11 Agustus 2025
17:20 WIB
Faktor-faktor Di Balik Lepasnya Jakarta Dari Kota Termacet Indonesia
Perlahan namun pasti, Jakarta lepas dari predikat kota termacet di Indonesia. Tentu hal ini bukan sesuatu yang instan, semua Gubernur punya tingkat keberhasilan yang terus digulirkan.
Penulis: Arief Tirtana
Editor: Satrio Wicaksono
Kemacetan arus lalu lintas yang berada di seskoal, Jakarta selatan. Validnews/Hasta Adhistra.
JAKARTA - Jakarta sudah tidak lagi menyandang predikat sebagai kota termacet di Indonesia. Posisinya berdasarkan Indeks TomTom Traffic, digeser oleh Bandung, disusul Medan, Palembang dan Surabaya, kini Jakarta berada di peringkat kelima. Secara global ada di urutan ke-90.
Pemeringkatan itu didasarkan analisis kemacetan lalu lintas di lebih dari 500 kota di 62 negara, dengan mengumpulkan data melalui sistem floating car data (FCD) yang berasal dari perangkat navigasi kendaraan aktif.
Di Indonesia, kota termacet dianalisa dari rata-rata waktu tempuh. Bandung dinobatkan sebagai kota termacet karena untuk menempuh jarak 10 kilometer membutuhkan waktu sekitar 32 menit 37 detik. Disusul Medan yang membutuhkan waktu 32:03 menit, Palembang 27:55, Surabaya 26:59, dan Jakarta 25:31.
Faktor Dibalik Keberhasilan Jakarta
Menjauhnya Jakarta dari status sebagai posisi kota termacet di Indonesia, dinilai Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) sebagai capaian yang bukan kebetulan belaka. Melainkan buah transformasi sistemik yang berjalan konsisten sejak 2004.
MTI dalam keterangannya menilai, laporan Indeks TomTom Traffic 2024 tersebut menjelaskan bahwa angkutan umum telah menjadi tulang punggung mobilitas Jakarta. Dari beberapa koridor TransJakarta yang beroperasi 24 jam, trotoar manusiawi hingga integrasi tarif antarmoda.
Kebijakan-kebijakan tersebut menghadirkan hasil nyata, volume kendaraan pribadi masuk Jakarta berkurang hingga 18% sepanjang 2023-2025.
Menurut MTI, keberhasilan ini bukanlah hasil kerja dari satu pihak saja, melainkan hasil rantai kolaborasi pemimpin yang berkomitmen pada satu visi sejak beberapa tahun ke belakang.
Dimulai dari Sutiyoso (2004–2007) yang menjadi pendobrak tradisi dengan mengambil langkah revolusioner meluncurkan TransJakarta Koridor 1 sebagai sistem Bus Rapid Transit (BRT) pertama di Asia Tenggara.
Kemudian Fauzi Bowo (2007–2012) yang melanjutkan kebijakan, dan melakukan transformasi kelembagaan TransJakarta menjadi Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) memberi fleksibilitas operasional.
Joko Widodo (2012–2014) yang melakukan revolusi tata aturan hukum dan pendanaan berkelanjutan. Sehingga mengubah paradigma bahwa angkutan umum bukan proyek, tapi layanan publik esensial.
Begitupun di era Basuki Tjahaja Purnama (2014–2017) yang membawa terobosan radikal mengintegrasikan angkot ke dalam sistem BRT sebagai layanan feeder.
Era Anies Baswedan (2017–2022) yang melakukan perubahan tata ruang signifikan, dengan menempatkan manusia sebagai pusat desain urban. Membuat trotoar membentang sepanjang 500 km, jalur sepeda permanen menghubungkan pusat kota, dan kawasan integrasi antarmoda (seperti, Bundaran HI, CSW, Dukuh Atas) menjadi ruang hidup.
Puncaknya, layanan terpadu JakLingko yang memperluas integrasi angkot yang sudah di-upgrade tidak hanya dengan BRT tetapi juga MRT, LRT, TransJakarta, dan KRL dalam satu kartu.
Dan terakhir era Heru Budi hingga Pramono Anung (2022–sekarang). Di mana keduannya melakukan integrasi layanan transportasi umum Jakarta secara lebih luas lagi ke kota-kota di sekitarnya.
Pramono Anung misalnya, melalui koordinasi nasionalnya, mendorong terobosan strategis, seperti perluasan jaringan BRT TransJabodetabek yang menghubungkan Kota Bekasi–Cibinong–Bogor dan Tangerang–BSD–Bandara Soetta dengan membuka jalur Blok M – Perumahan Alam Sutera (Kota Tangerang Selatan), Blok M – PIK 2 (Kab. Tangerang), Cawang – Perumahan Vida (Kota Bekasi), Blok M – Botani Square (Kota Bogor), Dukuh Atas – Terminal Bekasi (Kota Bekasi).
Juga melakukan penyelesaian integrasi tarif regional menggunakan kartu JakLingko, memangkas biaya dan waktu perpindahan antarmoda. Serta memberlakukan kebijakan insentif fiskal untuk pemerintah daerah penyangga yang mengembangkan BRT feeder. Dan menggratiskan 15 golongan warga Jakarta menggunakan Bus Transjakarta.
"(Keberhasilan Jakarta ini) tercipta berkat hasil estafet kepemimpinan yang saling melanjutkan," jelas MTI.