06 Februari 2025
11:32 WIB
Gambut Dan Mangrove Berperan Penting Turunkan Gas Rumah Kaca
Ekosistem gambut dan mangrove dapat menjadi kunci untuk memenuhi target pengurangan emisi GRK bagi negara-negara di kawasan Asia Tenggara.
Editor: Satrio Wicaksono
Foto udara kawasan ekowisata mangrove Desa Gampong Baro, Kecamatan Setia Bakti, Aceh Jaya, Aceh, Selasa (1/11/2022). Antara Foto/Syifa Yulinnas |
JAKARTA - Asia Tenggara menyumbang sekitar sepertiga emisi karbon global. Hal ini disebabkan karena perubahan penggunaan lahan, di mana sebagian besarnya berasal dari hutan rawa gambut tropis dan mangrove, termasuk akibat kebakaran hutan dan lahan.
Perubahan penggunaan lahan dalam kurun waktu 2001-2022 yang berkontribusi terhadap emisi gas rumah kaca (GRK) tersebut, mendorong dilakukannya penelitian gabungan dari Indonesia, Singapura dan Australia. Riset tersebut menemukan, ekosistem gambut dan mangrove dapat menjadi kunci untuk memenuhi target pengurangan emisi GRK bagi negara-negara di kawasan Asia Tenggara.
Peneliti dari Centre for Tropical Water and Aquatic Ecosystem Research (TropWATER) James Cook University Australia, Sigit Sasmito menyampaikan, melestarikan dan merestorasi ekosistem gambut dan mangrove yang memiliki cadangan karbon besar di Asia Tenggara dapat memitigasi sekitar 770 megaton CO2 ekuivalen (MtCO2e) per tahun
"Atau setara dengan hampir dua kali lipat emisi gas rumah kaca nasional Malaysia pada tahun 2023. Meskipun kedua ekosistem ini hanya menempati 5,4% dari luas daratan Asia Tenggara," ujar Sigit.
Peneliti dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Wahyu Catur Adinugroho mengatakan, tiga negara yaitu Indonesia, Malaysia, dan Vietnam menyumbang lebih dari 90 persen emisi di Asia Tenggara dari sumber-sumber emisi tersebut.
Menurutnya, besarnya kontribusi emisi ini sejalan dengan luasan ekosistem gambut dan mangrove, di mana Indonesia memiliki luasan terbesar dari kedua ekosistem ini, diikuti oleh Malaysia.
"Walaupun merupakan penyumbang emisi terbesar, Indonesia juga memiliki potensi mitigasi perubahan iklim terbesar melalui kegiatan konservasi dan restorasi karena negara kita memiliki 3,4 juta hektare hutan mangrove dan 13,4 juta hektare lahan gambut," jelas Wahyu.
Penelitian itu sendiri melibatkan peneliti dari Nanyang University Singapura, James Cook University Australia, Nanyang Technological University Singapura, Queensland University Australia, Institut Pertanian Bogor, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Kementerian Kehutanan, dan Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN) dan baru-baru ini diterbitkan di Jurnal Nature Communications.
Staf Ahli Menteri Kehutanan Bidang Perubahan Iklim yang juga salah satu kontributor dalam penelitian tersebut, Haruni Krisnawati, dalam kesempatan yang sama menyebutkan, kedua ekosistem tersebut memiliki karakteristik fisik dan ekologi yang serupa. Terutama, tanahnya yang jenuh air serta terbatasnya oksigen dalam jangka waktu yang lama.
"Kondisi ini menyebabkan berkurangnya tingkat dekomposisi bahan organik, sehingga ekosistem ini menjadi penyerap karbon paling efektif di Bumi, menyimpan sejumlah besar karbon di tanah mereka," sebut Haruni.
Selain itu, lebih dari 90% cadangan karbon di kedua lahan basah ini tersimpan di tanah, bukan pada berbagai tumbuhan (vegetasi) di atasnya. Artinya, sebagian besar karbon yang tersimpan bersifat rentan terhadap pelepasan karbon akibat aktivitas manusia dan jika hilang tidak mudah untuk dipulihkan.
Dengan karakteristiknya tersebut, katanya, baik lahan gambut maupun mangrove menjadi ekosistem penyerap karbon yang paling efisien di dunia dan menjadi solusi alami yang penting untuk memitigasi perubahan iklim serta membantu negara-negara mencapai target nol karbon.