c

Selamat

Sabtu, 15 November 2025

KULTURA

08 November 2023

20:45 WIB

Heldy Djafar, Tambatan Hati Terakhir Bung Karno

Menikah pada saat negeri diterpa prahara, kisah cinta istri terakhir Presiden Sukarno ini terpaksa pupus terhantam situasi politik.

Penulis: Annisa Nur Jannah

Editor: Satrio Wicaksono

Heldy Djafar, Tambatan Hati Terakhir Bung Karno
Heldy Djafar, Tambatan Hati Terakhir Bung Karno
Momen bersama Sukarno dan istri terakhirnya, Heldy Djafar. ist

JAKARTA - Heldy Djafar berjalan agak lamban. Kakinya sedikit gemetar, saat melangkah mendekati Presiden Sukarno yang memanggilnya. Berbalut kebaya hijau, sikapnya kikuk. Dia tampak bingung apa yang harus dilakukan di hadapan orang nomor satu di Indonesia.

Sekali lagi, hatinya merasakan getaran yang tak biasa. Telapak tangan kiri Heldy yang dingin, langsung digenggam erat oleh Bung Karno. Sementara di pinggangnya, melingkar tangan kanan sang presiden.

Tangan kanan Heldy pun diangkat Bung Karno dan diletakkan di pundaknya. Di hadapan banyak pasang mata dan sorotan lampu, keduanya menari lenso mengikuti irama.

Pemandangan ini seolah menjadi 'sajian' utama buat para tamu undangan VIP, di salah satu acara kenegaraan yang berlangsung di Istana Negara. 

Terdengar sahutan-sahutan riang di antara mereka berseloroh, "baju hijau siapa yang punya, baju hijau bapak yang punya".

Di tengah tarian, Bung Karno melontarkan sejumlah pertanyaan kepadanya. Sederhana memang, tapi mengundang pertanyaan dalam benak Heldy. Untuk apa seorang presiden menanyakan umurnya, yang sudah jelas terpaut jauh?

Sampai akhirnya, teka-teki yang belakangan menghantui dirinya mulai terpecahkan pada tanggal 12 Mei 1965. Kala itu, Bung Karno mampir untuk berkunjung tempat tinggalnya di Jalan Ciawi III Nomor 4, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Rumah itu adalah milik kakaknya, Erham, yang sudah berkeluarga.

Sebenarnya, pertemuan mereka saat menari lenso bukanlah yang pertama. Sebelumnya, sudah ada beberapa pertemuan antara Heldy dan Sang Proklamator. Heldy merupakan salah satu anggota Barisan Bhineka Tunggal Ika yang digagas oleh Bung Karno sendiri.

Anak-anak muda itu terseleksi dan bertugas untuk menjadi semacam 'pagar bagus dan pagar ayu' di setiap acara besar yang diselenggarakan di Istana Presiden. Mereka mewakili berbagai daerah di Indonesia.

Tentunya, orang-orang yang dipilih adalah mereka yang berprestasi, seperti Heldy. Saat itu dia masih duduk di bangku kelas 2 Sekolah Kepandaian dan Keputrian Atas (SKKA).

Memadu Kasih
Sebelum Sukarno bertandang ke tempat tinggalnya untuk pertama kalinya, sejumlah protokol istana lebih dulu tiba, mereka memberikan syarat agar lampu teras untuk dimatikan.

Layaknya seorang yang sedang bertamu, ada buah tangan yang dibawa Bung Karno. Tapi, bukan makanan atau bunga, melainkan sebuah jam tangan bermerek Rolex. 

Ya, Bung Karno memang pintar untuk mengambil hati perempuan. Dia ingin pertemuan ini benar-benar menjadi sesuatu yang istimewa.

Tak hanya sekali, 'apel' ini terjadi berulang kali sampai tiga bulan lamanya. Hati wanita mana yang tidak luluh dengan perhatian yang selalu diberikan seorang pria penting kepadanya? 

Semuanya seakan menjadi bukti nyata dari keseriusan dan tekadnya untuk membangun hubungan dengan Heldy.

Akhirnya, mereka resmi memadu kasih di bulan Agustus. Pasangan ini terbilang unik karena usia mereka terpaut cukup jauh, Heldy 18 tahun sementara Bung Karno saat itu jalan 65 tahun.

Meskipun usia Bung Karno sudah lebih dari setengah abad, pesona dan kharismanya berhasil membuat Heldy 'meleleh'. Heldy merasa bahwa Bung Karno bukan hanya seorang kekasih, melainkan juga sosok ayah yang menjadi panutannya.

Tidak heran jika ia memanggil Bung Karno dengan sapaan "Bapak", dan sang presiden membalasnya dengan memanggil Heldy "Dik".

Hari terus berganti. Getaran cinta yang dirasakan Heldy semakin dalam, apalagi saat tubuh mungilnya dibopong masuk ke dalam mobil. 

Kehangatan semakin terasa saat berada di pangkuannya, dengan penuh kasih lantas mencium pipi kanan, kiri, dan keningnya.

Mungkin inilah yang disebut dengan cinta, tak ada yang bisa menghalangi mereka. Seperti pasangan kekasih pada umumnya, mereka pergi bersama dan menikmati berbagai aktivitas bersama.

Keseriusan Sang Presiden untuk meminang remaja itu kemudian dibuktikan membelikan Heldy sebuah rumah di jalan Cibatu, Kebayoran Baru. Sebuah rumah mewah dengan ukuran 600 meter persegi. Di dalamnya ada empat kamar, yang salah satunya disediakan khusus untuk Bung Karno agar dia dapat beristirahat dengan nyaman.

Menikah Secara Sederhana
Suatu hari, jelang pukul 7 malam, Heldy diajak untuk ziarah ke makam ayahanda Bung Karno, Raden Soekemi Sosrodihardjo yang dimakamkan di Karet, Jakarta Pusat. Ini menjadi momen penting buat Soekarno. 

Dia meminta restu kepada almarhum untuk melangsungkan ke hubungan yang lebih serius; bahtera rumah tangga.

"Dik, aku sungguh-sungguh mencintaimu. Kau adalah cintaku yang terakhir, tapi tolong kau jangan mainkan perasaanku. Apakah Dik mau menjadi istriku? Kau tahu keadaan sedang begini," ungkap Bung Karno seperti yang tercatat dalam buku "Heldy: Cinta Terakhir Bung Karno".

Heldy, gadis yang sudah kadung dimabuk asmara dan amat mencintai Bung Karno, benar-benar tidak mempermasalahkan fakta bahwa kekasihnya itu sudah delapan kali menikah.

Heldy pun menerima pinangan Bung Karno beberapa hari sebelum Bung Karno merayakan ulang tahunnya yang ke-65. Pada tanggal 11 Juni 1966, gadis berusia 18 tahun itu resmi menjadi istri Bung Karno.

Pernikahan itu berlangsung setelah Bung Karno menerima tamu di Istana Negara, sekitar petang hari. Heldy telah menantikan calon suaminya sejak pagi, mengenakan pakaian kebaya yang rapi.

Sayang, meski dipinang oleh orang nomor satu di Indonesia, pernikahannya harus dilaksanakan secara sederhana. Bahkan, pernikahannya tidak dapat dihadiri oleh ayahnya. Restu hanya dilantunkan melalui doa.

Bukan tidak disetujui. Namun ayah Heldy, H. Djafar mendapat serangan jantung saat melakukan perjalanan ke Jakarta untuk menikahkan putrinya. 

Belum sampai di Jakarta, dadanya sakit dan dia dibawa kembali ke Tenggarong, hingga akhirnya meninggal dunia.

Pada malam pertama setelah resmi menikah, Heldy tersipu malu. Dia berusaha menghindari takdir untuk melayani sang suami. Namun, Bung Karno yang merupakan perayu ulung, berhasil membuat Heldy luluh di dalam pelukannya.

Heldy kemudian menjalani hari-harinya untuk melayani sang suami dengan penuh kasih, memasak untuknya dan bahkan memberinya pijatan setiap kali Bung Karno bermalam.

Pernikahan Seujung Kuku
Kehidupan romantis layaknya suami istri hanya dirasakan oleh Heldy selama dua bulan. Situasi politik semakin memburuk pada era 1966-1967. 

Heldy tidak lagi mendapatkan perlindungan dan perhatian yang besar dari suami. Bahkan, Bung Karno tidak bisa lagi tinggal di rumah kenangannya itu.

Sukarno harus tinggal di Cempedak, Polonia, rumah yang ditempati Yurike Sanger, istri ketujuhnya. Rumah itu dianggap layak untuk ditinggali oleh seorang presiden yang saat itu berada dalam pengawasan.

Meskipun Bung Karno tidak lagi tinggal bersama Heldy, ia selalu mengundangnya untuk datang ke Polonia dan bertemu dengannya. 

Setiap kali Heldy tiba, dia selalu membawa beberapa makanan kesukaan Bung Karno, termasuk klapertart. Tak lupa, Heldy selalu mengenakan busana kebaya dan menyusun sanggul dengan anggun, sesuai dengan selera Bung Karno.

Sayangnya, kehadiran Heldy justru memicu rasa cemburu dalam hati Yurike Sanger. Hal ini disebabkan oleh sikap Bung Karno yang kerap membedakan perlakuan hingga membandingkannya dengan Heldy.

Perasaan cemburu inilah yang akhirnya merenggangkan hubungan antara Heldy dan Bung Karno.

Tak hanya itu, Heldy pun kerap mendapat telepon yang meminta agar tidak datang ke rumah Polonia, dengan alasan harus memahami perasaan tuan rumah di sana. 

Meskipun beberapa kali Bung Karno memintanya untuk datang, Heldy memutuskan untuk tidak menginjakkan kakinya di rumah itu.
 
Rindu sepertinya sulit terbendung. Heldy nekat menyambangi rumah Polonia tanpa diundang suaminya. Dia meminta izin pada Yurike untuk masuk ke dalam kamar dan bertemu sang suami. Tak disangka, pertemuan itu justru penuh deraian air mata.

"Tolong doakan aku, sampai di mana pun keadaanku. Aku tidak ingin berpisah denganmu. Kau adalah cintaku yang terakhir, kecuali jika aku kembali kepada Yang Maha Kuasa, pasti ada seseorang yang selalu menyukai dirimu," bisik Sukarno pada Heldy dengan suara lirih.

Kemudian, pada suatu malam Heldy bersama seorang teman dari Kalimantan dan juga sopir pribadinya, sedang berjalan-jalan mengelilingi ibu kota. 

Mereka pun berpapasan dengan mobil milik Bung Karno yang melintas menuju Wisma Yaso tempat Ratna Sari Dewi.

Bung Karno dan Heldy pun melepas kangen di mobil yang ditumpangi presiden. Dan, itulah pertemuan terakhir antara keduanya. Saat Heldy keluar dari mobil, Bung Karno melambaikan tangannya sampai mobil wanita malang itu tidak terlihat lagi.

Labuhan Cinta Baru
Malam itu merupakan pertemuan terakhir Heldy dengan suaminya sang proklamator. Setelah setahun berlalu, Heldy memutuskan untuk menikah dengan Gusti Suriansyah Noor, putra kelima pangeran dari istana Kalimantan. 

Pernikahan tersebut berlangsung pada 19 Juni 1968, ketika Heldy berusia 21 tahun.

Hati Heldy yang hampa pun mulai terisi setiap harinya dengan benih cinta yang perlahan tumbuh. Heldy menjalani kehidupan rumah tangga dengan selayaknya.

Sayang, pada usia kehamilan yang besar, berita tentang kematian Bung Karno diumumkan melalui siaran radio pada 21 Juni 1970.

Atas saran sang suami, Heldy juga tidak bisa menemani Bung Karno hingga saat peristirahatan terakhirnya sebelum dikebumikan, karena saat itu dia tengah hamil besar. 

Heldy terpaksa hanya bisa menyaksikan prosesi pemakaman Bung Karno melalui siaran televisi.

Heldy hanya bisa mengenang betapa indahnya kisah cintanya yang pernah mereka bina, meskipun tidak panjang dan statusnya pernikahannya bukan karena bercerai, melainkan karena keadaan dan akhirnya cerai mati.

Jika saja dia tahu bahwa Bung Karno akan pergi selamanya, dia akan berusaha merawatnya hingga detik-detik terakhir. Namun, dia kembali mengingat bahwa keputusannya untuk menjauhi Bung Karno disebabkan oleh sulitnya berkomunikasi dalam situasi yang rumit kala itu.

"Mas, maafkan kesalahan saya. Mas yang tenang, saya baik-baik saja. Terima kasih untuk semua kenangan yang pernah Mas berikan pada saya, kenangan yang begitu manis, kenangan indah dalam hidup saya. Terima kasih Mas,” ungkap Heldy saat berziarah ke makam Bung Karno pada tahun 1972 sambil mengenang masa lalunya.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar