31 Januari 2023
21:00 WIB
Penulis: Annisa Nur Jannah
Editor: Rendi Widodo
JAKARTA - Belakangan ini thrifting atau berburu baju bekas menjadi tren yang fokus pada isu harga murah dan potensi mendapatkan pakaian high end.
Thrift sendiri merupakan kata yang berasal dari bahasa Inggris, jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia yakni ‘hemat’. Sementara thrifting adalah kegiatan berbelanja barang-barang bekas pakai demi mendapatkan harga yang lebih murah atau barang yang tidak biasa ada di pasar.
Meski pada dasarnya thrifting berarti membeli barang-barang bekas, bukan berarti kualitas barang yang dijual sudah tidak bagus.
Barang-barang yang dijual dalam thrift harus dalam kondisi dan kualitas yang baik. Bahkan, beberapa barang yang dijual di thrift adalah barang-barang unik dan langka.
Beberapa barang yang biasa dijual di thrift, yakni pakaian, tas, jam tangan, sepatu, buku, perhiasan, hingga alat-alat rumah tangga.
Baca juga: Tren Thrifting, Berapa Besar Pasar Baju Bekas Global?
Thrifting dilarang pemerintah
Mengacu pada data badan pusat statistik (BPS), volume dan nilai impor pakaian bekas ke Indonesia relatif meningkat setiap tahunnya hingga memuncak pada 2019.
Pada tahun itu, impor pakaian bekas mencapai 392 ton dengan nilai US$6,08 juta. Sementara itu, pada 2021 BPS mencatat impor pakaian bekas Indonesia menurun dan hanya 8 ton dengan nilai US$44 ribu.
Menariknya, witu Trade Map mencatat negara sepanjang 2021 ada 27.420 ton baju bekas yang diimpor ke Indonesia dengan nilai US $31,95 juta.
Perbedaan angka tersebut yang akhirnya menimbulkan kecurigaan bahwa pakaian bekas tersebut masuk ke Indonesia secara ilegal.
Pemerintah sudah melarang keberadaan pakaian impor bekas masuk ke Indonesia. Larangan tersebut mengacu pada Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 4 Tahun 2022 tentang barang dilarang ekspor dan impor.
Selain itu, produk barang belas dikategorikan sebagai limbah mode dan dilarang untuk diimpor masuk karena terkait dengan aspek kesehatan, keselamatan, kemanan, dan lingkungan.
Baca juga: Tren Thrifting Dan Isu Krusial Di Seputarnya
Bahaya penyakit akibat pakai baju bekas
Berburu pakaian bekas juga diminati cukup besar oleh sebagian masyarakat berpenghasilan rendah dan bahkan menengah. Sayangnya, efek yang ditimbulkan setelah membeli pakaian bekas seperti tertular penyakit kulit masih menjadi isu yang tidak populer.
Dilansir dari laman Thehealtsite, dr. Apratim Goel yang merupaka dokter ahli bedah laser di Mumbai mengatakan, banyak infeksi yang menyebar saat Anda mencoba pakaian di toko mana pun. Terutama, karena Anda tidak tahu kondisi apa yang pernah atau dialami orang tersebut sebelumnya.
Mikroba dan jamur yang tertinggal di pakaian dapat memicu penyakit kulit, termasuk selulitis, melalui kontak kulit.
Beberapa komplikasi ini mungkin berbahaya dan bahkan tidak dapat disembuhkan. Penggunaan pakaian tersebut juga dapat menyebabkan penyakit virus termasuk kutil, herpes simplex, dan maloscum.
Faktor mikroba dan bakteri yang tersisa pada pakaian bekas terlalu resisten dan tidak dapat dihilangkan dengan pencucian biasa dan harus didesinfeksi melalui proses antiseptik yang tepat.
Pakaian yang bersentuhan langsung dengan kulit, termasuk pakaian dalam, memiliki risiko penularan penyakit yang lebih besar.
Selain bisa menimbulkan berbagai jenis penyakit kulit, membeli barang bekas juga merugikan negara. Maka dari itu, membeli produk lokal yang kualitasnya jauh lebih baik seharusnya selalu bisa menjadi jalan tengah.