12 Desember 2024
21:00 WIB
Fenomena 'Pengemis Online' Dan Perubahan Konsep Kerja
Jagat maya diwarnai fenomena pengemis online melalui platform media sosial (medsos) yang secara tidak langsung meresonansi konsep cara instan dalam mencari uang.
Penulis: Annisa Nur Jannah
Editor: Satrio Wicaksono
Ilustrasi Pengemis Online. Shutterstock/gvictoria
JAKARTA - Derasnya era digital telah mengubah cara orang dalam mengonsumsi dan menciptakan konten. Jika sebelum-sebelumnya konten diproduksi dengan konsep matang, belakangan, konten-konten receh justru merajai berbagai platform media sosial.
Salah satu yang menarik adalah fenomena joget sawer, contoh paling menonjol dari pergeseran ini. Mungkin awalnya konten ini memang dibuat sekadar hiburan belaka di fitur live . Namun, belakangan, hal yang berkesan iseng dan menghibur itu berubah menjadi serius, bahkan menjadi mata pencaharian. Mirisnya, ini marak dilakukan masyarakat di pedesaan, menjadi sebuah 'pekerjaan' rutin untuk mendapat uang.
Kegiatan yang mereka lakukan adalah menari dengan berharap banyak penonton melempar saweran koin digital yang dapat dimonetisasi menjadi rupiah.
Andi Alrozi, seperti jutaan pengguna internet lainnya, mengaku sangat terhibur dengan konten-konten receh termasuk joget sawer. Tontonan seperti itu dijadikannya sebagai salah satu alternatif pelepas penat dari rutinitas hariannya.
"Konten receh seperti sadbor (pemilik akun Tik Tok yang melakukan joget sawer beramai-ramai.red) saya rasa cukup seru ditonton. Saya tidak menganggapnya sebagai sesuatu yang negatif. Justru ini jenis hiburan yang menghibur tanpa beban," ujar Andi kepada Validnews, Senin (9/12).
Bagi pria 21 tahun ini, tontonan live seperti ini cukup menyegarkan dan kadang juga memancing gelak tawa. Bahkan, menurutnya ada sisi positif yang terbangun, setidaknya sebagai bagian pemberdayaan masyarakat desa tanpa merugikan pihak manapun.
Menurutnya, konten-konten seperti itu sebenarnya membuka peluang ekonomi bagi para kreator untuk terlibat. Terutama, bagi mereka yang berasal dari daerah-daerah yang sebelumnya kurang dikenal.
"Saya justru melihatnya sebagai peluang besar, terutama bagi masyarakat desa. Konten-konten seperti ini memberikan mereka kesempatan untuk dikenal, berinteraksi dengan orang luar, bahkan memperoleh penghasilan tambahan yang mungkin tidak mereka dapatkan sebelumnya," tuturnya.
Andi percaya, joget sawer dan sejenisnya adalah bentuk modernisasi yang memberi ruang setiap individu, tanpa memandang latar belakangnya untuk maju. Tinggal bagaimana memanfaatkannya, karena semua memiliki peluang dan kesempatan yang sama.
"Ini adalah zaman di mana masyarakat desa bisa memiliki kesempatan yang sama dengan orang-orang di kota besar untuk menunjukkan potensi mereka dan menghasilkan uang," jelas Andi.
Di sisi lain, Yosep Batubara memiliki pandangan berbeda. Baginya, meskipun konten-konten seperti itu bisa menghibur, tidak ada nilai edukasi yang bisa diambil. Sebaliknya, dia khawatir hal bisa menjadi bumerang.
"Malah saya khawatir ini justru melahirkan generasi yang malas, terutama bagi anak-anak yang melihatnya," ujar Yosep kepada Validnews, Rabu (11/12).
Ia berpendapat, generasi muda yang tumbuh dengan mengonsumsi konten-konten tidak bermanfaat akan terjebak dalam pola pikir yang salah. Ironisnya lagi jika ada yang berpikiran bahwa kreator konten adalah satu-satunya jalan untuk sukses. Menurutnya, hal ini bisa merusak orientasi kerja keras yang seharusnya diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Namun, tanpa menyalahkan siapa pun, seharusnya, kata dia, kemajuan teknologi dan semua kemudahan aksesnya, benar-benar dimanfaatkan untuk sesuatu yang punya nilai.
"Meskipun menghasilkan uang bagi seseorang, tetap saja tidak ada manfaatnya. Tidak ada perkembangan intelektual, keterampilan, atau nilai positif yang ditanamkan dari konten seperti itu," tambah Yosep.
Konteks itu merujuk pada fenomena pengemis online yang belakangan banyak dilakukan banyak 'kreator' desa. Selayaknya di dunia nyata, mereka sama-sama meminta namun dalam media yang berbeda.
Pergeseran Konsep Kerja
Antropolog dan Pengajar di Pascasarjana FIB Universitas Gajah Mada (UGM), Aprinus Salam memberikan pandangan yang lebih luas atas fenomena pengemis online yang belakangan kerap menghiasi layar medsos. Menurutnya, fenomena ini mencerminkan pergeseran dalam konsep pekerjaan yang seharusnya dipahami lebih mendalam.
Aprinus menekankan bahwa penting untuk melihat fenomena ini dalam konteks pilihan yang dimiliki oleh setiap individu. Tidak semua orang memiliki kesempatan yang sama untuk mendapatkan pekerjaan yang layak.
Di samping itu, menjadi sesuatu yang tidak bisa ditampik, banyak juga masyarakat di Indonesia yang harus mencari nafkah dengan cara dianggap kurang ideal atau bukan bagian dari keahliannya. Hal ini kemudian dikaitkan pula dengan fenomena 'pengemis online'.
Di saat kondisi ekonomi sedang tidak baik-baik saja, semua orang harus memutar otak untuk menghasilkan uang. Karena secara sosial, apa yang mereka lakukan hanyalah berjuang dengan memanfaatkan apa yang ada.
Dari perspektif budaya, Aprinus melihat fenomena pengemis online ini sebagai bentuk 'perlawanan' atas sistem yang tidak mampu menyediakan lapangan pekerjaan memadai. Mereka berusaha memperluas definisi pekerjaan dan mencari cara alternatif untuk bertahan hidup.
"Meskipun cara yang mereka pilih mungkin tidak ideal, tindakan mereka patut untuk direnungkan,” ucapnya.

Yusar Muljadi, Sosiolog dari Universitas Padjajaran, memandang fenomena ini dari angle berbeda. Dia berpendapat, fenomena ini menunjukkan adanya perubahan sosial yang signifikan, terutama dalam cara individu memandang pekerjaan.
Ada pergeseran nilai dalam hal pekerjaan atau mata pencaharian. Nilai lama yang menganggap pekerjaan hanya sah jika dilakukan di sektor formal dengan gaji tetap, kini mulai bergeser. Sekarang ada nilai baru, yaitu bekerja melalui media sosial dengan penghasilan yang fluktuatif.
Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat, terutama generasi muda, mulai melihat pekerjaan tidak terbatas pada jenis pekerjaan konvensional, seperti karyawan tetap di sebuah perusahaan. Media sosial membuka peluang baru. Setiap orang dengan keterampilan tertentu, bisa menghasilkan uang, meskipun penghasilan mereka tidak tetap dan sangat bergantung pada jumlah penonton atau interaksi yang mereka terima.
"Pada akhirnya, kita berada di titik di mana perubahan dalam konsep pekerjaan ini memerlukan pemahaman yang lebih mendalam, baik dari sisi budaya, ekonomi, maupun sosial," katanya.
"Kita harus bisa menyeimbangkan antara kebebasan berekspresi dan pencarian nafkah, dengan tetap menjaga nilai-nilai yang dapat mendorong kemajuan sosial dan produktivitas yang berkelanjutan," lanjut Yusar.
Ancaman Produktivitas di Pedesaan
Yusar menyebut, penetrasi teknologi ini mengubah pola hidup masyarakat perdesaan, meski perubahan sosial semacam ini adalah hal yang tak perlu diratapi. Namun, bagi mereka yang tingkat literasinya rendah, ada dampak negatif yang cukup signifikan.
"Masalah literasi yang tidak memadai, saya pikir ini menjadi masalah umum tidak hanya berlaku pada masyarakat perdesaan. Namun, jika dikhususkan pada masyarakat perdesaan dengan tingkat literasi rendah, hal ini dapat memicu mereka menjadi pembuat konten media sosial namun dengan konten 'sampah'. Asal membuat konten, berharap mendapat penghasilan yang besar, namun tidak terjadi," ungkapnya.
Meski konten yang dihasilkan sebagian masyarakat perdesaan ini kerap tidak menarik perhatian khalayak, sebaliknya tetap ada anggapan bahwa ini menjadi peluang yang menjanjikan. Pada gilirannya akan berpotensi menciptakan pergeseran nilai-nilai kerja yang cenderung mengandalkan kerja instan.
"Jika nilai kerja instan ini diduplikasi oleh generasi setelahnya, mereka akan tumbuh menjadi masyarakat yang tidak produktif,” sebut Yusar.
Dalam konteks yang lebih jauh, kekhawatiran terbesar Yusar adalah menurunnya produktivitas masyarakat desa. Dalam banyak kasus, waktu yang semestinya digunakan untuk bekerja atau beraktivitas produktif justru terbuang sia-sia. Misalnya, dihabiskan untuk membuat atau menonton konten hiburan.
"Meski saluran pendidikan formal telah masuk ke pedesaan, bagaimanapun hiburan dari media sosial telah merasuki masyarakat desa. Hal ini berpotensi mengancam produktivitas mereka," jelas Yusar.
Kehilangan waktu produktif ini berpotensi berdampak buruk pada kualitas hidup masyarakat desa yang pada akhirnya juga akan mempengaruhi sumber daya manusia mereka. Jika masyarakat desa lebih banyak menghabiskan waktu untuk berselancar di media sosial, alih-alih bekerja atau mengembangkan keterampilan lebih berguna, kualitas hidup mereka dapat menurun.
Perlunya Regulasi Bermedia Sosial
Kondisi ini tentu menjadi tantangan besar dalam meningkatkan kesejahteraan dan pembangunan di daerah pedesaan. Dalam ekosistem media sosial yang menyerupai hutan belantara dengan anonimitas tinggi, perilaku pengguna sering kali sulit dikendalikan.
"Alternatif yang mungkin adalah pembatasan terhadap konten yang layak tayang atau tidak. Namun, ini tentu bukan tugas mudah," tegas Yusar.
Dampak ke depannya selayaknya menjadi tanggung jawab besar bagi pemerintah beserta seluruh pemangku kepentingan. Di tengah beragam preferensi masyarakat, regulasi harus menciptakan keseimbangan antara kebebasan berekspresi dan perlindungan terhadap hak-hak individu lainnya.
Regulasi yang terlalu ketat berisiko menghambat kreativitas, sedangkan regulasi terlalu longgar dapat memicu penyebaran hoaks, ujaran kebencian, dan konten negatif lainnya. Solusi ideal adalah menciptakan ekosistem digital yang sehat, di mana masyarakat dapat bebas berekspresi namun tetap bertanggung jawab.
Dengan regulasi yang tepat, media sosial dapat menjadi ruang lebih aman dan produktif, tanpa mengabaikan keberagaman budaya serta dinamika masyarakat yang terus berkembang. Banyak negara sudah melakukannya. Uni Eropa, Norwegia, Italia, Belanda, dan Belgia ada di antaranya.
Dan, terbaru, apa yang dilakukan tetangga, negeri Kangguru terhadap pembatasan bagi anak bermedia sosial, bisa digugu dan ditiru. Kebijakan proteksionis terhadap calon pemimpin masa depan, bukan hal haram dilakukan. Konten receh, apalagi mengemis dengan kemasan berjoget, adalah hal berdampak buruk buat banyak orang.