c

Selamat

Senin, 17 November 2025

KULTURA

11 Oktober 2025

15:32 WIB

Family Enmeshmen, Saat Kasih Sayang Menjadi Belenggu

Dalam keluarga tentu kedekatan menjadi poin penting, tapi jika sampai pada tahap ketergantungan, itu justru bisa menjadi bumerang. 

Penulis: Annisa Nur Jannah

Editor: Satrio Wicaksono

<p id="isPasted"><em>Family Enmeshmen</em>, Saat Kasih Sayang Menjadi Belenggu</p>
<p id="isPasted"><em>Family Enmeshmen</em>, Saat Kasih Sayang Menjadi Belenggu</p>

eorang putri berbagi momen hangat dengan ibunya, menunjukkan hubungan mereka. Shutterstock/Natee Meepian.

JAKARTA - Hubungan keluarga yang hangat tentu menjadi dambaan banyak orang. Namun, ada kalanya kelekatan itu justru menjadi belenggu halus ketika setiap keputusan, perasaan, bahkan identitas pribadi seolah harus selalu dikaitkan dengan keluarga. 

Fenomena inilah yang oleh para psikolog disebut family enmeshment atau keterikatan keluarga yang berlebihan. Sebuah kondisi di mana batas antara kasih sayang dan kontrol menjadi kabur, antara kepedulian dan kepemilikan nyaris tak terlihat. 

Melansir laman Therapist, dalam keluarga yang sehat, keakraban tumbuh dari rasa saling peduli dan menghargai ruang pribadi. Setiap anggota keluarga didukung untuk tumbuh menjadi dirinya sendiri, mengambil keputusan tanpa rasa bersalah, dan tetap memiliki kebebasan emosional.

Sebaliknya, dalam keluarga yang enmeshed, semua batas menjadi kabur. Setiap keputusan sering kali harus melalui persetujuan emosional antar keluarga. 

Anggota keluarga bisa merasa bersalah ketika ingin mandiri atau ketika memilih sesuatu yang berbeda. Dalam jangka panjang, hal ini bisa membuat seseorang kehilangan arah dan jati diri.

Enmeshment terjadi ketika dua orang atau lebih,begitu terlibat dalam kehidupan dan keputusan satu sama lain, hingga kemandirian emosional mereka terganggu. Dalam keluarga enmeshed, pola ketergantungan ini bisa muncul di berbagai tingkat antara orang tua dan anak, saudara kandung, bahkan antargenerasi. 

Pola ini sering kali diwariskan tanpa disadari. Orang tua yang tumbuh dalam keluarga enmeshed cenderung mengulanginya pada anak-anak mereka.

Faktor kepribadian juga berperan. Orang dengan gaya keterikatan cemas atau anxious attachment lebih rentan menciptakan dinamika seperti ini, mereka mencari kedekatan berlebihan untuk merasa aman.

Selain itu, kondisi emosional orang tua seperti depresi, kesepian, atau kehilangan pasangan juga bisa mendorong mereka terlalu bergantung pada anak untuk mendapatkan dukungan emosional. Faktor eksternal, seperti krisis keluarga atau tekanan sosial-budaya, juga memperkuat keterikatan ini. 

Menariknya, konsep enmeshment tidak selalu dianggap negatif dalam semua budaya. Dalam masyarakat yang menjunjung tinggi nilai kekeluargaan dan tanggung jawab antargenerasi, keterikatan emosional yang kuat bisa dianggap bentuk kasih sayang dan rasa hormat. 

Anak-anak, misalnya, diajarkan untuk mendahulukan kebutuhan orang tua atau keluarga besar tanpa merasa terbebani. Di beberapa negara seperti pada keluarga imigran Korea di Amerika, enmeshment justru membantu anak-anak beradaptasi secara emosional. 

Namun, pada budaya yang lebih individualistik seperti Eropa atau Amerika, pola yang sama bisa dianggap menghambat kemandirian anak. Artinya, konteks budaya memegang peran besar dalam menentukan apakah keterikatan ini menjadi sumber kekuatan atau luka batin.

Mulai Pulih dan Menemukan Diri Sendiri

Proses penyembuhan dari enmeshment tidaklah mudah. Banyak orang bahkan tidak menyadari bahwa kedekatan yang mereka anggap sebagai bentuk cinta dan perhatian, ternyata menyimpan pola yang tidak sehat. 

Langkah pertama menuju pemulihan adalah menyadari pola tersebut. Kesadaran ini menjadi kunci untuk memahami bahwa cinta yang sehat tetap membutuhkan ruang untuk bernapas, berpikir, dan menjadi diri sendiri. 

Setelah itu, belajar membangun batasan yang sehat menjadi hal penting. Bukan untuk menjauh, tetapi untuk menjaga keseimbangan antara kebutuhan diri dan hubungan dengan keluarga. 

Menetapkan batas bukanlah bentuk penolakan, melainkan wujud kasih sayang terhadap diri sendiri. Selain itu, bantuan profesional dapat sangat membantu dalam proses ini. 

Terapi keluarga seperti Cognitive Behavioral Therapy (CBT) atau Attachment-Based Therapy bisa menjadi sarana untuk menggali akar masalah dan membentuk kembali cara seseorang memahami hubungan serta peran dirinya di dalam keluarga. Dalam ruang terapi, seseorang diajak untuk mengenali ulang dirinya, memahami emosi yang terpendam, dan belajar menciptakan relasi lebih sehat baik dengan keluarga maupun dirinya sendiri.

Namun, penyembuhan juga bisa dimulai dari langkah-langkah kecil dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, dengan menemukan kembali minat dan hobi sendiri yang mungkin selama ini tertutup oleh tuntutan keluarga. 

Belajar berkata tidak tanpa rasa bersalah, karena menolak bukan berarti tidak peduli. Menulis jurnal bisa membantu mengenali emosi dan pikiran yang selama ini terpendam. 

Sementara membangun pertemanan di luar lingkar keluarga memberi kesempatan untuk mengalami dinamika hubungan yang lebih seimbang. Yang tak kalah penting, melatih empati tanpa kehilangan jati diri serta belajar memahami orang lain tanpa harus selalu mengorbankan kebutuhan pribadi.

Semua langkah kecil ini, jika dijalani dengan kesadaran dan kasih, bisa menjadi bagian penting dari proses pemulihan. Karena sesungguhnya, membangun hubungan keluarga yang sehat bukan berarti menjauh atau memutuskan ikatan, melainkan belajar mencintai tanpa kehilangan diri sendiri.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar