c

Selamat

Senin, 17 November 2025

KULTURA

16 Oktober 2024

21:00 WIB

Han Kang, Menggapai Nobel Lewat Sisi Terkelam Manusia

Selebrasi atas prestasi pun ditolak Han. Dunia yang kelam dan perang dimana-mana membuatnya merasa tak pantas melakukannya

Penulis: Gemma Fitri Purbaya

Editor: Rendi Widodo

<p id="isPasted">Han Kang, Menggapai Nobel Lewat Sisi Terkelam Manusia</p>
<p id="isPasted">Han Kang, Menggapai Nobel Lewat Sisi Terkelam Manusia</p>

Han Kang, penulis asal Korea Selatan, meraih penghargaan Nobel Sastra 2024. Namun, ia menolak merayakan kemenangannya karena merasa banyak tragedi kemanusiaan yang masih terjadi di dunia saat ini. Dok han-kang.net/dok 

JAKARTA - Sebuah panggilan telepon berbunyi di telepon selular wanita berusia 53 tahun yang baru saja selesai makan malam dengan anak laki-lakinya di sebuah rumah. Wanita itu, Han Kang, segera mengangkat panggilan tersebut. Di seberang sana, si penelepon mengaku bernama Jenny Ryden. Dia memperkenalkan diri sebagai salah seorang perwakilan penghargaan bergengsi Nobel yang berkantor pusat di Stockholm, Swedia,

Dengan nada sukacita, Jenny mengucapkan selamat pada Han Kang yang tahun ini mendapatkan penghargaan bergengsi tersebut untuk kategori Sastra.

Han Kang tersenyum sembari menyampaikan ucapan terima kasih. Dia dan keluarganya mengaku terkejut memperoleh penghargaan Nobel, pasalnya hal itu sama sekali tidak pernah terbayang sebelumnya. Apalagi, dengan pencapaian ini dia menjadi orang pertama dan satu-satunya dari Korea Selatan yang meraih penghargaan itu untuk kategori sastra.

"Saya tumbuh dengan buku, sejak masa kanak-kanak, saya tumbuh dengan buku-buku Korea dan buku terjemahan. Jadi saya bisa dibilang tumbuh dengan literatur Korea. Saya harap kabar ini bagus untuk pembaca literatur Korea dan teman-teman saya, para pembaca," kata Han Kang dalam panggilan teleponnya, dikutip dalam laman resmi Nobel.

Kemenangannya ini berarti banyak. Bukan hanya untuk dirinya sebagai seorang penulis dan warga negara Korea Selatan, tetapi juga menjadi platform baginya untuk bersuara dan menyampaikan apa yang ada dipikirannya. Alih-alih mengadakan konferensi pers seperti pada umumnya, Han Kang menolak untuk mengadakannya ataupun merayakan kemenangannya itu.

Melalui ayahnya yang juga seorang penulis, Han Seung-won mengatakan bahwa Han Kang tidak mau ada perayaan penghargaan Nobel yang diraihnya ataupun konferensi pers atas prestasi itu. Saat ini banyak tragedi mengerikan di dunia yang masih terus terjadi, seperti perang antara Ukraina dan Rusia, maupun konflik Israel dan Palestina. Hal ini melatarbelakangi penolakannya melakukan selebrasi.

"Han Kang mengatakan pada saya, 'dengan perang yang terus berkecamuk dan orang-orang yang terus meninggal setiap harinya, bagaimana mungkin kita merayakannya ataupun mengadakan konferensi pers?' Jadi, dia tidak akan mengadakan konferensi pers," kata Seung-won dikutip dari Korean Times.

Sang ayah sempat membujuk putrinya ini agar melakukan perayaan kecil-kecilan, tetapi Han Kang terus menolak. Menurutnya, penghargaan yang diraihnya ini bukan sesuatu yang patut dirayakan ketika mereka menyaksikan perang terus berlangsung di depan mata mereka. 

Penghargaan yang diberikan pun tidak seharusnya mereka nikmati, tetapi seharusnya membuat orang-orang membuka mata mereka atas apa yang tengah terjadi.

Hal tersebut membuat orang-orang semakin takjub dan mengagumi penulis Korea Selatan tersebut. Bagaimana Han Kang bisa mendapatkan penghargaan Nobel?

Han Kang dan The Vegetarian
Han Kang lahir di Gwangju, Korea Selatan pada tanggal 27 November 1970. Dia dan keluarganya pindah ke Seoul saat baru menginjak usia 9 tahun, beberapa bulan sebelum terjadinya pemberontakan di Gwangju atau sebuah pemberontakan melawan pemerintahan militer Korea Selatan yang berlangsung di sana pada bulan Mei 1980.

Tinggal di Seoul, ayahnya bekerja sebagai guru dan penulis novel sehingga membuat Han Kang tumbuh bersama buku dan memiliki ketertarikan pada buku-buku itu.

Di usia 12 tahun, Han Kang menemukan sebuah album foto yang disembunyikan di rak buku oleh keluarganya. Album foto itu dipotret oleh jurnalis foto asing yang letaknya sangat tersembunyi, sampai Han Kang dan saudara laki-lakinya kesulitan mengambilnya.

Namun rupanya, ada alasan khusus kenapa album foto tersebut disembunyikan. Foto-foto yang ada di sana memberikan trauma mendalam padanya. Salah satunya foto yang memperlihatkan wajah wanita yang dimutilasi.

Wajah dan foto-foto mengerikan itu terus membayangi Han Kang. Dia pun membicarakannya dengan orang tua dan keluarganya dan mereka mulai menjelaskan pada Han Kang apa makna foto-foto tersebut dan insiden yang terjadi di baliknya.

Di usia 14 tahun, Han Kang pun memutuskan untuk menjadi seorang penulis. Dia ingin menceritakan kisah apa yang dilihatnya, apa yang dirasakannya pada orang lain. Termasuk bayang-bayang mengerikan yang menghantuinya dari album foto yang dia lihat.

Karier menjadi penulis dimulainya pada tahun 1993, langsung dengan menghasilkan beberapa cerita pendek.

Cerita pendeknya itu membuatnya mendapatkan banyak penghargaan, tetapi dia masih merasa ada banyak yang kurang. Dia merasa ceritanya 'kurang manusia'. Sampai akhirnya dia mulai menulis sebuah novel berjudul The Vegetarian pada 2007.

Novel tersebut menceritakan seorang wanita bernama Yeong-hye yang tiba-tiba memutuskan untuk mengadopsi gaya hidup sebagai seorang vegetarian dan mengubah hidupnya secara drastis dengan orang-orang yang ada di sekitarnya.

Novel tersebut langsung meraih kesuksesan yang cukup besar karena menghadirkan kisah yang 'aneh', unik, menarik dan memiliki makna yang cukup kuat. Novelnya bahkan dilirik oleh penerjemah asal Inggris, Deborah Smith yang kemudian meminta izin agar novelnya diterjemahkan ke bahasa Inggris supaya bisa menjangkau lebih banyak orang. Dari sana, karya Han Kang semakin dikenal luas sebagai salah satu penulis Korea Selatan terbaik saat ini.

Han Kang dan Pemberontakan Gwangju
Tidak berhenti sampai di sana, Han Kang ingin terus menulis sesuatu yang mendekatkannya pada pengalaman masa kecilnya dulu, ketika dia melihat foto-foto mengerikan di album itu.

Dia pun menggali dari berbagai macam sumber hal-hal kelam pada abad ke-20, tidak hanya di Korea, melainkan juga di Bosnia dan Auschwitz. Melihat kekejaman-kekejaman itu, Han Kang hendak menyerah ingin beralih topik. Namun dia menemukan sebuah catatan anggota militer yang melakukan suatu pembantaian dan mempertanyakan akal sehatnya kenapa dia melakukan hal ini.

Dari sana, dia pun terinspirasi untuk menulis kisah baru bertajuk Human Acts. Cerita itu terinspirasi dari pengalamannya dulu, ketika dia menemukan foto-foto mengerikan. 

Han Kang membayangkan tokoh utama di ceritanya ini pergi dari rumah untuk membantu para mayat ke kamar jenazah sebelum tenggelam di kerumunan massa yang sedang protes.

Untuk latarnya sendiri dia menggunakan pemberontakan Gwangju sebagai pengingat bahwa pernah terjadi peristiwa mengerikan seperti ini di Korea Selatan.

Perlu waktu lama untuk menulis naskah Human Acts. Bahkan dalam satu hari Han Kang hanya mampu menulis tiga sampai empat kalimat karena saking tidak kuatnya membayangkan hal-hal yang pernah terjadi di masa lalu itu. Novelnya pun baru rampung pada 2014, setelah pemilihan presiden di Korea Selatan yang dimenangkan oleh Park Geun-Hye.

Novelnya langsung viral dan ramai diperbincangkan. Meskipun berbalut fiksi, tetapi Human Acts menampilkan kekerasan ekstrem di Gwangju yang memang pernah terjadi beberapa dekade lalu.

Banyak orang memuji karyanya, termasuk para pembaca yang merasa bahwa karya ini adalah suatu pengingat penting bagi Korea Selatan yang seharusnya tidak dihapus. Sayangnya, tidak semudah itu. Dia malah diganjar masuk daftar hitam sang Presiden. Kala itu, Park Geun-hye melakukan sensor besar-besaran terhadap seniman, penulis, dan karya seni. Nama Han Kang termasuk di dalamnya.

Kemungkinan besar alasannya adalah gara-gara novel Human Acts. Novel yang berlatar pemberontakan Gwangju itu berkaitan erat dengan ayah dari sang presiden, Park Chung-hee yang terbunuh dan digantikan oleh Jenderal Chun Doo-Hwan dan memperluas darurat militer ke seluruh negeri dan membatasi kebebasan pers dan organisasi politik.

Dari sana, mahasiswa pun berkumpul di Gwangju dan memprotes hal tersebut. Pemerintah mengambil langkah dengan mengirim tentara dan menembaki kerumunan. Pemberontakan itu berlangsung selama beberapa hari dan menewaskan dan melukai ribuan orang. Peristiwa kelam tersebut dianggap tidak layak disebarluaskan, apalagi dibaca oleh anak-anak Korea Selatan.

Belakangan, setelah sang Presiden mundur dari jabatannya, nama Han Kang dan para seniman dan penulis lainnya dihapus dari daftar hitam oleh Kementerian Kebudayaan Korea Selatan.

Human Acts pun semakin dikenal luas, terlebih setelah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Smith, yang sebelumnya sudah menerjemahkan buku The Vegetarian.

Karyanya ini membuka mata banyak orang di seluruh dunia, bahwa peristiwa kelam terjadi dan sudah sepatutnya tidak perlu ditutup-tutupi sebagai pembelajaran di masa kini dan masa depan. 

Human Acts jugalah yang kemudian mengantarkannya mendapatkan penghargaan Nobel di kategori Sastra tahun 2024. Seperti katanya, penghargaan ini bukanlah sebuah perayaan, melainkan kesempatan untuk membuka mata atas apa yang tengah terjadi di dunia saat ini.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar