29 Desember 2021
08:13 WIB
Penulis: Andesta Herli Wijaya
Editor: Rendi Widodo
JAKARTA – November lalu, Jakarta secara resmi diumumkan sebagai Kota Sastra atau City of Literature oleh UNESCO. Penobatan itu disambut dengan antusias oleh Pemprov DKI Jakarta selaku pengusul, dengan mengetengahkan berbagai program melalui Komite Jakarta Kota Buku.
Di sisi lain, gelar ini juga disambut dengan gembira oleh kalangan sastrawan ataupun pemangku kepentingan di ekosistem tersebut. Para pegiat di ekosistem sastra Ibu Kota berharap gelar itu benar-benar bisa membangun iklim sastra serta kebudayaan secara luas.
Salah satunya seperti disampaikan oleh penyair, cerpenis sekaligus kritikus sastra Zen Hae. Ia membayangkan Jakarta bisa berkembang menjadi kota yang ramah terhadap pembaca buku. Menurutnya, inilah salah-satu hal yang harus diupayakan Jakarta, sejalan dengan gelar barunya.
Zen Hae menilai, saat ini iklim membaca di ruang publik Jakarta masih belum tumbuh dengan baik. Karena itu, ia mendorong, pertama-tama peran pemerintah untuk mengembangkan ruang-ruang publik yang bisa memberikan kenyamanan kepada publik untuk membaca.
“Kursi-kursi taman misalnya, bukan dikuasai orang membaca buku tapi pedagang kaki lama. Jadi kondisi orang yang membaca nyaman dan rileks itu mestinya menjadi pemandangan kota yang menyeluruh,” ungkap Zen Hae dalam sesi diskusi ‘Jakarta sebagai UNESCO City of Literature: Bagaimana Pemangku Kepentingan Sastra Menyambutnya’ digelar daring, Senin (27/12).
Zen Hae juga mendorong penguatan budaya membaca, dimulai dari lingkup keluarga, dimulai sejak usia dini. Dengan begitu, anak-anak di masa depan akan tumbuh dengan memori terkait aktivitas membaca, sehingga akan mendorong mereka untuk terus membaca.
Fokus pada sastra
Lain halnya Manneke Budiman, Guru Besar Ilmu Susastra dari Universitas Indonesia. Ia memberi catatan khusus soal orientasi Jakarta ke depan setelah dinobatkan sebagai Kota Sastra. Menurutnya, Jakarta harus memiliki fokus pemajuan yang jelas, yaitu di lingkup sastra, bukannya ke lingkup perbukuan atau literasi secara luas.
Manneke merespon ragam gagasan yang disampaikan sebelumnya oleh Komite Jakarta Kota Buku, dalam forum diskusi, Senin. Dalam paparan itu, Komite Jakarta Kota Buku menyusun berbagai rencana program, misalnya aktivasi taman buku, pemanfaatan ruang publik untuk promosi buku, hingga menjadi tuan rumah kongres penerbit dunia pada tahun 2022.
Menurut Manneke, berbagai program tersebut lebih menjurus kepada pengembangan ekosistem buku dan literasi secara umum, tinimbang sastra.
“Saya menerjemahkan City of Literature itu sebagai Kota Sastra karena itu adalah yang paling realistis. Bahwa UNESCO memakai ‘City of Literature’ itu saya kira maksudnya sudah jelas,’ kata Manneke.
Sorotan Manneke beralasan karena Jakarta sejatinya sudah memiliki modal besar untuk berkembang menjadi kota yang maju. Modal besar itu dilihat dari sejarah Jakarta yang telah menjadi tempat tumbuhnya penerbit-penerbit buku, lahir dan tumbuhnya kaum sastrawan berpengaruh, hingga menjadi tempat berbagai peristiwa penting dalam arena sastra dan kebudayaan Indonesia.
Begitu pula, Jakarta punya banyak ‘warisan’ dari ranah sastra, seperti keberadaan makam-makam para sastrawan besar di Ibu Kota. Asal tahu saja, di Jakarta-lah, orang-orang hebat seperti Chairil Anwar, Hamka, Pramoedya Ananta Toer hingga Sanusi Pane dipusarakan.
“Percaya atau tidak ini bisa jadi bagian dari program pariwisata tersendiri,” kata Manneke sembari merujuk sejumlah kota di luar negeri yang memanfaatkan makam sastrawan sebagai penarik wisatawan.
Mengedepankan kualitas daripada kuantitas
Atensi lainnya datang dari anggota Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta, Avianti Armand, yang tidak mempermasalahkan besar atau kecilnya cakupan program Jakarta Kota Sastra, sebagaimana dipermasalahkan Menneke. Baginya, keduanya dapat diterima sejauh diupayakan dengan serius serta dengan melibatkan seluruh kalangan sastra dan masyarakat.
Avianti memiliki perhatian lebih spesifik pada hal lain. Yakni meminta agar pelaksana program Jakarta Kota Sastra nantinya tidak terjebak pada program-program pengembangan dengan tolak ukur hanya kuantitas—masalah klasik
Misalnya di ranah penerbitan. Jakarta memiliki banyak sekali penerbit, baik yang berskala besar ataupun kecil, keberadaanya beragam. Di antara banyak penerbit itu, ada yang menerbitkan buku-buku dengan kualitas yang terkurasi, namun banyak pula yang menerbitkan buku-buku “jelek” yang tidak mencerdaskan. Ada banyak penerbit, menurut Avianti, menerbitkan buku yang tak bisa dipertanggungjawabkan baik sebagai produk kreatif maupun produk ilmiah.
“Dalam hal keragaman memang betul, kita tidak usah khawatir, tapi saya berharap kita punya bobot yang lebih tinggi pada kualitas ketimbang keragaman dan kuantitas,” kata Avianti.
Terlepas dari itu, Avianti memandang penobatan gelar Jakarta tersebut pada akhirnya adalah sebuah janji dari Pemprov DKI Jakarta. Janji itu yakni komitmen kuat untuk memajukan dan mendukung ekosistem sastra secara serius, tanpa basa-basi.
“Rasanya tidak salah kalau kita menyimpulkan bahwa gelar tersebut adalah janji dari Pemprov untuk mendukung program-program sastra, dan yang terkait dengan sastra. Seperti dendam, janji harus dibayar tuntas,” pungkasnya.