24 September 2025
16:30 WIB
Farwiza Farhan: Dari Hutan Aceh Ke Panggung Dunia
Farwiza Farhan adalah aktivis lingkungan Aceh yang mendirikan HAkA, pelindung Ekosistem Leuser. Kiprahnya mendunia, hingga dinobatkan sebagai pemenang Magsaysay & Whitley Award.
Penulis: Besyandi Mufti
Editor: Rikando Somba
Farwiza Farhan, aktivis konservasi lingkungan asal Aceh. Instagram/wiiiiza
Nama Farwiza Farhan melekat dengan perjuangan perlindungan Leuser, ekosistem hutan hujan di Sumatra Utara dan Aceh. Dia menjadi simbol bagaimana kepedulian lokal, strategi hukum, dan pemberdayaan komunitas dapat mengubah nasib sebuah lanskap alam.
Sejak memulai kiprahnya, Farwiza yang sering dipanggil Wiza, menempatkan kata “Leuser” bukan sekadar sebagai nama wilayah. Perempuan yang lahir di Banda Aceh ini, dalam kiprah dan kehidupannya, menjadikan Leuser sebagai cerita hidup yang perlu dijaga bersama.
Awal Perjalanan Farwizah Farhan
Farwizah Farhan lahir di ibu kota provinsi Nangroe Aceh Darussalam pada tahun 1986. Sejak kecil, Wiza tumbuh sangat dekat dengan alam Aceh yang lebat. Kecintaannya kepada lingkungan juga lahir dari pengalaman masa kecilnya yang dihabiskan di alam terbuka.
Wiza besar dengan latar pendidikan yang mendukung minat konservasinya. Dia memiliki gelar sarjana di bidang sains dari Universiti Sains Malaysia dan gelar magister dalam program Environmental Management and Sustainable Development dari University of Queensland, Australia.
Setelah menamatkan studi, Wiza bekerja sebentar di lingkungan pemerintahan dan organisasi yang mengelola kawasan. Di sana, ia memilih menempatkan dirinya di garda depan perjuangan perlindungan hutan.
Pilihan tersebut bukanlah impulsif semata. Wiza melihat besarnya celah antara kebijakan yang ada dan implementasinya di lapangan. Risiko-risiko yang ada juga berpengaruh besar terhadap satwa langka, seperti gajah, harimau, badak, dan orang utan yang hidup berdampingan di Leuser.
Alasan Wiza Mempertahankan Leuser
Sebelum memasuki peran Farwiza Farhan, penting untuk memahami apa itu Leuser. Ekosistem Leuser merupakan salah satu kawasan hutan hujan dataran rendah dan pegunungan terbesar sekaligus yang terakhir di kawasan Asia Tenggara.
Kawasan tersebut masih menyokong ekosistem fauna, seperti gajah Sumatra, harimau Sumatra, orang utan Sumatra, dan badak Sumatra. Luas kawasan tersebut mencapai jutaan hektare (sekitar 2,6-6,5 juta hektare) dan mencakup bagian Aceh dan Sumatra Utara.
Kondisi ekologisnya menjadikan kawasan tersebut sebagai “paru-paru”, sekaligus habitat kritis untuk spesies yang terancam punah. Ancaman datang mulai dari pembukaan lahan untuk perkebunan sawit, penebangan ilegal, kebakaran lahan gambut, dan sejumlah proyek infrastruktur yang tak mempertimbangkan nilai ekologis kawasan.
Dengan mengetahui konteks ancaman bagi kawasan tersebut, perlindungan Leuser bukan lagi soal menyelamatkan satwa. Wiza mengangkut keadilan lingkungan, hak-hak masyarakat lokal dan adat, juga mitigasi perubahan iklim (karena karbon yang tersimpan di lahan gambut dan hutan primer. Mulai dari inilah peran Farwiza Farhan menjadi krusial.

Berdirinya HAkA Sebagai Konservasi Berbasis Komunitas
Pada tahun 2012, Wiza ikut mendirikan dan memimpin Yayasan Hutan, Alam, dan Lingkungan Aceh. Yayasan tersebut kemudian dikenal sebagai HAkA.
HAkA didirikan sebagai respons terhadap pelemahan lembaga perlindungan Leuser dan sebagai wadah lokal yang menggabungkan advokasi, litigasi strategis, pemantauan hutan, serta pemberdayaan masyarakat, terutama perempuan yang hidup berdekatan dengan hutan. HAkA berfokus pada perlindungan ekosistem Leuser melalui kombinasi riset, kampanye kesadaran, patroli komunitas, dan juga upaya hukum.
Model kerja HAkA menonjol karena beberapa hal, yaitu membentuk jaringan penjaga hutan (forest guardian) dari masyarakat setempat untuk patroli dan pelaporan. Kemudian, menggabungkan literasi hukum dan advokasi agar masyarakat dapat menuntut haknya serta meminta pertanggungjawaban perusahaan/perizinan yang melanggar aturan.
Selanjutnya, LSM ini juga menempatkan perempuan sebagai aktor utama perlindungan hutan dengan mendorong partisipasi mereka pada level pengambilan keputusan dan patroli lapangan.
Pendekatan yang menggabungkan komunitas dan hukum serta kampanye publik tersebut kemudian menjadi ciri khas kepemimpinan Wiza. Tak hanya sekedar “menyerukan pelestarian” dari jauh, melainkan membangun kapasitas lokal dan membawa masalah ke meja pengadilan jika diperlukan.
Kemenangan Hukum yang Mencetak Preseden
Salah satu pencapaian paling menonjol yang sering dikutip dalam perjalanan Wiza adalah keterlibatan HAkA dalam litigasi yang menghasilkan keputusan hukum penting terhadap perusahaan sawit yang melakukan pembakaran hutan atau pelanggaran izin di kawasan Leuser.
Putusan pengadilan terhadap satu perusahaan konsesi, yang sering disebut dalam laporan sebagai kasus besar, menghasilkan denda yang berskala puluhan juta dolar AS sebagai ganti rugi pemulihan. Angka tersebut mencapai sekitar US$26 juta. Putusan semacam ini menjadi preseden hukum penting karena menegaskan pertanggungjawaban perusahaan atas kerusakan lingkungan dan membuka jalan bagi pemulihan lahan yang rusak.
Selain itu, HAkA dan jaringan komunitasnya juga memiliki kontribusi menentang proyek-proyek infrastruktur yang berisiko besar terhadap habitat, misalnya rencana pembangkit hidro yang mengancam koridor gajah.
Ada juga beberapa rencana proyek yang dinilai membahayakan habitat, akhirnya dihentikan atau direvisi setelah tekanan publik, kajian, dan litigasi. Keberhasilan menghentikan proyek-proyek yang tidak ramah lingkungan ini menunjukkan bahwa kombinasi advokasi teknik, bukti lapangan, dan mobilisasi komunitas efektif dalam menghambat pembangunan yang merusak.
Pemberdayaan Perempuan dan Komunitas
Salah satu aspek yang menonjol dari kerja Wiza ialah fokus pada pemberdayaan perempuan. Banyak program HAkA yang mengorganisasi perempuan desa. Mereka menjadi penjaga hutan, pelatih pengawasan, dan penggerak kampanye lingkungan. Model ini berangkat dari pandangan bahwa perempuan merupakan aktor kunci untuk konservasi yang berkelanjutan.
Karena peran perempuan banyak dalam ketahanan pangan rumah tangga, pengelolaan sumber daya air, dan pengetahuan lokal. HAkA melatih ratusan perempuan untuk memantau hutan, melaporkan aktivitas ilegal, juga ikut serta dalam proses perencanaan tata ruang lokal.
Selain itu, Wiza dan tim menjadikan komunitas sebagai pengambil keputusan melalui inisiatif sosial-hukum yang memberi kesempatan untuk masyarakat bersuara dalam kebijakan pengelolaan lahan. Pelibatan ini memunculkan solusi yang mengarah ke lebih kontekstual, adil, dan berkelanjutan. Semua elemen warga diajak serta. Pendekatan ini menurunkan resistensi lokal terhadap konservasi dan meningkatkan kepemilikan sosial atas inisiatif pelestarian.
Pengakuan Internasional Untuk Farwiza Farhan
Perjalanan Wiza mendapat pengakuan internasional melalui sejumlah penghargaan dan pengakuan yang kredibel. Kontribusi Wiza diakui oleh Whitley Awards di tahun 2016, disebut juga sebagai “Green Oscars”, atas dampak community driven conservation di Leuser. Tahun 2021, Wiza menerima Pritzker Emerging Environmental Genius Award sebagai pengakuan atas inovasi advokasi lingkungan dan kepemimpinan komunitas.
Penghargaan dari UCLA juga menyertai hadiah dana untuk mendukung kerja di lapangan. Karena menjadi figur yang berpengaruh terkait dampak lingkungan, Wiza juga diliput dan diakui oleh majalah TIME100 Impact/ TIME recognition.
Salah satu penghargaan paling prestisius di Asia bagi Wiza untuk kepemimpinannya, ia menerima Ramon Magsaysay Award tahun 2024 dalam kategori kepemimpinan emergent atas usaha perlindungan Leuser dan pemberdayaan masyarakat. Penghargaan tersebut memperkuat pengakuan regional terhadap model kerja HAkA. Wiza juga tercatat dalam jaringan internasional sebagai TED Fellow, National Geographic Explorer, dan mitra sejumlah organisasi konservasi global. Hal tersebut memperluas akses ke berbagai platform, sumber daya, dan jaringan advokasi internasional.
Ada beberapa kutipan Wiza yang menggambarkan filosofi kerjanya. “This landscape is so special..., ...I’ve fallen deeper and deeper in love with it.” Kalimat itu dilaporkan dalam profil TIME, kalimat tersebut sederhana dan menggambarkan motivasi emosionalnya untuk merawat Leuser. Dalam beberapa kesempatan wawancara dan pidato, Wiza menegaskan pentingnya “mengembalikan kekuasaan kepada komunitas” dan bahwa konservasi sejati harus melibatkan mereka yang hidup berdampingan dengan hutan, sebuah pesan yang jadi inti strategi HAkA.
Kalimat-kalimat tersebut bukan retorika belaka. Kalimat tersebut mencerminkan dalam praktiknya, dari patroli komunitas hingga penggunaan litigasi untuk menegakkan hak masyarakat dan memulihkan kerusakan lingkungan.
Kolaboratif, Berani, dan Terbukti
Wiza dikenal dengan gaya kepemimpinannya yang menggabungkan keberanian taktis (berani melawan korporasi/otoritas yang melanggar), pendekatan berbasis bukti (memantau lapangan, data kerusakan, peta, foto, dan dokumentasi hukum), serta kemampuan membangun aliansi (komunitas lokal, LSM nasional/internasional, akademisi, dan media). Model ini membuat gerakan lokal menjadi lebih solid, kredibel di pengadilan, dan menarik simpati publik nasional maupun internasional.
Banyaknya tantangan dalam usahanya melindungi lingkungan hidup, tak menghilangkan masalah yang terus terjadi. Adanya tekanan ekonomi dan permintaan komoditas seperti sawit dan pulp, hal tersebut terus mendorong alih fungsi lahan. Kelemahan penegakan hukum di berbagai wilayah dan konglomerasi kepentingan politik-ekonomi menjadikan litigasi hanya satu bagian dari solusi.
Masalah lain seperti kebutuhan pembiayaan jangka panjang dapat digunakan untuk program pemberdayaan komunitas dan restorasi ekosistem. Wiza secara terbuka mengakui bahwa perjuangan ini bukan hanya berlari kecil saja, tetapi berlari jauh melampaui batas diri yang membutuhkan generasi pemimpin lokal dan sinergi kebijakan yang berpihak pada alam dan masyarakat.
Dalam perjalanan dan model kerja HAkA oleh Wiza, sejumlah praktik dapat diadopsi oleh para aktivis, pembuat kebijakan, mahasiswa, dan organisasi masyarakat sipil. Salah satunya dalam membangun kapasitas lokal sebelum memaksakan solusi eksternal dengan melatih warga desa menjadi pengawas hutan, memberikan alat sederhana seperti form laporan, GPS, serta ponsel berkamera untuk mendokumentasikan masalah yang terjadi.
Praktiknya juga menggabungkan bukti lapangan dengan strategi hukum. Dokumen pengawasan lapangan sering kali menjadi bukti kunci di pengadilan. Kombinasi tersebut memberi peluang keberhasilan litigasi. Pemberdayaan perempuan dijadikan inti dalam strategi. Dengan melibatkan perempuan, tidak hanya adil secara sosial, tetapi juga efektif dalam hal ketahanan sumber daya lokal. Menjalin aliansi berskala besar dengan lintas jaringan. Dukungan media, lembaga donor, akademisi, dan jaringan internasional memperbesar coverage, daya tekan, dan sumber daya organisasi lokal.
Tak hanya itu, mereka yang terlibat juga perlu juga berpikir panjang dan fleksibel, Wiza dan kawan-kawannya kemudian menggabungkan upaya restorasi ekosistem, pendidikan lingkungan, serta strategi ekonomi alternatif agar konservasi terlaksana secara berkelanjutan. Praktik-praktik ini tak hanya eksklusif untuk Leuser, tetapi mereka dapat disesuaikan untuk konteks konservasi lain di Indonesia maupun kawasan tropis lain.
Dampak Dari Suara Lokal
Perjuangan mereka tercatat sejarah. Putusan hukum dan denda besar terhadap perusahaan pelanggar yang kemudian digunakan untuk rehabilitasi lahan. Ini menjadi salah satu preseden penting bagi pendekatan hukum lingkungan di kawasan tersebut.
Jaringan komunitas HAkA berhasil merekrut dan melatih ratusan penjaga hutan komunitas, dengan fokus kuat pada perempuan, yang aktif melakukan patroli dan monitoring. Kegiatan itu berfungsi untuk deteksi dini terhadap kebakaran, illegal logging, dan alih fungsi lahan.
Beberapa penghargaan internasional yang didapatkan Wiza tak hanya memberi legitimasi, tetapi juga menjadi modal sosial dan juga finansial untuk memperbesar skala kegiatan.
Wiza dan HAkA tetap menempatkan pekerjaan mereka dengan tiga garis besar. Pertama memperkuat kapasitas komunitas. Kedua memastikan kepatuhan hukum dan transparansi perizinan. Ketiga, mendorong restorasi lahan yang rusak.
Diperolehnya penghargaan internasional membuka peluang kolaborasi baru yang besar, baik dalam hal pendanaan maupun penelitian, diharapkan mempercepat upaya restorasi dan konservasi lanskap. Tetapi, kesinambungan usaha tersebut tak lepas pada keterlibatan pemerintah daerah dan pusat, serta tekanan terhadap pasar komoditas agar lebih bertanggung jawab.
Farwiza Farhan menunjukkan bahwa perlindungan hutan besar tak sekadar monopoli ahli yang bekerja jauh dari komunitas. Dia merupakan hasil kolaborasi antara warga lokal, advokat hukum, ilmuwan, dan publik luas. Dari caranya mengangkat suara perempuan desa hingga membawa kasus lingkungan ke pengadilan, ada pelajaran berharga yang dapat diambil, konservasi yang efektif bersifat inklusif, berbasis bukti, dan berani menuntut akuntabilitas.
Apa yang dilakukannya jelas menginspirasi. Dari Farwiza kita bisa berkaca, sudahkah kita melakukan perjalanan kecil sebelum melangkah jauh mengubah sudut pandang orang banyak mengenai lingkungan?
Langkah kecil bisa dimulai dari menjaga lingkungan sekitar dulu, setelahnya bisa mengedukasi masyarakat luas. Selain itu, yang juga penting adalah tetap menjaga integritas dan keilmuan yang baik, untuk lingkungan lebih baik pula.