05 Maret 2025
20:34 WIB
Heinrich Harrer, Penjejak Pertama Puncak Carstensz Pyramid
Meski tim pendakian Harrer memiliki banyak pengalaman mendaki gunung bersalju di Eropa dan Himalaya, menjadi penjejak pertama puncak (summit) Carstensz Pyramid bukanlah hal yang mudah.
Penulis: Arief Tirtana
Editor: Rikando Somba, Rendi Widodo,
Heinrich Harrer. Wikimedia/Smokeonthewater
JAKARTA - Dua orang pendaki wanita asal Indonesia harus meregang nyawa akibat mengalami hypothermia dalam perjalanan turunnya setelah menggapai puncak gunung tertinggi di Tanah Air, Carstensz Pyramid (Puncak Jaya).
Mereka adalah Lilie Wijayanti Poegiono (59) dan Elsa Laksono (59), dua orang sahabat yang sebenarnya telah memiliki segudang pengalaman mendaki berbagai puncak gunung tinggi di Indonesia dan dunia. Keduanya memang bukanlah yang pertama mengalami nasib nahas hingga meninggal dalam ekspedisi menuju puncak tertinggi yang ada di kawasan pegunungan Jayawijaya tersebut. Namun, baik Lilie dan Elsa, semakin membuktikan bahwa butuh taruhan yang besar, hingga nyawa, untuk bisa menggapai puncak gunung dengan tinggi 4.884 mdpl itu.
Dalam sejarahnya pun, sejak pertama kali di lihat penampakan puncaknya dari jauh oleh seorang pelaut asal Belanda, Jan Carstenszoon (John Carstensz) pada tahun 1623. Baru ratusan tahun kemudian puncak gunung yang namanya diambil dari nama John Carstensz itu bisa digapai oleh sekelompok pendaki profesional. Itu pun sempat diwarnai oleh kegagalan lebih dulu, oleh sekelompok pendaki yang ditugaskan oleh Pemerintah Hindia Belanda saat itu.
Sejak John Carstensz melaporkan apa yang dilihatnya, bahwa ada gunung di daerah tropis dekat khatulistiwa dengan puncak yang dilapisi salju, tak ada yang percaya dengan apa yang dilaporkannya. Cerita John Carstensz tersebut bahkan menjadi olok-olokan di Eropa.
Sampai kemudian, beratus tahun kemudian, tepatnya pada awal tahun 1909, upaya pembuktian dilakukan oleh seorang penjelajah asal Belanda, Hendrik Albert Lorentz, yang dibantu dengan enam orang porter dari suku Dayak Kenyah asal Kalimantan, berhasil berhasil mencapai padang salju (gletser) di sekitar Carstensz Pyramid.
Namun, yang mereka gapai saat itu, bukanlah puncak Carstensz Pyramid. Mereka sampai ke puncak yang kini dikenal dengan nama Puncak Trikora, yang memiliki tinggi 4.730 mdpl, dan berlokasi 170 km (106 mil) di sebelah timur Carstensz Pyramid.
Meski tak mencapai Carstensz Pyramid, ekspedisi yang dilakukan Hendrik Albert Lorentz itu menjadi sesuatu yang penting, sebagai dasar dari didirikannya Taman Nasional Lorentz , oleh Pemerintah Hindia-Belanda pada tahun 1919, berdasarkan laporan hasil ekspedisinya.
Sejumlah ekspedisi sempat dilakukan beberapa kali lagi di kawasan pegunungan di Taman Nasional Lorentz tersebut. Namun, ekspedisi khusus dengan tujuan puncak tertinggi di kawasan itu, baru kemudian dilakukan oleh sekelompok pendaki yang disponsori oleh Royal Netherlands Geographical Society pada tahun 1936.
Pendakian itu dipimpin oleh Anton Colijn, dan diikuti oleh Jean Jacques Dozy dan Frits Wissel. Mereka berusaha menggapai tiga puncak yang ada di kawasan pegunungan Jayawijaya itu. Tujuan utamanya, ada dua puncak di sisi timur, yakni puncak Carstensz Pyramid dan puncak Ngga Pulu.
Awalnya mereka menuju puncak puncak Ngga Pulu, yang dianggap sebagai puncak tertinggi pada masanya. Namun, setibanya di puncak Ngga Pulu yang berketinggian 4.862 meter, Anton Colijn dan kawan-kawan mendapati, bahwa puncak Carstensz Pyramid yang berbatu, berposisi lebih tinggi dari puncak Ngga Pulu.
Awalnya, mereka mengira puncak Ngga Pulu yang diselimuti gletser salju, adalah yang tertinggi. Namun saat mereka mencapai puncaknya di tahun 1939 itu, gletser di wilayah tersebut telah menyusut secara signifikan. Akhirnya ini menyibak ketinggian asli gunung itu. Ternyata, puncak Ngga Pulu tidak lebih tinggi dari puncak Carstensz Pyramid.
Ekspedisi Penaklukan Puncak Carstensz Pyramid
Kondisi politik dan perang dunia yang terjadi di tahun 40-an, membuat upaya mencapai puncak Carstensz Pyramid tak pernah dilakukan lagi. Baru kemudian 16 tahun pasca Indonesia merdeka, sebuah ekspedisi dilakukan oleh peneliti asal Selandia Baru, Colin Putt. Tetapi karena masalah logistik, ekspedisi itu gagal begitu saja, sebelum bisa mencapai puncak yang dituju.
Setahun kemudian, petualang asal Austria, Heinrich Harrer tertarik untuk menggapai puncak tertinggi di pegunungan Jayawijaya itu.
Dengan pengalaman luar biasanya mendaki berbagai gunung di Eropa hingga pegunungan Himalaya, Heinrich Harrer yang saat itu berusia 49 tahun, membentuk sebuah tim yang terdiri dari pendaki asal Selandia Baru Philip Temple (22), pendaki tebing Australia Russell Kippax (30), dan petugas patroli Belanda Albertus Huizenga (25). Bersama mereka juga turut serta geolog Jean Jaques Dozy.
Ekspedisi mereka dimulai dari Jayapura, atau yang saat itu masih dikenal orang Eropa sebagai Hollandia. Dari situ mereka terbang ke Ilaga, sebuah distrik yang berada di sebelah timur piramida Carstensz.
Ekspedisi Heinrich Harrer yang juga dibantu oleh sejumlah penduduk lokal yang bertugas sebagai porter akhirnya dimulai pada tangga tanggal 2 Februari 1952. Di mana pada awal rute, mereka sudah harus mengikuti celah lebar di dinding batu kapur, yang memiliki tingkat kemiringan sekitar sepuluh derajat dari garis tegak lurus.
"Kami meninggalkan perkemahan pukul 5 pagi menggunakan lampu kepala dan obor untuk menerangi jalan kami melintasi Merendal, Middenkam, dan Geledal ke kaki sisi utara. Perasaan antisipasi dan kegembiraan apa pun dibanjiri oleh kekhawatiran. Apakah saya cukup baik untuk ini?," kenang Temple dalam sebuah wawancara pada tahun 2013, dinukil dari climbcarstensz.wordpress.com.
Dengan sedikit kemampuan panjat tebing teknis dan pengalaman mendaki pegunungan Alpen yang dipenuhi salju dan es, Temple sata itu memang ditugaskan Harrer untuk memandu jalan mereka. Lebih dari itu, Harrer juga mengatakan kepada Temple bahwa ia membutuhkan seseorang untuk membintangi filmnya. Film rekaman perjalanan ekspedisi tersebut, yang sampai saat ini tidak pernah disaksikan oleh Temple.
"Jadi saya mencoba untuk 'terlihat terampil dan heroik'. Saat saya terus mencari jalan di sepanjang salju, kerikil, dan lapisan batu di sisi selatan, menghindari puncak besar di punggung bukit barat yang kami beri nama 'Menara Kabut'," kata Temple.
Perjalanan berhari-hari dengan penuh rintangan melintasi pegunungan berbatu tersebut akhirnya berhasil membawa mereka menggapai puncak Ngga Pulu pada tanggal 11 Februari. Dua hari berselang, upaya menggapai Carstensz Pyramid akhirnya berhasil mereka selesaikan.
Tepat pada tanggal 13 Februari, sekitar pukul dua lewat sepuluh, mereka akhirnya berhasil menginjakkan kaki di puncak, menjadi orang pertama yang berhasil menaklukkan Carstensz Pyramid.
Diceritakan Temple, meski memiliki banyak pengalaman mendaki gunung bersalju di Eropa dan Himalaya, pendakian menuju puncak (summit) Carstensz Pyramid tersebut bukanlah hal yang mudah.
Dari titik awal summit, hingga menuju puncak, mereka harus memanjat gunung berbatu yang diselimuti kabut, salju dan es selama delapan terus-menerus. Mereka bukan hanya harus melawan medan berat, namun juga berkejaran dengan waktu dan energi yang terus terkuras. Apa lagi dengan informasi yang belum jelas saat itu, Temple mengakui bahwa masih ada keraguan diantara mereka, apakah Carstensz Pyramid yang mereka gapai saat itu, adalah benar puncak tertinggi di antara beberapa puncak yang ada di pegunungan tersebut.
"Punggung bukit terangkat dan menyempit menjadi puncak salju yang halus, tetapi ketika saya mencapai puncak ini, saya melihat ke balik ke puncak batu lainnya, yakin itu pasti lebih tinggi. Yang lain datang dan menertawakan kecemasan saya tentang mana puncak yang sebenarnya," tuturnya.
Dengan kondisi yang tidak memungkinkan untuk berlama-lama di puncak tersebut, Harrer, Temple dan rekan-rekannya, hanya sebentar berada di Carstensz Pyramid . Beruntung mereka sempat mengambil foto yang memamerkan semua bendera negara mereka masing-masing, yakni Austria, Australia, Selandia Baru, Belanda, dan juga bendera Papua Barat.
Dalam waktunya yang singkat itu, Harrer yang memiliki foto-foto yang diambil selama upaya sebelumnya menggapai Carstensz Pyramid di tahun 1936, menyadari fenomena bahwa gletser di kawasan tersebut terus mundur. Hilang sekitar 500 meter hingga 700 meter.
Heinrich Harrer
Hingga kini, Gunung Everest mungkin merupakan gunung tertinggi di dunia, tetapi dengan segala kesulitan di dalamnya, Carstensz Pyramid dinilai sebagai titik pendakian yang paling menantang di dunia. Sehingga masih kerap dijadikan tujuan utama pendakian para pendaki profesional dunia.
Tanpa mengecilkan peran anggota tim lainnya dalam ekspedisi pendakian tersebut, Heinrich Harrer-lah menjadi pembuka jalan menuju pendakian tersebut. Sebuah capaian monumental yang menjadi pelengkap banyak capaian hidupnya di dunia pendakian gunung, maupun petualangan alam secara luas.
Bertahun-tahun sebelum menjadi salah satu orang pertama yang berhasil menggapai puncak Carstensz Pyramid, Harrer bersama dengan temannya Fritz Kasparek dan pendaki gunung asal Jerman Ludwig Vörg dan Anderl Heckmair, menjadi orang pertama yang mencapai puncak Sisi Utara Eiger di Pegunungan Alpen Bernese yang terletak di Swiss bagian barat.
Keberhasilan Harrer saat itu menggapai puncak Eiger bahkan dilakukan saat pendakian gunung yang jalan menuju puncaknya hampir sepenuhnya vertikal, dilarang oleh pihak berwenang, setelah begitu banyak nyawa melayang saat mencoba mencapai puncak es tersebut.
Namun satu petualangan paling luar biasa yang diukir oleh Heinrich Harrer dan diketahui banyak orang, adalah kisahnya yang kemudian diadaptasi menjadi film Seven years in Tibet yang dibintangi oleh Brad Pitt.
Film tersebut mengisahkan kejadian nyata yang dialami oleh Heinrich Harrer, yang pada awalnya ingin mendaki puncak Gunung Nanga Parbat di Pakistan pada tahun 1939. Namun di tengah ekspedisinya, sata itu Perang Dunia Kedua tiba-tiba pecah, sehingga Harrer beserta timnya ditangkap oleh otoritas Inggris di daerah Dehradun, India Utara. Lokasi yang sebenarnya telah ia tinggali selama kurang lebih enam tahun dalam ekspedisinya di sekitar India itu.
Saat kemudian ditangkap, Harrer berhasil melarikan diri. Namun kemudian ia berhasil ditangkap lagi. Namun karena merasa tak melakukan kesalahan, ia tak menyerah begitu saja, kembali melarikan diri lagi dengan tujuan yang lebih jauh, menuju ke Utara melewati Himalaya menuju Tibet.
Seperti diceritakan dalam film Seven years in Tibet, tujuan awal Heinrich Harrer dalam pelariannya itu sebenarnya adalah Cina, wilayah yang saat itu diduduki Jepang, negara yang saat itu bersekutu dengan Jerman. Sehingga harapannya otoritas Jepang bisa menerimanya, dan memulangkannya ke Austria. Tetapi Harrer bersama rekannya Peter Aufschnaiter, saat itu memilih untuk mencoba lebih dulu masuk ke ibu kota Tibet, Lhasa. Kota yang saat itu tidak tidak boleh dimasuki oleh orang asing.
Mereka tiba di Lhasa pada tanggal 15 Januari 1946, dan tinggal di halaman rumah seorang warga kaya yang mau menerima mereka. Di istu Harrer dan Peter tinggal diam-diam demi menghindari aparat yang berjaga, dan sehari-hari Harrer bekerja sebagai tukang kebun.
Hari demi hari, keberadaan Harrer mulai diketahui lebih banyak warga setempat dan ia mulai bersosialisasi lebih luas. Sampai kemudian keberadaannya diketahui oleh Dalai Lama, yang saat itu masih berusia 10 tahun, namus sudah merupakan seorang pemimpin tertinggi di Tiber, dengan gelar raja dewa.
Saat itu sekitar tahun 1948, Dalai Lama saat itu melihat Harrer sedang mengajari orang Tibet bermain seluncur es, sehingga ia tertarik untuk mengetahui siapa Harrer sebenarnya. Bukan diusir, Dalai Lama yang memiliki minat luas kepada pengetahuan internasional, justru mengangkat Harrer menjadi pegawai pemerintah, dengan tanggung jawab tugas untuk menerjemahkan berita asing, fotografer istana, mengarahkan proyek pengendalian banjir, hingga membuat bioskop untuk Dalai Lama yang punya hobi menonton film.
Tujuh tahun di Tibet, Heinrich Harrer akhirnya harus kembali melanjutkan petualangannya, selah pasukan Cina menyerbu Tibet pada tahun 1951. Harrer menyeberang ke India melalui Sikkim, bersamaan juga dengan Dalai Lama yang turut melarikan diri lewat rute berbeda.
Harrer akhirnya kembali ke negaranya, Austria pada tahun 1952, di mana ia merekam semua perjalanannya itu menjadi buku Seven Years in Tibet (1952) dan Lost Lhasa (1953). Buku Seven Years in Tibet diterjemahkan ke dalam 53 bahasa, dan menjadi buku terlaris di Amerika Serikat pada tahun 1954, terjual tiga juta kopi.
Buku ini kemudian diadaptasi menjadi dua film dengan judul yang sama, yang pertama pada tahun 1956 dan yang kedua pada tahun 1997.