17 Desember 2021
18:48 WIB
Penulis: Gemma Fitri Purbaya
Editor: Satrio Wicaksono
JAKARTA - Ada banyak orang yang ingin memiliki ukuran penis yang besar. Alasannya, mulai dari meningkatkan kepercayaan diri, mengobati disfungsi seksual, memuaskan pasangan, hingga sebagai bagian dari tradisi budaya.
Salah satu cara yang dilakukan untuk memperbesar penis adalah dengan melakukan injeksi. Injeksi penis sendiri merupakan prosedur menyuntikkan bahan-bahan nonmedis ke dalam penis, dengan tujuan memperbesar ukuran penis itu sendiri.
Sayangnya, meskipun praktik ini sudah dilakukan lebih dari 100 tahun, sering kali injeksi penis dilakukan secara ilegal oleh tenaga non medis. Akibatnya, muncullah reaksi injeksi yang muncul setelah 1 sampai 2 tahun penyuntikan.
Di Indonesia sendiri, praktik injeksi penis banyak dijumpai di wilayah timur, seperti Kalimantan, Nusa Tenggara, Maluku dan Papua. Sebagian besar praktik ini dilakukan oleh tenaga non medis yang disebut 'dukun'. Sebuah penelitian yang dilakukan di Makassar pada 2017 menunjukkan, 86% pasien merasa tidak puas dengan hasil injeksi penis mereka.
Belum lagi, penelitian tersebut juga menemukan bahwa bahan-bahan yang digunakan dalam praktik injeksi penis, seperti parafin cair, minyak kasuari, minyak kemiri, minyak rambut, vaseline, dan silikon cair. Hal ini menyebabkan terjadinya Paraffinoma penis.
Paraffinoma penis merupakan kelainan bentuk penis yang timbul akibat adanya iritasi secara terus menerus akibat injeksi bahan non medis dalam jangka waktu lama. Paraffinoma memiliki nama lain, yaitu Silikonoma, Vaselinoma, dan Sclerosing lipogranuloma.
"Gejalanya itu penis merah, panas, bengkak, terdapat luka, perubahan bentuk penis, nyeri ketika berhubungan seksual, ada benjolan tidak nyeri yang teraba di sekitar batang penis, dan benjolan di buah zakar kalau bahan injeksi sudah menyebar ke sana," jelas Konsultan Trauma dan Rekonstruksi Urologi Eka Hospital Cibubur, dr. Gampo Alam Irdam SpU(K), dalam sebuah webinar beberapa waktu lalu.
Hal ini terjadi karena minyak atau bahan injeksi yang terkumpul di lapisan bawah kulit penis mengalir hingga ke skrotum. Setelah beberapa waktu, muncullah reaksi inflamasi karena tubuh mengenali bahan injeksi itu sebagai benda asing. Minyak di dalam lapisan kulit pun perlahan jadi mengeras dan menyebabkan kekakuan pada penis.
Jika sudah begitu, maka pasien perlu melakukan pembedahan. Biasanya pembedahan dilakukan minimal enam bulan setelah melakukan injeksi. Pembedahan dilakukan dengan membuang kulit penis yang mengalami peradangan dan ditutup kembali dengan kulit dari organ lain, semisal kulit paha.
"Pasien juga bisa menggunakan obat anti nyeri dan antibiotik. Namun, pemberian obat ini tidak menyembuhkan hanya untuk mengurangi komplikasi infeksi. Pasien tetap harus melakukan tindakan pembedahan," lanjut dr. Gampo.
Ia pun berpesan agar masyarakat untuk tidak melakukan tindakan apapun yang berhubungan dengan memperbesar ukuran penis. Sebab, tindakan tersebut lebih banyak menimbulkan kerugian dan dikhawatirkan mendatangkan komplikasi pada pasien di masa depan.
Selain itu, ukuran penis yang besar juga tidak berkaitan dengan kepuasan seksual seseorang. Sebuah penelitian yang dirilis pada "Psychology Men and Masculinities" pada 2008 menemukan bahwa 85% perempuan merasa puas dengan ukuran penis pasangan mereka dan ukuran penis tidak penting ketika dalam berhubungan seksual.