c

Selamat

Minggu, 16 November 2025

KULTURA

20 Maret 2025

09:47 WIB

FESMI-PAPPRI Ajukan Amicus Curiae ke MA Buntut Kasus Agnes Mo

FESMI dan PAPPRI meminta kasus Agnes Mo dan Ari Bias diadili di MA, dan menolak gugatan atas Agnes Mo yang sebelumnya dimenangkan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Penulis: Andesta Herli Wijaya

Editor: Rendi Widodo

<p>FESMI-PAPPRI Ajukan <em>Amicus Curiae</em> ke MA Buntut Kasus Agnes Mo</p>
<p>FESMI-PAPPRI Ajukan <em>Amicus Curiae</em> ke MA Buntut Kasus Agnes Mo</p>

Ilustrasi mic penyanyi. Unsplash

JAKARTA - Federasi Serikat Musisi Indonesia (FESMI) bersama Persatuan Artis Penyanyi, Pencipta Lagu, dan Pemusik Republik Indonesia (PAPPRI) resmi mengajukan Amicus Curiae atau pandangan hukum ke Mahkamah Agung (MA) pada Rabu (19/3) terkait kasus sengketa hak cipta antara Agnes Monica dan Ari Bias. Laporan Amicus setebal 35 halaman diajukan untuk merespon polemik lisensi dan royalti penggunaan lagu yang belakangan menjadi perhatian bersama para pelaku industri musik tanah air.

Pengajuan FESMI dan PAPPRI ke MA spesifik menyoroti putusan pengadilan atas kasus Agnes Mo dengan Ari Bias. Diketahui, kasus dengan nomor perkara 92/Pdt.Sus-HKI/Cipta/2024/PN Niaga Jkt. Pst yang sebelumnya telah diputuskan di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat kini memasuki tahap kasasi di MA.

FESMI dan PAPPRI meminta kasus Agnes Mo dan Ari Bias diadili di MA, dan menolak gugatan atas Agnes Mo yang sebelumnya dimenangkan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Alasannya, para musisi ini menilai ada yang tak tepat pada putusan tersebut, dan kawatir putusan yang salah bisa menjadi preseden yang mengacaukan ekosistem industri musik di kemudian hari.

“Agar Majelis Kasasi dalam perkara a quo mengadili sendiri perkara tersebut dan menolak seluruh gugatan yang diajukan oleh Penggugat/Termohon Kasasi melawan Tergugat/Pemohon Gugatan dan Turut Tergugat,” tulis salah satu rekomendasi yang terdapat dalam Amicus Curiae tersebut, dikutip Kamis (20/3).

Dalam pengajuan Amicus Curiae ini, FESMI diwakili oleh Ikang Fawzi selaku Wakil Ketua Umum, sementara PAPPRI diwakili oleh Tony Wenas sebagai Ketua Umum. Kedua organisasi menilai bahwa putusan Pengadilan Niaga perlu dikoreksi karena berpotensi menciptakan ketidakpastian hukum yang merugikan ekosistem musik Indonesia.

FESMI dan PAPPRI menegaskan bahwa kasus ini bukan sekadar membela Agnes Monica sebagai individu, tetapi lebih kepada menjaga keseimbangan hukum dalam industri musik.

"Ini bukan soal satu artis, tetapi soal ekosistem musik secara keseluruhan. Jika putusan Pengadilan Niaga ini menjadi preseden, maka sistem hukum hak cipta kita bisa menjadi kacau. Harus ada koreksi agar tetap dalam jalur yang sehat dan berorientasi pada kepentingan bersama," ujar Panji Prasetyo, Direktur Hukum FESMI.

Menurut FESMI dan PAPPRI, jika putusan ini tidak dikaji ulang dan dibiarkan menjadi yurisprudensi, hal ini dapat mengganggu sistem royalti yang selama ini telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Hal ini berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum bagi para musisi, pencipta lagu, produser, dan seluruh elemen dalam industri musik yang bergantung pada sistem distribusi royalti melalui Lembaga Manajemen Kolektif (LMK).

Menilik kembali, kisruh ini bermula dari gugatan Ari Bias terhadap Agnes Monica, di mana Ari Bias mengklaim bahwa lagunya digunakan dalam konser tanpa izin dan menuntut ganti rugi. Pengadilan Niaga Jakarta Pusat kemudian memutuskan bahwa Agnes Monica telah melakukan pelanggaran hak cipta, dan menetapkan denda Rp1,5 miliar bagi sang penyanyi.

Putusan itu menimbulkan kekhawatiran luas di kalangan pelaku industri musik karena dapat mengubah sistem royalti yang telah berjalan.  FESMI dan PAPPRI berharap agar Mahkamah Agung mempertimbangkan aspek yang lebih luas dalam putusan kasasi ini untuk memastikan keadilan bagi seluruh ekosistem musik Indonesia.

Pandangan FESMI - PAPPRI

Fesmi dan PAPPRI mengedepankan pandangan yang jelas terkait hukum lisensi dan royalti yang diatur secara garis besar lewat UU Hak Cipta tahun 2014. Pengelolaan royalti musik secara kolektif dengan menggunakan sistem blanket licenses melalui Lembaga Manajemen Kolektif merupakan salah satu terobosan yang dihadirkan dalam Undang-Undang tersebut, menurut FESMI dan PAPPRI.

Pasal 23 Ayat (5) yang meniadakan kewajiban meminta izin kepada Pencipta untuk melakukan Penggunaan Secara Komersial Ciptaan dalam suatu pertunjukan dengan kewajiban untuk membayar Royalti untuk Pencipta melalui LMK merupakan pengecualian atas Pasal 9 Ayat (3) yang melarang siapapun melakukan Penggunaan Secara Komersial Ciptaan tanpa seizin Pencipta. Dengan ditiadakannya kewajiban untuk meminta izin kepada Pencipta tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa izin untuk melakukan Penggunaan Secara Komersial Ciptaan dalam suatu pertunjukan telah diberikan setelah pemegang hak cipta menyerahkan hak pengelolaan royalti lepada LMK.

Poin lain dalam pandangan hukum FESMI dan PAPPRI yakni terkait definisi pengguna lagu yang disebutkan Undang-Undang. Belakangan terjadi perdebatan siapakah pihak pengguna lagu tersebut, apakah penyanyi dalam suatu pertunjukan, atau pihak promotor yang menyelenggarakan pertunjukan.

Menurut FESMI dan PAPPRI, penyanyi yang membawakan atau menampilkan sebuah lagu dalam suatu pertunjukan yang bersifat komersial dan menerima bayaran atau fee atas penampilannya tersebut adalah merupakan 'Pelaku Pertunjukan' dan bukan penyelenggara pertunjukan. Karena itu tidak dapat dianggap sebagai 'Pengguna' dalam konteks Penggunaan Secara Komersial Ciptaan dalam suatu pertunjukan. Dengan demikian, penyelenggara pertunjukan-lah yang berkewajiban dan bertanggung jawab untuk membayar Royalti kepada Pencipta, kecuali jika telah diperjanjikan lain.

Selain itu, FESMI dan PAPPRI juga menyoroti nominal denda yang dijatuhkan bagi Agnes Mo. Pandangan mereka, gugatan ganti rugi atas terjadinya pelanggaran Hak Cipta (jika memang terjadi), harus dihitung secara finansial berdasarkan kerugian yang nyata, di mana pihak yang menuntut ganti rugi harus dapat membuktikan kerugian yang dideritanya.

Hal itu dilandasi pemahaman bahwa kasus Agnes Mo dan Ari Bias sejatinya adalah kasus perdata. Sementara penetapan denda dalam putusan pengadilan mengacu pada sanksi pidana. Karenanya, poin ini pun dinilai tidak tepat.

KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar