c

Selamat

Minggu, 16 November 2025

KULTURA

26 Agustus 2024

16:26 WIB

Dua Repertoar Yang Menolak Pola Dan Harmoni Dalam SIPFest 2024

"Budi Bermain Boal" dan "Waktu Ku Kecil, Tidak Besar", dua repertoar dalam SIPFest 2024 di Salihara Arts Center yang menggambarkan penolak atas apa yang disebut dengan pola dan harmoni. 

 


Penulis: Andesta Herli Wijaya

Editor: Satrio Wicaksono

<p>Dua Repertoar Yang Menolak Pola Dan Harmoni Dalam SIPFest 2024</p>
<p>Dua Repertoar Yang Menolak Pola Dan Harmoni Dalam SIPFest 2024</p>

Budi Bermain Boal karya dari Megatruh Banyu Mili ditampilkan di Teater Salihara, Jakarta pada Minggu (25/8) sebagai bagian dari SIPFest 2024. Dok: Komunitas Salihara

JAKARTA - Repertoar pertama. Tiga penari menghidupkan suasana ruang kelas sekolah dasar. Dua orang pemain duduk di kursi, tangan membentuk gestur melipat di meja. Dua murid kesayangan guru, karena selalu berpakaian rapi, duduk dan menyimak pelajaran dengan disiplin, serta selalu tersenyum. Satunya Budi, satunya bernama Putri.

Lalu adegan berkembang. Seorang anak masuk, mewarnai lukisan yang menggantung. Langit diberi warna pink, gunung hijau, dan hamparan warna biru. Sebuah simbolisme perlawanan atas apa yang dianggap normal atau semestinya, sekaligus merepresentasikan hak setiap orang untuk mempertanyakan mengapa sesuatu adalah "anu" dan sesuatu lainnya adalah "ono".

Di bagian lain, seorang yang berlaku sebagai guru, mencopot sepatu siswi yang berwarna putih. Mengeluarkan cat pilox, lalu menyemprot sepatu tersebut sehingga warna putih berganti hitam sempurna.

Tak banyak gerakan tari, karena para penari langsung mengajak penonton untuk bergabung ke dalam pertunjukan. Pemain membuka interaksi dengan penonton tentang pengalaman melanggar aturan berpakaian sewaktu sekolah. Bahkan mengundang dua penonton maju untuk berinteraksi secara langsung, membentuk adegan.

Setelahnya pemain lain menjelma guru tari, mengajak penonton untuk belajar menari. Penonton mengikuti, tertawa atas pembawaan penari yang jenaka, berpadu imajinasi tentang guru killer dalam kepala masing-masing penonton.

Pertunjukan itu diberi judul Budi Bermain Boal karya dari Megatruh Banyu Mili yang mengadopsi metode teater interaktif dari Augusto Boal asal Brazil.

Penghancuran Pola
Repertoar kedua, berjudul Waktu Ku Kecil, Tidak Besar, karya koreografer Annastasya Verina. Sembilan penari memperagakan gerakan baris-berbaris (PBB) yang penuh pola, keteraturan, serta panduan.

Pemandangan membosankan terhampar sekira 30 menit pertama pertunjukan. Hanya gerakan baris-berbaris: istirahat di tempat, lencang kanan, jalan di tempat, hadap kiri, dan semacamnya. Gerakan-gerakan itu bergulir dalam komando suara yang terdengar menggelegar, sangat militeristik.

Namun harmoni yang monoton itu terdistraksi ketika salah seorang pemain jatuh, dan entah kenapa ia berlaku nakal dengan mencopot serta melempar sepatu salah seorang pemain lainnya. Maka terjadilah aksi kejar-kejaran dua pemain, sementara pemain lainnya tetap berbaris dalam formasi semula (yang sudah tidak utuh).

Setelah kegaduhan soal sepatu usai, satu-persatu distraksi muncul beruntun, memecah-belah formasi barisan. Hingga akhirnya para pemain lelah dan muak dengan keadaan, mereka kehilangan pandu, gerakan pun semakin cair dan kehilangan pola.

Puncaknya, semua pemain menyerah dengan pola. Layar hitam disorot cahaya, memantulkan siluet beberapa pemain musik di belakang layar, dengan drum dan gitar. Lalu mereka mulai berteriak, booom! Raungan musik hardcore memenuhi seisi ruang.

Di depan, seorang pemandu barisan masih mencoba memberi perintah. Namun para penari menerjemahkan perintah tersebut dengan versi masing-masing. Jalan di tempat diterjemahkan dengan bentuk goyangan slebor sambil maju mundur, atau berlari ke depan dan ke belakang dengan sekenanya.

Itu belum seberapa, karena karya ini memiliki bagian terakhir yang mengejutkan, adegan yang menonjolkan segala kekacauan dan ketidakharmonisan gerak. Para pemain berganti pakaian, dengan warna-warna beragam namun semuanya nge-jreeeng.

Mereka bergerak mengikuti raungan musik hardcore-punk di belakang, sembari memasukkan berbagai jenis benda ke atas panggung. Dari baskom air, meja, kasur, hingga pecut barong. Tak ada yang menduga, mereka nekat membawa masuk motor hingga gerobak cilok ke atas panggung.

Menyoal Penyeragaman dan Norma yang Mengungkung

Budi Bermain Boal dan Waktu Ku Kecil, Tidak Besar adalah dua repertoar yang sama-sama mencoba memperbincangkan tentang keseragaman, keberaturan hingga norma yang diciptakan oleh berbagai pihak dan kemudian mengungkung manusia. Kedekatan tema itu membuat dua karya ini ditampilkan dalam satu sesi yang sama dalam agenda Salihara International Performing-Arts Festival (SIPFest) 2024. Kebetulan, kedua karya ini juga merupakan jebolan Helatari Salihara 2023.

Karya Megatruh mencoba memantulkan pengalamannya dan para siswa sekolah dasar era 1980 sampai 2000-an di Indonesia. Nama “Budi” jelas berbau pelajaran, semacam nama untuk murid-murid yang baik, pintar dan rajin di mata guru. Fenomena itu membentuk pengalaman siswa yang seragam, tanpa menghiraukan pemikiran alternatif.

Dengan meminjam metode Theater of the Oppressed dari Augusto Boal, Megatruh mengajak penonton menjadi partisipan yang terlibat aktif membentuk jalannya pertunjukan, sekaligus membawa pengayaan makna bagi karya tersebut.

Di sisi lainnya, Waktu Ku Kecil, Tidak Besar mencoba mengundang penonton untuk kembali mempertanyakan segala norma, atau segala yang kadung dianggap sudah semestinya. Annastasya membentang ruang dialog dan pemikiran kritis tentang asal-usul serta relevansi norma dalam kehidupan sehari-hari.

Menggunakan konsep Peraturan Baris-Berbaris atau PBB, sang koreografer mengeksplorasi kemungkinan-kemungkinan pertanyaan dan perbincangan mengenai norma. Norma-norma itu seperti membelenggu, membuat kehidupan terasa begitu merepotkan, bahkan memangkas kemerdekaan bagi sebagian orang.

Norma-norma yang membelenggu orang-orang dewasa, pada akhirnya membawa kesedihan. Kesedihan itu dihadap-hadapkan dengan ingatan tentang masa kecil yang penuh kebahagiaan. “Waktu ‘ku kecil, hidupku amatlah senang/dipangku-dipangku dipeluknya/serta dicium dan dimanjakan/namanya kesayangan.”

Akhirnya, dua karya tersebut memancing dialog terhadap penonton, dengan cara masing-masing. Jika Budi Bermain Boal mengajak penonton langsung merasakan tekanan atas penyeragaman itu, Waktu Ku Kecil, Tidak Besar di sisi lainnya menyentak-nyentak pemikiran penonton lewat segala kekacauan yang ditawarkan sebagai alternatif atas keberaturan.

Mengapa harus teratur, kalau dengan tidak beraturan Anda bisa tertawa riang gembira?

Itulah Budi Bermain Boal dan Waktu Ku Kecil, Tidak Besar, mencoba menolak apa yang kadung dianggap kewajaran, pola dan harmoni. Dua repertoar yang membawa dekonstruksi, jika dekonstruksi dipahami sesederhana memberi jalan lain, pemikiran ataupun bentuk alternatif.

Budi Bermain Boal dan Waktu Ku Kecil, Tidak Besar menjadi salah dua suguhan pertunjukan dalam pekan keempat SIPFest 2024 di Salihara Arts Center, Jakarta Selatan yang dibuka sejak awal Agustus lalu. Festival internasional dua tahunan yang diinisiasi Komunitas Salihara ini masih akan berlanjut hingga akhir bulan dengan penampilan penutup yakni karya Tanda Cinta oleh Teater Koma.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar