15 April 2025
20:49 WIB
Gemerlapnya Jakarta; Masihkah Menarik Warga Desa?
Seiring dengan perkembangan pedesaan di Indonesia, apakah kota-kota besar masih jadi magnet untuk mengadu nasib? Apalagi, apa yang ada di kota kini bisa dilakukan dari desa, termasuk soal pekerjaan.
Penulis: Gemma Fitri Purbaya, Annisa Nur Jannah
Editor: Rikando Somba, Satrio Wicaksono,
Pemandangan pemukiman padat di Jakarta Utara. Shutterstock.com/Lemonade Serenade
JAKARTA - Dibandingkan kota lainnya, apalagi dengan menyandang status sebagai Ibu Kota Negara, Jakarta menawarkan banyak hal yang menggoda buat masyarakat daerah. Maka tak heran kalau dulu banyak orang yang bercita-cita bisa mengadu nasib ke Jakarta. Di persepsi banyak orang, Jakarta adalah kota dengan berlaksa harapan.
Lanskap perkotaan yang dipenuhi deretan gedung pencakar langit, jalanan protokol beraspal mulus, transportasi publik yang mumpuni, banyaknya lapangan pekerjaan dengan gaji yang lebih tinggi ketimbang daerah lain, serta mudahnya akses pendidikan, menjadikan kota ini sebagai mimpi untuk meraih sukses.
Tapi, benarkah seramah itu untuk para pengadu nasib?
Salah satu yang merasakan getirnya hidup di Jakarta adalah Ana. Impiannya untuk tinggal di Jakarta tidaklah muluk, bisa mendapatkan penghasilan yang layak dan membantu perekonomian keluarganya di kampung. Meski awalnya kepindahannya dari Kuningan, Jawa Barat karena mengikuti pekerjaan sang suami di medio awal tahun 2000-an
Awalnya, hidup mereka berkecukupan. Dengan gaji sebagai pegawai di restoran, Ana dan suami bisa menabung sampai mengirim 'uang beras' ke kampung. Tapi semua berubah saat suaminya sakit dan meninggal.
Sudah jatuh, tertimpa tangga. Tak lama kepergian suami, sepucuk surat cinta dari tempatnya bekerja tiba. Dia di-PHK. Kehidupan layak yang dia impikan runtuh seketika. Belum lagi harga pangan setiap tahunnya selalu naik. Sedikit demi sedikit, tabungan yang belum banyak, diambil untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya bersama anak semata wayang.
Memilih balik ke kampung rasanya sudah tidak mungkin. Dia takut justru akan membebani orang tuanya. Tapi di satu sisi, pendidikannya yang hanya tamatan SMA dan minim skill, membuat Ana sulit mendapatkan pekerjaan. Sampai akhir dia mengesampingkan gengsinya, jadi tukang parkir di stasiun pun dilakoninya untuk bisa menyambung hidup.
Jika dibanding dengan pekerjaannya dulu, menjadi tukang parkir memang jauh lebih berat. Berangkat ke stasiun sebelum subuh, pulang setelah tengah malam. Pendapatannya pun tidak menentu, tergantung dari berapa banyak orang yang mau memberi atau tidak.
Merantau ke kota besar sering menjanjikan mimpi indah bagi para pendatang, seperti pekerjaan yang lebih prestisius dan gaji yang lebih besar, pendidikan yang lebih baik, sampai kehidupan yang lebih baik. Namun jika mendengar cerita Ana, tidak semua perantau 'berhasil'.
Mimpi tinggal mimpi. Hal itu juga yang mungkin mendorong turunnya tren merantau orang-orang desa ke kota besar, seperti Jakarta.
Dilansir dari Antara, Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil) DKI Jakarta mencatat, ada penurunan jumlah pendatang baru pasca Lebaran, yang kerap menjadi puncak urbanisasi. Pada 2022, jumlah pendatang baru ke Jakarta mencapai 27.478 jiwa. Kemudian turun menjadi 25.918 jiwa di 2023, dan 16.207 jiwa di 2024. Mereka pun memperkirakan di 2025 jumlah pendatang hanya sekitar 15.000 jiwa.
Kota Besar Sudah Tidak Menarik
Sosiolog, Musni Umar mengatakan, fenomena urbanisasi memang mengalami penurunan beberapa tahun terakhir, khususnya yang terjadi setelah Idulfitri. Menurutnya, ada tiga alasan yang menyebabkan terjadinya hal ini.
Pertama, dampak dari pembangunan desa. Tidak dimungkiri, dalam beberapa tahun terakhir pemerintah telah menggelontorkan dana desa yang cukup besar. Dari yang awalnya Rp68 triliun di 2022 menjadi Rp71 triliun pada 2025. Akibatnya desa pun berkembang sehingga warga bisa merasakan dampak positifnya.
Yang juga berpengaruh, teknologi seperti internet sudah menjangkau ke berbagai pelosok daerah. Kesenjangan yang awalnya terjadi di desa dengan kota besar perlahan menghilang. Masyarakat bisa memanfaatkan penetrasi internet yang masuk dan memanfaatkannya untuk pengembangan usaha secara online. Keinginan untuk merantau kemudian turun.
Ketiga, warga desa khususnya kaum muda, sekarang bisa mengakses informasi dengan seluas-luasnya. Mereka bisa membandingkan realita bahwa hidup di kota besar tidak seindah yang dibayangkan. Seiring dengan kehidupan di desa yang semakin baik, apa yang diperoleh di kota juga bisa diperoleh desa.
"Ketiga faktor itu membuat kaum muda merasa lebih nyaman tinggal di desa ketimbang merantau ke kota," jelas Musni saat dihubungi Validnews, Senin (14/4).
Hal itu diamini sosiolog Universitas Padjajaran Yusar Muljadji. Penurunan migran dari pedesaan ke perkotaan diperkirakan karena aspek-aspek kehidupan di kota besar sudah tidak lagi menjadi faktor penarik masyarakat desa untuk pindah ke kota. Daya tarik perkotaan seperti pekerjaan, sekolah, pendidikan, administrasi pemerintahan, layanan kesehatan, sampai pariwisata, semuanya sudah tersedia di desa.
"Daya tarik perkotaan saat ini telah tersedia hingga ke area pedesaan. Selain itu, pembangunan infrastruktur berupa jalan telah membuka akses yang mempermudah kehidupan masyarakat desa dan melancarkan pembangunan di area-area pedesaan. Lancarnya pembangunan ini juga pada muaranya menghasilkan modernisasi masyarakat pedesaan, bergeser ke arah masyarakat urban," ungkap Yusar.
Dia menimpali, pada masa sebelumnya, mungkin beberapa dekade terakhir, area pedesaan tidak memiliki kelengkapan-kelengkapan hidup seperti perkotaan. Namun kini, sebagai hasil dari pemerataan pembangunan, masyarakat desa memiliki akses yang sama dengan masyarakat kota. Kecenderungan untuk tidak bermigrasi ke kota akhirnya timbul karena fasilitas penunjang hidup telah ada di sekitar mereka.
Berkarya di Desa Sendiri
Adalah Arya (34), salah satu yang memutuskan untuk tetap tinggal di desa ketimbang mencari kerja di kota. Sebenarnya, selepas SMA dia sempat mencari nafkah di kota Bogor. Tetapi stagnasi pekerjaan dan tawaran kehidupan yang tidak lebih baik membuatnya untuk pulang ke kampung. Selain itu, ibunya yang sudah tua juga menjadi alasan lainnya Arya untuk berhenti merantau di kota.
Tinggal di desa Lebakherang, Kabupaten Kuningan, sehari-hari Arya merekam berbagai kegiatan di kampung yang letaknya lumayan terpencil itu. Kegiatan tersebut berlangsung bertahun-tahun, sampai terbesit untuk membuat video yang menyoroti kampungnya. Bermula dari akun YouTube pribadinya, Arya kemudian membuat akun YouTube Lebakherang TV.
"Awalnya ingin mengenalkan kampung tercinta dari akun pribadi, lalu membuat akun Lebakherang TV ini di tahun 2018. Tujuan awalnya untuk mengenalkan potensi yang ada di desa, kearifan lokal, budayanya, kulinernya, dan lain-lain," cerita Arya, Jumat (11/4).
Meski tidak kilat, akunnya ramai penonton, terutama mereka yang rindu kampung halamannya. Atau mereka yang mencari rekomendasi kuliner dan tempat wisata di Kuningan. Akun YouTube-nya pun berkembang, tidak hanya berfokus pada desa Lebakherang, melainkan Kuningan secara keseluruhan.
Pekerjaan content creator yang umumnya ditemukan di perkotaan ternyata juga bisa diaplikasikan di desa-desa, seperti halnya Arya. Walaupun belum banyak mendapatkan endorse layaknya content creator di kota-kota, tetapi pekerjaan ini cukup menjanjikan. Keuntungan yang dia capai pun biasanya melebihi UMK (Upah Minimum Kabupaten) Kuningan, yakni sekitar Rp2,2 juta.
Dampak Panjang Urbanisasi Kurang Diminati
Jika melihat data dari Disdukcapil DKI Jakarta, memang jumlah pendatang terus mengalami penurunan. Ada banyak 'Arya-Arya' di luar sana yang memutuskan untuk tinggal di desa atau daerah asalnya, ketimbang harus mencari peluang dan kehidupan baik di kota. Untuk dampaknya sendiri, Yusar mengatakan, bisa membawa stabilitas masyarakat perkotaan.
"Daya dukung lingkungan perkotaan juga akan lebih terjaga karena kota dapat mencukupi sejumlah penduduknya tanpa harus menghadapi pertambahan penduduk yang dapat mengurangi daya dukung perkotaan. Saya kira, jika hal ini terus terjadi, kota-kota besar di Indonesia akan terhindar dari tekanan laju penduduk atau terhindar dari overpopulasi," jelas Yusar.
Dalam jangka panjang, dia juga memprediksi, masyarakat desa akan mengalami proses transformasi seperti orang-orang di perkotaan, di mana masyarakat dengan corak rural society akan menghilang. Jika desa telah mengalami proses transformasi, baik dalam hal fisik maupun mental, cara pandang urbanisasi dan mimpi sukses di tanah rantau akan berubah. Apalagi jika merantau disebabkan karena minimnya akses pada fasilitas kelengkapan hidup.
"Kalau kelengkapan hidup masyarakat telah tercukupi dan memadai, secara praktis masyarakat desa tidak akan merantau, tetapi mengoptimalkan apa-apa yang telah tersedia di sekitarnya untuk digunakan mencapai kesejahteraan hidupnya," ucap Yusar.
Perubahan ini juga akan mempengaruhi hubungan desa kota, di mana selama ini desa berperan sebagai penyedia sumber-sumber daya yang dibutuhkan oleh kota, semisal soal kebutuhan bahan pangan. Proses transformasi ini tentu akan berpengaruh besar bagi kota yang biasa menggantungkan sumber-sumber pangan dari desa. Maka dari itu, masyarakat desa diharapkan bisa mengeksplorasi potensi-potensi lingkungannya yang khas agar dapat dimanfaatkan guna meningkatkan kualitas hidup mereka.
"Perlebar akses-akses dan meningkatkan kualitas fasilitas kelengkapan hidup sehingga setara dengan masyarakat kota. Mereka bisa memanfaatkan kelonggaran kompetisi sosial seperti yang dihadapi oleh masyarakat perkotaan," imbuh Yusar.
Di sisi lain Musni menimpali, masyarakat desa perlu ditingkatkan literasinya demi mewujudkan pemerataan pendidikan dan kemampuan penggunaan teknologi, seperti internet, wifi, dan media sosial. Idealnya, kondisi yang tercipta akan ada pekerjaan-pekerjaan yang mungkin dulu hanya bisa ditemukan di kota juga tersedia di desa. Pemerataan dari berbagai aspek kehidupan pun bisa tercapai.
Ya, semoga saja.