20 Oktober 2025
13:31 WIB
Hujan Bersihkan Udara Tapi Tak Hapus Polusi
Saat hujan, udara pasti terasa lebih segar. Tapi faktanya hujan tidak akan bisa menhapus polusi yang ada.
Penulis: Annisa Nur Jannah
Editor: Satrio Wicaksono
Ilustrasi tangan menadah air hujan. Foto: Freepik.
JAKARTA - Menjelang akhir tahun, langit di berbagai daerah Indonesia kerap diselimuti awan kelabu. Cuaca terasa tidak menentu, terkadang pagi yang terik bisa berganti hujan deras di sore hari.
Rintik hujan yang turun sesaat sering memberi kesan udara menjadi lebih segar dan bersih. Namun di balik itu, pertanyaan pun muncul, benarkah hujan mampu menghapus polusi, terutama partikel halus PM2.5 yang belakangan kerap mencemari udara kota-kota besar?
Research & Collaboration Manager NAFAS Foundation, Dinda Shabrina menjelaskan, PM2.5 adalah singkatan dari Particulate Matter berukuran kurang dari 2,5 mikrometer, 36 kali lebih kecil dari diameter sebutir pasir. Ukurannya yang mikroskopis membuatnya mudah terhirup dan menembus hingga ke aliran darah manusia.
Berdasarkan laporan Nafas Buka Data pada Mei-Juni 2025, rata-rata konsentrasi bulanan PM2.5 di Indonesia pada Juni 2025 mencapai 32,3 mikrogram per meter kubik. Angka ini enam kali lipat di atas batas aman WHO, yakni 5 mikrogram per meter kubik dan lebih dari dua kali ambang batas nasional 15 mikrogram per meter kubik.
Artinya, meski hujan sering turun, kadar polusi udara di banyak kota masih tergolong tinggi. Dinda menerangkan bahwa secara ilmiah, hujan memang dapat membantu menurunkan kadar polusi udara sementara.
"Tetesan air hujan dapat menangkap partikel polutan yang melayang di udara dan membawanya turun ke permukaan tanah. Itulah sebabnya udara terasa lebih sejuk dan bersih setelah hujan," ujar Dinda di Jakarta.
Namun, seperti dijelaskan Dinda Shabrina, efek ini bersifat sementara dan tidak menghapus sumber polusinya. "Sebenarnya, selama masih ada sumber polusi, polusi udara akan tetap ada. Hujan dan angin perannya hanya sebagai medium bukan solusi permanen," ujarnya.
Ia menuturkan, ada dua tipe utama sumber polusi yakni hiperlokal dan lintas batas. Sumber hiperlokal adalah polusi yang berasal dari sekitar tempat tinggal, misalnya pembakaran sampah di halaman rumah atau asap rokok di ruang tertutup.
Sedangkan polusi lintas batas bisa berasal dari daerah lain, seperti asap pembakaran lahan yang terbawa angin ke wilayah berbeda.
"Polusi udara hanya berpindah tempat. Pertama naik ke awan, lalu bisa menjadi bibit hujan. Setelah hujan turun, partikel itu jatuh ke tanah, mencemari air, tanaman, bahkan menempel di pakaian atau kembali terhirup oleh manusia," jelas Dinda.
Sementara itu, ketika hujan turun, udara memang terlihat berkabut atau seperti berembun. Akan tetapi, kondisi itu tidak selalu berarti udara bersih. Kabut justru bisa menunjukkan adanya banyak partikel air yang membawa polutan di dalamnya.
"Jadi, saat terlihat hujan berkabut, bisa jadi sebagian besar partikel PM2.5 masih berada di sekitar kita tapi hanya berpindah dari udara ke permukaan lain," terangnya.
Oleh karena itu, hujan tetap memiliki peran penting dalam siklus alam untuk menekan polusi udara sementara. Namun, tanpa pengendalian sumber emisi baik dari kendaraan, industri, maupun pembakaran sampah rumah tangga partikel mikro seperti PM2.5 akan terus kembali ke udara.
“Yang perlu kita pahami, udara bersih bukan datang karena hujan, tapi karena sumber polusinya dikendalikan," pungkasnya.