat, mereka mengumpulkan jurnal, catatan, hingga artikel-artikel majalah-majalah lama yang menceritakan sosok tersebut.
Dirasa cukup lengkap, mereka menuliskan kisah inspirasinya ke dalam sebuah naskah drama kecil bertajuk "Life in a Jar". Hasilnya luar biasa. Pementasannya tidak hanya digelar secara lokal, tetapi menjalar ke kota-kota lain.
Orang-orang ingin mengetahui kisah sosok tersebut. Wanita heroik yang menyelamatkan lebih dari 2.500 anak di Warsaw Ghetto pada 1942. Namanya Irena Sendler.
Siapakah Irena Sendler?
Irena Sendler atau Irena Kryzyzanowski merupakan anak perempuan dari pasangan Janina dan Dr. Stanislaw Kryzyzanowski. Meskipun lahir di Warsawa, Irena tumbuh besar di sebuah kota kecil bernama Otwock.
Kepergian ayahnya pada usia tujuh tahun, terus membekas di ingatan Irena. Terlebih pesan sang ayah untuk menolong orang lain, terlepas dari latar belakang, ras, agama, dan lainnya.
"Kalau melihat ada orang tenggelam, segera loncat dan bantu, mau bisa berenang atau tidak!" pesan ayahnya ini, selalu terngiang di kepala Irena.
Sebagai seorang Katolik, ia tidak merasa kesulitan untuk hidup di Polandia. Pemerintah Polandia yang 'manut' dengan Jerman Nazi, hanya menyerang dan mengganggu ketentraman hidup orang-orang Yahudi.
Akan tetapi, hal inilah yang kemudian mengusik batin Irena, apalagi jika mengingat pesan ayahnya sebelum meninggal dunia. Perasaan bersalah kerap berkecamuk saat melihat orang lain dipersekusi, hanya karena agama yang dianutnya.
Emosinya tidak lagi terbendung, terutama, saat ia berkuliah di Universitas Warsawa, jurusan Literatur Polandia. Irena memberontak! Dia merasa tidak terima atas ketidakadilan yang dialami oleh orang-orang Yahudi ini pada pendidikan.
Bayangkan saja, Irena menyaksikan mereka tidak boleh bersekolah. Mereka tidak boleh mengenyam bangku pendidikan tinggi.
Sayang, pemberontakan itu justru berbalik menjadi petaka bagi dirinya. Dia banyak mendapat sanksi dan hukuman dari kampus. Bahkan sengaja tidak diluluskan meski sudah menulis tesis.
Tak selesai di situ, usai kuliah pun, tidak ada kantor yang mau menerimanya karena namanya kadung dicap jelek sejak masih mahasiswa. Julukan gadis pemberontak dan kaum kiri, tersemat dalam dirinya. Apes.
Invasi Jerman dan Pergerakan Irena
Setelah invasi Jerman ke Polandia pada akhir tahun 1939, kondisi orang Yahudi di negeri tersebut semakin kacau. Ketimpangan dan perlakuan semena-mena semakin terasa, terutama di Warsawa, salah satu kota dengan penduduk Yahudi terbanyak di negara tersebut.
Seolah tidak ingin terkontaminasi dengan orang-orang Yahudi, pemerintah membangun Warsaw Ghetto. Mereka mendirikan dinding di sekeliling pemukiman Warsaw yang menjadi tempat tinggal banyak orang Yahudi.
Mereka seperti dikurung. Dibatasi mobilitasnya, pasokan makan dan air, bahkan dibiarkan sakit, kelaparan, dan mati begitu saja. Kaum Yahudi memang seolah ingin dilenyapkan sepenuhnya tanpa tersisa.
Tidak ingin berdiam diri begitu saja, Irena yang bergabung ke dalam Partai Sosialis Polandia perlahan mulai bergerak untuk menolong orang-orang malang ini. Bersama kawan-kawannya di Partai Sosialis Polandia, mereka membantu merawat tentara Polandia yang terluka dan sakit.
Dari sinilah, tercetus sebuah gagasan untuk lebih konkret menolong kaum Yahudi di tanah Polandia. Dia mulai memalsukan dokumen-dokumen medis, supaya dapat membantu orang-orang miskin dan kaum Yahudi yang membutuhkan pertolongan.
Beruntung, tindakan ilegalnya ini tidak diketahui atasannya. Sebab banyak temannya di divisi serupa yang turut merasa prihatin dan membantu. Dari sini, tindak tanduk Irena semakin membara.
Akibat banyaknya karyawan di departemen kesejahteraan sosial dipecat karena mereka Yahudi, Irena direkrut sebagai penggantinya. Pekerjaan barunya ini, dia manfaatkan sebaik mungkin.
Dia memiliki akses spesial untuk keluar masuk Warsaw Ghetto guna mengetahui apakah ada tanda-tanda penyakit tifus, penyakit yang saat itu banyak ditakuti oleh banyak orang.
Berdalih untuk menginspeksi kebersihan di Ghetto, Irena diam-diam membawa obat-obatan, pakaian bersih, makanan, dan barang-barang lain yang sekiranya dibutuhkan oleh orang-orang di sana.
Membawa Kabur
Sialnya, mimpi buruk tiba-tiba hadir ketika Irena mendengar, orang-orang di Warsaw Ghetto akan dipindahkan ke Treblinka. Akan ada pembunuhan massal.
Dengan cepat, dia mencari siasat untuk menyelamatkan orang-orang itu. Sebuah pemikiran untuk menyelamatkan anak-anak terlebih dahulu pun muncul. Pasalnya, anak-anak lebih mudah diselundupkan ketimbang orang dewasa.
Namun masalahanya, ke mana anak-anak ini akan tinggal setelah berhasil keluar dari Ghetto? Lalu, apakah orang tua mereka mau melepaskan anak mereka begitu saja pada orang asing yang tidak dikenal?
Irena pun membujuk teman-temannya mengenai idenya ini di partai. Kebanyakan mendukung, toh, daripada anak-anak ini menjadi korban kebengisan tentara Nazi.
Beberapa bersedia menjadikan rumahnya sebagai tempat penampungan. Beberapa lainnya bersedia membantu memalsukan dokumen anak-anak yang berhasil dilarikan keluar dan mencari orang tua dan 'rumah' penampungan.
Irena yang bertugas keluar-masuk Ghetto, mengetuk pintu demi pintu rumah di sana, meminta setiap orang tua menyerahkan anak mereka padanya supaya bisa diselamatkan dan dibawa keluar dari tempat tersebut.
Tak semulus rencana, banyak yang menolak karena takut, panik, dan khawatir akan keselamatan anak-anak mereka. Mereka juga tidak yakin dengan orang asing yang akan membawa anak mereka pergi.
Untungnya, beberapa orang di sana ada yang mengenal Irena. Berkat bujukan yang meyakinkan, mereka mau memberikan anak mereka pada Irena untuk dibawa pergi dari Warsaw Ghetto, supaya bisa terus melanjutkan hidup mereka.
Anak-anak ini diberi obat bius agar lebih mudah diangkut dan diselundupkan keluar, terutama bayi-bayi dan balita yang kerap menangis.
Entah dimasukkan ke dalam tas atau dikatakan 'sudah mati', siasat Irena untuk membawa anak-anak itu keluar dari 'tempat kematian' berhasil. Anak-anak tersebut dibawa ke tempat penampungan, dibuatkan identitas baru untuk menutupi nama dan identitas Yahudi mereka.
Agar tidak lupa asal usul mereka, Irena mencatat nama baru dan lama anak-anak itu di secarik kertas. Kertas tersebut kemudian dimasukkan ke dalam sebuah toples kaca bening dan dia kubur di dalam tanah.
Tercatat, ada 2.500 nama yang dikubur. Tujuannya supaya ketika situasi sudah damai dan reda, dia bisa memberikan identitas Yahudi anak-anak tersebut kembali, agar mereka tidak pernah melupakan asal usulnya dan bertemu kembali dengan keluarganya yang tersisa.
Tertangkap dan Nasib
Tragis, aksi Irena ketahuan oleh pihak Gestapo. Dia ditangkap pada 1943. Aksinya dibeberkan oleh seorang informan yang tidak diketahui nama dan keberadaannya.
Irena disiksa, dipukul selama beberapa hari. Salah satu kakinya patah. Dia diminta untuk memberitahu di mana keberadaan anak-anak yang berhasil keluar dari Ghetto. Namun, dia menolak.
Dia juga menutup mulutnya rapat-rapat ketika ditanya siapa saja yang berpartisipasi dalam aksinya itu. Sesuai dengan hukum yang berlaku, Irena harus dieksekusi. Kematian telah menjadi takdirnya.
Untungnya, sebuah kelompok bernama Zegota berhasil menyelamatkan Irena sebelum ajal merenggutnya. Namanya sengaja dimasukkan ke dalam daftar orang yang telah ditembak oleh Gestapo. Untuk keselamatannya, Irena pun menghabiskan seluruh waktunya untuk bersembunyi sampai perang reda.
Setelah perang berakhir, Irena melacak anak-anak yang diselamatkannya. Dia juga mempertemukan kembali anak-anak tersebut pada keluarganya yang masih tersisa, meskipun kebanyakan di antara mereka sudah tidak memiliki keluarga lagi, betapa tidak, hanya 1% dari orang-orang Yahudi ini yang selamat di Warsaw Ghetto.
Kandati begitu dramatis, sayangnya, aksi heroik Irena tidak banyak mendapatkan apresiasi yang cukup. Komunis di Polandia justru mencap Irena sebagai tokoh kejahatan, sekalipun banyak menyelamatkan banyak nyawa di kalangan Yahudi.
Kisahnya baru mulai terdengar di dunia berkat tiga anak sekolahan yang mencari sosok inspiratif untuk tugas sekolah mereka. Kisah Irena pun menggugah banyak orang hingga akhirnya mendapatkan nominasi untuk penghargaan bergengsi, Nobel, pada 2007.
Meskipun akhirnya nobel tak diraihnya, cerita Irena menyelamatkan nyawa 2.500 anak-anak akan terus tercatat dengan tinta emas.