24 Maret 2025
18:20 WIB
IDAI: Jangan Beri Anak Makanan Tinggi Gula Saat Mudik
Piprim menyoroti orang tua seringkali memilih camilan kemasan sebagai bekal anak di perjalanan. Kebiasaan itu disayangkan dapat berpengaruh terhadap imunitas anak
Ilustrasi tangan seorang anak meraih permen dok. Antara/ Pixabay
JAKARTA - Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) mengingatkan orang tua untuk tidak memberi anak makanan yang mengandung kadar gula tinggi dan karbohidrat cepat serap. Pasalnya, hal tersebut dapat memengaruhi kondisi kesehatan saat perjalanan mudik.
"Seperti yang kita tahu perjalanan mudik seringkali membuat orang tua lebih permisif terhadap makanan anak, termasuk memberikan camilan manis dan minuman tinggi gula agar anak anteng," kata Ketua Umum IDAI Piprim Basarah Yanuarso seperti dilansir Antara, di Jakarta, Senin (24/3).
Piprim menyoroti orang tua seringkali memilih camilan kemasan sebagai bekal anak di perjalanan. Kebiasaan itu disayangkan dapat berpengaruh terhadap imunitas anak.
Pasalnya, konsumsi gula yang berlebihan dapat menurunkan imunitas anak selama perjalanan karena fungsi sel imun (neutrofil) dapat menurun hingga 40% dalam beberapa jam setelah konsumsi gula. Jenis makanan lain yang turut dijadikan bekal biasanya berupa roti tawar putih, biskuit dan nasi putih dalam porsi yang berlebihan.
Semua makanan tersebut mengandung karbohidrat cepat serap yang dapat meningkatkan kadar gula darah yang akan menurunkan daya tahan tubuh anak dan memicu gangguan pencernaan serta perilaku hiperaktif.
"Kalau kadar gula darah tinggi, itu akan memicu lonjakan energi sesaat, kemudian anak akan cepat lapar lagi akhirnya nanti jadi tantrum dan rewel. Jadi intinya, camilan kemasan tinggi gula dan karbohidrat olahan bisa memicu sindrom metabolik sejak dini jika dikonsumsi terus-menerus," katanya.
Piprim menyarankan, orang tua yang ingin membawakan anaknya bekal selama perjalanan untuk memilih makanan yang mengandung banyak protein hewani seperti telur, ayam, ikan dan daging.
Orang tua dapat mengolahnya menjadi bekal makanan sehat yang bergizi dan awet dibawa selama perjalanan. Contohnya seperti telur rebus, ikan goreng atau daging rendang. Protein hewani juga dapat diolah menjadi masakan tradisional berupa lemper atau arem-arem yang mudah dimakan dan disukai anak-anak.
Piprim menjelaskan, bekal makanan yang mengandung protein hewani itu lebih baik karena membantu menstabilkan kadar gula dalam darah, memperbaiki jaringan tubuh dan memperkuat sistem imun anak hingga dapat memberikan rasa kenyang yang lebih lama di perjalanan.
"Jadi mohon pastikan hindari jajanan sembarangan, jangan mengonsumsi banyak gula dan lebih baik bawa makanan sehat dari rumah," ucap Piprim.
Lindungi Anak
Sementara itu, Dokter spesialis anak Dian Rosita Devy menyampaikan, terapi pencegahan tuberkulosis atau TPT efektif untuk melindungi anak yang berisiko tertular penyakit tuberkulosis (TB) dari penderita TB aktif di sekitarnya.
"Bentuk perlindungan mencegah terjadinya TB aktif atau sakit TB, terutama diberikan pada anak yang kontak erat dengan pasien TB paru tapi belum sakit TB aktif," kata dr. Dian Rosita Devy, Sp.A dari RSUD Tanjung Priok dalam webinar untuk memperingati Hari Tuberkolisis Sedunia yang diikuti via daring pada Senin.
Tuberkulosis atau TB atau TBC adalah penyakit menular yang disebabkan oleh infeksi bakteri Mycobacterium tuberculosis. Penyakit yang dapat menyerang paru-paru, tulang belakang, kulit, otak, hingga kelenjar getah bening ini bisa menular melalui udara yang terkontaminasi bakteri dari percikan liur atau dahak penderita tuberkulosis aktif saat bersin atau batuk.
Satu penderita tuberkulosis aktif dapat menularkan penyakitnya kepada 10 hingga 14 orang di sekitarnya, terutama yang tinggal di dalam satu rumah. Oleh karena itu, upaya pencegahan penyakit perlu dilakukan pada orang dalam kelompok rentan seperti anak-anak yang berisiko tertular tuberkulosis dari penderita tuberkulosis aktif di lingkungan sekitarnya.
Dokter Dian menyampaikan, anak yang terserang penyakit tuberkulosis tidak menunjukkan gejala spesifik seperti penderita TB dewasa. "Tidak semua anak kena TB sakit, tapi tanpa TPT risiko TB aktifnya besar. Jadi, kalau anak terinfeksi TB akan berisiko jadi TB aktif," katanya.
Menurut dia, anak yang terinfeksi bakteri penyebab tuberkulosis dapat mengalami demam-demam yang berlangsung lama dan berat badannya tidak naik-naik. Namun, ada pula anak yang terinfeksi dan tidak menunjukkan gejala sakit.
Oleh karena itu, dokter Dian melanjutkan, TPT sebaiknya dilakukan pada anak yang berisiko tertular TB dari orang di sekitarnya supaya tidak sampai sakit. Ia menyampaikan, TPT mencakup pemberian obat seminggu sekali selama tiga atau enam bulan. Layanan TPT tersedia di fasilitas pelayanan kesehatan seperti puskesmas.
Menurut dia, TPT aman dilakukan pada anak selama dosis obatnya tepat dan disertai kontrol rutin untuk memantau kemungkinan adanya efek samping obat.
"Orang tua kadang juga takut efek samping obat, kalau obat ada efek samping. Selama pemberian (obat) sesuai dosis dan kontrol sesuai waktunya insya Allah aman. Ini sebagai pencegahan agar tidak menjadi sakit dan agar sembuh," ia menjelaskan.
Di samping itu, guna meminimalkan risiko penularan tuberkulosis pada anak, penderita TB sebaiknya taat minum obat sampai sembuh, memakai masker saat berada di sekitar anak, dan menerapkan etika batuk dan bersin.
Ketika merasa ingin bersin atau batuk, penderita TB sebaiknya segera mengambil tisu atau sapu tangan untuk menutup hidung dan mulut. Apabila tidak membawa tisu atau sapu tangan, maka sebaiknya menutup hidung dan mulut menggunakan lengan atas, bukan telapak tangan, lalu membersihkannya menggunakan sabun dan air mengalir atau penyanitasi tangan berbahan alkohol.